yang beredar lagi terbenam,
yang beredar di garis edarnya dan terbenam,
Dalam ayat-ayat ini, Allah bersumpah demi bintang-bintang yang beredar dan terbenam. Bintang-bintang itu semuanya tidak tampak oleh penglihatan pada siang hari, namun akan kelihatan bersinar pada malam hari. Allah bersumpah dengan bintang-bintang itu karena dalam keadaannya yang silih berganti, tidak tampak ketika siang dan bersinar pada malam hari, merupakan tanda atas kekuasaan Allah yang mengatur perjalanannya.
demi malam apabila telah larut,
demi subuh apabila (fajar) telah menyingsing,
dan demi subuh apabila fajar telah menyingsing, tersibak cahayanya sedikit demi sedikit, layaknya orang bernafas. Ketiga peristiwa tersebut merupakan tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta yang dapat dilihat. Begitupun, Al-Qur’an merupakan tanda kebesaran-Nya yang dapat dibaca.
Kemudian dalam ayat ini Allah bersumpah demi subuh apabila fajar mulai menyingsing dan bersinar. Waktu subuh digunakan Allah dalam bersumpah karena waktu ini menimbulkan harapan yang menggembirakan bagi setiap manusia yang bangun pagi karena menghadapi hari yang baru. Saat itu mereka dapat menemukan hajat keperluan hidupnya mengganti yang hilang dan bersiap-siap untuk yang akan datang. Kemudian Allah menerangkan apa yang dijadikan objek sumpahnya itu, dengan firman-Nya pada ayat berikut ini.
apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak terurus),
Dan apabila unta-unta yang bunting dan menjadi harta yang dibanggakan ditinggalkan begitu saja dan tidak lagi dipedulikan dan diurus oleh pemiliknya.
Dan apabila unta-unta bunting yang termasuk benda paling dihargai oleh orang-orang Arab, ditinggalkan dan tidak dipedulikan oleh pemiliknya karena kedahsyatan hari Kiamat tersebut. Hal ini menggambarkan kedahsyatan hari Kiamat yang jika diperkirakan, jika ada seorang laki-laki mempunyai unta yang bunting tentu ditinggalkan karena terlalu sibuk memikirkan keselamatan dirinya sendiri.
apabila binatang-binatang liar dikumpulkan,
Hal ini mengisyaratkan betapa besar kebingungan yang meliputi manusia saat kiamat tiba. Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan untuk diberi balasan bila berbuat aniaya kepada sesamanya. Binatang liar yang saling memusuhi saat itu bisa dikumpulkan menjadi satu dalam suasanya yang sangat menegangkan.
Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan dan dimusnahkan.
apabila lautan dipanaskan,
Dan apabila lautan dipanaskan dan dijadikan meluap. Air laut memanas akibat munculnya kobaran api mahadahsyat dari dasarnya.
Dan apabila lautan-lautan dijadikan meluap, sehingga menjadi satu, kemudian menyala dengan kobaran api yang tadinya terpendam di bawah bumi tersebut. Setelah Allah menerangkan beberapa peristiwa yang menjadi permulaan hancurnya alam semesta dan matinya semua makhluk yang berada di atasnya, maka Allah menjelaskan apa yang terjadi setelah itu tentang kebangkitan.
apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh),
Dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh sehingga manusia hidup kembali dalam suasana yang sama sekali berbeda dari kehidupan dunia. Manusia saat itu bergabung dengan manusia lain yang senasib; penaat bersama penaat, begitupun sebaliknya.
Dan apabila roh-roh dipertemukan kembali dengan tubuh untuk memasuki kehidupan di alam akhirat. Ayat ini mengandung isyarat bahwa roh-roh itu tetap utuh setelah mati dan pada hari Kiamat dikembalikan lagi pada badannya. Pendapat lain menyebutkan arti ayat ini dengan bertemunya kelompok orang-orang termasuk ashabul-yamin dengan kelompok ashabusy-syimal. Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa arti ayat ini adalah dipertemukannya roh orang-orang yang beriman dengan pasangan-pasangannya di surga dan roh orang-orang kafir dipertemukan dengan setan-setan pembantunya.
apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup tanpa dosa dan kesalahan ditanya,
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh? Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa bayi-bayi yang pernah dikubur hidup-hidup akan dihidupkan kembali di hadapan orang yang menguburkannya dan ditanya karena dosa apakah dia dibunuh. Jawaban pertanyaan ini memberikan kesan yang lebih dalam kepada si pembunuhnya karena bayi perempuan itu akan menjawab bahwa ia dikubur hidup-hidup tanpa dosa sama sekali, hanya karena orang tuanya takut dihinggapi kefakiran dan kemiskinan. Kebiasaan orang Arab pada zaman Jahiliah ini sangat di luar peri kemanusiaan. Di kalangan mereka ada yang tidak mengubur hidup-hidup anaknya yang perempuan, tetapi ia memberikan pekerjaan kepadanya dengan menggembalakan kambing di padang pasir dengan pakaian bulu dan membiarkan hidup dalam kesepian. Dan ada pula yang membiarkan anak perempuannya itu hidup sampai umur enam tahun kemudian ia berkata kepada ibunya, "Dandanilah anak ini dengan pakaian yang baik, karena akan dibawa ziarah mengunjungi bibinya." Sebelumnya ia telah menggali sebuah sumur di padang pasir. Setelah ia sampai dengan anak perempuannya itu di tepi sumur itu, lalu berkata, "Tengok, apa yang ada dalam sumur itu." Kemudian anak perempuan itu ditendang dari belakang dan setelah jatuh ke dalam sumur itu lalu ditimbun dan diratakan dengan tanah. Dan di antara mereka ada yang berbuat lebih kejam lagi daripada ini. Setelah datang agama Islam, maka kekejaman yang di luar peri kemanusiaan itu diganti dengan sikap yang penuh ramah dan kesayangan. Di antara alasan pembunuhan anak perempuan di masa Jahiliah adalah karena anak perempuan dianggap tidak punya nilai ekonomis yang bisa menguntungkan keluarga. Alasan lain adalah karena anak perempuan dianggap sangat lemah, sering menjadi korban pelecehan seksual atau karena perempuan dianggap sebagai penggoda laki-laki yang bisa membuat malu keluarga. Dalam Surah an-Nahl/16: 58, Allah menggambarkan seorang laki-laki yang mendapat kelahiran putrinya dengan wajah hitam karena menahan marah. Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. (an-Nahl/16: 58) Islam adalah agama yang menghormati perempuan, sama seperti menghormati laki-laki. Oleh sebab itu, Islam melarang pembunuhan bayi laki-laki maupun perempuan, baik karena kemiskinan atau karena takut miskin. Allah berfirman: Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. (al-An'am/6: 151)
“Karena dosa apa dia dibunuh,”
karena dosa apa dia dibunuh. Masyarakat jahiliah merasa malu bila mempunyai anak perempuan karena wanita dianggap tidak mempunyai peran apa-apa dalam kehidupan. Untuk menutup rasa malu, mereka rela mengubur anak-anak perempuannya hidup-hidup.
Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh? Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa bayi-bayi yang pernah dikubur hidup-hidup akan dihidupkan kembali di hadapan orang yang menguburkannya dan ditanya karena dosa apakah dia dibunuh. Jawaban pertanyaan ini memberikan kesan yang lebih dalam kepada si pembunuhnya karena bayi perempuan itu akan menjawab bahwa ia dikubur hidup-hidup tanpa dosa sama sekali, hanya karena orang tuanya takut dihinggapi kefakiran dan kemiskinan. Kebiasaan orang Arab pada zaman Jahiliah ini sangat di luar peri kemanusiaan. Di kalangan mereka ada yang tidak mengubur hidup-hidup anaknya yang perempuan, tetapi ia memberikan pekerjaan kepadanya dengan menggembalakan kambing di padang pasir dengan pakaian bulu dan membiarkan hidup dalam kesepian. Dan ada pula yang membiarkan anak perempuannya itu hidup sampai umur enam tahun kemudian ia berkata kepada ibunya, "Dandanilah anak ini dengan pakaian yang baik, karena akan dibawa ziarah mengunjungi bibinya." Sebelumnya ia telah menggali sebuah sumur di padang pasir. Setelah ia sampai dengan anak perempuannya itu di tepi sumur itu, lalu berkata, "Tengok, apa yang ada dalam sumur itu." Kemudian anak perempuan itu ditendang dari belakang dan setelah jatuh ke dalam sumur itu lalu ditimbun dan diratakan dengan tanah. Dan di antara mereka ada yang berbuat lebih kejam lagi daripada ini. Setelah datang agama Islam, maka kekejaman yang di luar peri kemanusiaan itu diganti dengan sikap yang penuh ramah dan kesayangan. Di antara alasan pembunuhan anak perempuan di masa Jahiliah adalah karena anak perempuan dianggap tidak punya nilai ekonomis yang bisa menguntungkan keluarga. Alasan lain adalah karena anak perempuan dianggap sangat lemah, sering menjadi korban pelecehan seksual atau karena perempuan dianggap sebagai penggoda laki-laki yang bisa membuat malu keluarga. Dalam Surah an-Nahl/16: 58, Allah menggambarkan seorang laki-laki yang mendapat kelahiran putrinya dengan wajah hitam karena menahan marah. Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. (an-Nahl/16: 58) Islam adalah agama yang menghormati perempuan, sama seperti menghormati laki-laki. Oleh sebab itu, Islam melarang pembunuhan bayi laki-laki maupun perempuan, baik karena kemiskinan atau karena takut miskin. Allah berfirman: Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. (al-An'am/6: 151)
apabila lembaran-lembaran (catatan amal) telah dibuka lebar-lebar,
Dan apabila lembaran-lembaran yang berisi catatan perbuatan manusia, yang besar maupun yang kecil, dibuka lebar-lebar. Pada saat itu manusia tidak bisa mengelak dari apa yang telah dia perbuat di dunia. Dia yang menerima catatan amal dengan tangan kanan akan berbahagia. Sebaliknya, mereka yang menerima dengan tangan kiri akan celaka.
Dalam ayat ini dijelaskan apabila catatan-catatan amal perbuatan manusia dibuka, maka mereka akan melihat kebajikan atau kejahatan yang mereka perbuat ketika di dunia. Mereka akan tercengang keheranan karena tidak menyangka semuanya tercatat rapi dan teliti. Allah berfirman: Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya," dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49) Bagaimana bentuk kitab atau catatan amal perbuatan manusia itu di Padang Mahsyar tidak kita ketahui. Namun kalau manusia saja mampu menciptakan berbagai alat perekam yang begitu canggih dan teliti, kita percaya bahwa Allah Sang Pencipta manusia punya sistem dan cara untuk merekam perbuatan, perkataan, dan isi hati manusia dengan hasil yang lebih baik dari apa yang dapat dibuat manusia.