Pagi ini saya kembali membaca buku Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid Karya Greg Barton (terbitan LKiS, 2002 diterjemahkan oleh Lie Hua). Pada bagian I Pesantren dan Keluarga terdapat penjelasan mengenai KH Wahid Hasyim dan Ibu Solichah. Pada bagian ini juga dijelaskan bagaimana Gus Dur dibesarkan di pesantren dan perpolitikan tahun 1940-1963. Kisah tentang Gus Dur kecil, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasim Asy’ari, dan berbagai catatan menarik lainnya dapat dibaca di bagian ini.
Gus Dur adalah anak yang sering dibawa ke mana-mana oleh KH Wahid Hasyim. Gus Dur menemani ayahnya dalam perjalanan dan pertemuan-pertemuan penting, padahal ketika itu usianya masih sangat belia. Bahkan Gus Dur bersamaan dengan sang Ayah pada kecelakaan di Sumedang. Gus Dur selamat, sementara KH Wahid meninggal dalam usia yang sangat muda (38 tahun). Gus Dur kecil yang berusia 12 tahun menjadi saksi kecelakaan tersebut.
Barton menulis, Gus Dur menyaksikan dunia ayahnya yang penuh dengan macam orang dan peristiwa. Intinya, KH Wahid Hasyim merasa senang ditemani oleh puteranya dan menjadikannya sebagai bagian dari pendidikan bagi sang anak. Ketika tinggal di Menteng, Gus Dur kecil dapat bertemu dengan berbagai tokoh. Di Masjid Matraman yang Gus Dur bertemu dengan Bung Hatta. KH Wahid juga rutin dikunjungi oleh sosok yang meminta dipanggil Paman Hussein oleh Gus Dur. Belakangan Gus Dur tahu bahwa sosok tersebut adalah Tan Malaka.
Selama menemani sang ayah, Gus Dur berjumpa dengan tokoh dengan ragam ideologi juga dengan masyarakat di berbagai tempat. Mungkin, hal tersebut yang membuat Gus Dur sangat mudah bergaul dengan ragam tokoh dan masyarakat lintas agama, ideologi, kelas sosial, budaya dsb. Gus Dur juga yang membantu mengobati luka-lula kecil ayahnya di masa revolusi berkecamuk.
Baca esai menarik:
Dalam ingatan Gus Dur, KH Wahid Hasyim adalah pribadi yang sabar dan kadang jenaka, ia juga sederhana dan gampangan. Setiap pagi, ketika Gus Dur tinggal di Menteng, sang ayah mengantar dirinya ke sekolah dasar tempatnya bersekolah. Tugas tersebut konsisten dilakukan oleh sang ayah. Ia tidak menyerahkan urusan mengantar ke sekolah ke pembantu di rumah. KH Wahid Hasyim adalah ayah yang penuh dengan kasih sayang, meski ia tak banyak bicara dengan anaknya, khas orangtua jawa pada masa itu. Meskipun sosok yang serius, Gus Dur mengingat KH Wahid Hasyim sangat senang bermain bola dengannya ataupun ditemani olehnya. Membaca itu, saya merasa KH Wahid Hasyim adalah sosok yang mau dan mampu menemani anaknya dengan baik.
Selain itu, ada satu hal yang menarik. Barton menulis, meski KH Wahid Hasyim seorang menteri dan pejabat yang berpengaruh, puteranya Gus Dur tak bersekolah di tempat elit. Ayahnya menawari Gus Dur untuk sekolah di tempat elit, namun Gus Dur memilih bersekolah di sekolah biasa saja. Gus Dur merasa sekolah elit membuatnya tidak betah.
Sejak kecil, KH Wahid telah mengenalkan Gus Dur ke beragam referensi. Gus Dur kecil adalah produk sekolah sekuler. Baru setelah remaja ia mempelajari bahasa arab dan berbagai referensi pesantren secara terstruktur. Pengenalan terhadap dunia yang luas bagi Gus Dur dan adik-adiknya dilakukan oleh KH Wahid Hasyim melalui berbagai media. Di rumah KH Wahid Hasyim penuh dengan buku, majalah, dan koran. Bahkan ada majalah terbitan kelompok Katolik dan nonmuslim lainnya. Anak-anak KH Wahid Hasyim beranjak remaja dengan ditemani buku-buku yang beragam.
Anak-anaknya dianjurkan untuk membaca apa saja yang disukai dan dapat secara terbuka membicarakan ide-ide mereka. KH Wahid Hasyim, tulis Barton, selalu merasa frustasi melihat sempitnya cakrawala pikiran banyak santri dan oleh karena itu ia berusaha agar anak-anaknya tumbuh besar dengan cakrawala pikiran yang luas.
Membaca ulasan dari Barton, dapat kita lihat bahwa KH Wahid Hasyim adalah ayah panutan umat. Di samping mendidik umat, ia juga menjadi pendidik utama bagi anak-anak dan istrinya. Dalam catatan Barton juga terdapat penjelasan bagaimana KH Wahid Hasyim membuat istrinya Ibu Solichah berkembang menjadi perempuan tangguh yang cerdas dan keren. Sholichah, tulis Barton, mungkin bukan perempuan yang dilahirkan untuk menjadi seorang cendikiawan seperti almarhum suaminya. Tetapi, lanjut Barton, ia bukan ibu rumah tangga biasa. Ia kawin muda dan hanya sedikit mengenyam sedikit pendidikan dasar, menghabiskan waktunya untuk keluarga, namun ia, tulis Barton, adalah teman dekat dan orang kepercayaan KH Wahid Hasyim. Selama 14 tahun mendampingi suami, ia tumbuh berkembang melampaui teman sebayanya.
Ibu Solichah seperti yang ditulis Barton telah mengembangkan kegemarannya akan membaca dan menjadi terbiasa untuk mengikuti berbagai perkembangan mutakhir. Setelah KH Wahid Hasyim meninggal, ia berjuang mendampingi anak-anaknya sendiri. Ia terus mendorong anak-anaknya untuk terus aktif membaca berbagai referensi, berdebat mengenai apapun, menjalin silaturahmi dengan berbagai tokoh seperti yang diterapkan oleh KH Wahid Hasyim. Gus Dur pun menjadi pecandu berbagai bacaan, tontonan, juga musik. Ibu Solichah, tulis Barton, adalah sosok perempuan yang secara otomatis menumbuhkan rasa hormat baik bagi anak-anaknya, keluarga, maupun lingkungan sekitar. Selain ayah favorit umat, kita juga mengenal Ibu Solichah sebagai sosok tangguh yang mencurahkan seluruh perhatiannya bagi pendidikan anak-anaknya.
Setelah membaca tulisan di buku ini, saya jadi tertarik secara mempelajari bagaimana pola parenting dari KH Wahid Hasyim dan Ibu Solichah. Kok bisa, dua sosok terhormat ini mendidik anak-anak yang luar biasa keren. Jenis dan pola pendidikan macam apa yang dilakukan di rumah sehingga anak-anak keduanya menjadi tokoh-tokoh yang berkontribusi bagi umat. Tentu ada rahasia dapur, ikhtiar dan tirakat yang luar biasa dalam mendidik anak-anak yang kemudian menjadi sosok yang keren. Apa yang dilakukan keduanya tentu jadi pembelajaran berharga bagi masyarakat luas.
Saya kemudian iseng mencari di google books buku tersebut. Ternyata belum ada, atau bisa jadi saya yang luput. Saya juga mencari dengan kata kunci parenting ala pesantren di google books, tidak ada juga. Jika memang belum ada, tentu ini jadi pekerja rumah bagi jamiyah Nahdlatul Ulama untuk dapat menerbitkan buku dengan genre tersebut. Mungkin saja yang menulis serpihan-serpihan kisah para ulama mendidik anak-anaknya sudah ada, tetapi yang secara spesifik menulisnya dalam satu buku atau jurnal menjadi sangat penting.
Buku jenis ini dapat menjadi panduan praktis bagi ibu dan ayah muda yang sedang mencari cara efektif mendidik anak-anak di zaman modern tetapi membutuhkan sentuhan agama. Apalagi jika merujuk pada pola asuh KH Wahid Hasyim dan Ibu Solichah, akar tradisional kepesantrenan, NU, dan Islam tetap menancap kokoh meski juga dikenalkan dengan beragam buku atau tokoh dari berbagai ideologi. Ibu Bapak muda ini perlu asupan bergizi soal mendidik anak di tengah zaman yang semakin rumit. Ibu Bapak ini seringkali gamang untuk mendidik anak secara agama, tetapi juga tetap memperhatikan arus zaman.
Sebagai bagian penting bagi pembelajaran para orangtua, minimal, diskursus parenting tidak selalu berpijak pada teori-teori barat ala Montessori dan sebagainya. Perlu dikembangkan narasi atau diskursus parenting ala pesantren, seperti yang sudah dicontohkan orangtua Gus Dur.