Nahdlatul Ulama tidak lahir dari ruang hampa administrasi. Ia tumbuh dari tradisi pesantren yang memandang kekuasaan sebagai amanah, bukan sekadar hasil kompetisi prosedural. Karena itu, konflik internal NU tidak pernah cukup dibaca dengan kacamata menang–kalah atau legal–ilegal semata. Ia selalu bersentuhan dengan pertanyaan yang lebih dalam: apakah kekuasaan itu masih berjalan dalam koridor maslahat jam’iyah atau justru mulai melahirkan mafsadah?
Dalam khazanah ushul fiqh, pertanyaan ini bukan hal baru. Para ulama sejak awal menegaskan bahwa tindakan kepemimpinan tidak diukur dari prosedurnya saja, tetapi dari dampaknya terhadap kemaslahatan umum. Karena itu kaidah taṣarruf al-imām ‘ala al-ra‘iyyah manūṭun bi al-maṣlaḥah menjadi fondasi utama dalam membaca otoritas dan batasannya. Kekuasaan tidak berdiri otonom; ia selalu terikat nilai, tujuan, dan tanggung jawab moral.
Dalam fiqh siyasah, kepemimpinan umat tidak dilepaskan dari konsep ahl al-ḥall wa al-‘aqd. Al-Māwardī dalam Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah menempatkan AHWA bukan sekadar sebagai pemilih, tetapi sebagai penjaga legitimasi moral dan arah kepemimpinan. Mereka berwenang mengikat dan melepaskan mandat demi menjaga maslahat umat.
Dalam konteks NU, Muktamar dapat dipahami sebagai manifestasi kolektif AHWA. Di sanalah mandat diberikan, arah jam’iyah ditetapkan, dan kepemimpinan dikukuhkan. Namun Muktamar bersifat temporal. Setelah forum selesai, amanah tidak ikut selesai. Ia harus dijaga.
Di titik inilah posisi Rais Aam dan Lembaga Syuriyah memperoleh makna fiqhiy yang mendasar. Rais Aam bukan sekadar ketua struktural, melainkan representasi berkelanjutan fungsi AHWA pasca Muktamar—penjaga khittah, nilai, dan maslahat jam’iyah. Ini sejalan dengan prinsip ushul fiqh bahwa penjagaan maslahat bersifat berkelanjutan, sementara forum hanyalah sarana.
Dua Rezim Kepemimpinan NU: Wilāyat al-Naẓar dan Wilāyat al-Tanfīż
Dalam tradisi fiqh siyasah Ahlussunnah, kekuasaan tidak pernah dipahami sebagai satu blok tunggal. Para ulama membedakan secara tegas antara wilayah penjagaan nilai dan legitimasi dengan wilayah pelaksanaan teknis-administratif. Pembedaan ini dikenal sebagai wilāyat al-naẓar dan wilāyat al-tanfīż.
Wilāyat al-naẓar berkaitan dengan penjagaan arah, legitimasi moral, dan kemaslahatan umum. Wilāyat al-tanfīż berkaitan dengan pelaksanaan keputusan, administrasi, dan kerja operasional. Dalam NU, pembagian ini terartikulasikan secara sadar melalui dua struktur utama: Syuriyah dan Tanfidziyah.
Rais Aam dan Lembaga Syuriyah berada dalam wilayah wilāyat al-naẓar sebagai nāẓir al-maṣlaḥah jam’iyah. Ketua Umum Tanfidziyah berada dalam wilayah wilāyat al-tanfīż sebagai pelaksana mandat. Keduanya tidak setara, bukan pula rival, tetapi saling melengkapi dalam satu bangunan kepemimpinan.
Menyamakan posisi Rais Aam dan Ketua Umum sebagai dua pimpinan setara adalah kekeliruan epistemologis. Jika keduanya disetarakan, NU kehilangan penjaga nilai dan secara perlahan berubah menjadi organisasi kontraktual murni. Padahal sejak awal NU dirancang sebagai jam’iyah diniyah yang memakai sistem modern, bukan tunduk sepenuhnya pada logika administratif.
Fiqh wakālah memberi kerangka yang presisi untuk membaca posisi Ketua Umum. Ibn Qudāmah dalam Al-Mughnī menegaskan kaidah al-wakīl lā yataṣarraf illā fī ḥudūd al-wakālah: seorang wakil hanya boleh bertindak dalam batas mandat yang diberikan.
Dalam kerangka ini, Ketua Umum adalah wakīl al-tanfīż, pelaksana amanah jam’iyah, bukan pemilik mandat. Ia kuat dalam wilayah kerja administratif, tetapi tidak berdiri di atas nilai dan arah jam’iyah. Karena itu, persetujuan Rais Aam terhadap calon Ketua Umum sebelum pemilihan bukan sekadar formalitas organisasi, melainkan mekanisme taḥqīq al-manāṭ—verifikasi kelayakan moral dan jam’iyah—sebagaimana ditekankan dalam ushul fiqh oleh al-Qarāfī dalam Al-Furūq.
Dokumen Fiqhiy KH. Afifuddin Muhajir dan Kekeliruan Cara Mengadilinya
Dalam konteks inilah dokumen fiqhiy KH. Afifuddin Muhajir tentang pemberhentian Ketua Umum PBNU oleh Lembaga Syuriyah harus dibaca. Tulisan tersebut bukan opini personal yang berdiri di ruang hampa, melainkan artikulasi fiqh siyasah dari dalam tradisi Syuriyah NU. Ia berpijak pada kaidah dar’u al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-maṣāliḥ sebagaimana dirumuskan dalam literatur kaidah fiqh, antara lain oleh al-Suyūṭī dalam Al-Ashbāh wa al-Naẓā’ir.
Masalahnya bukan pada dalil yang digunakan, melainkan pada cara sebagian pihak mengadili hujjah tersebut. Kritik yang berkembang cenderung menguji dalil dan prosedur, tetapi mengabaikan manāṭ-nya: realitas konflik, kebuntuan legitimasi, dan potensi mafsadah jam’iyah. Dalam ushul fiqh, sebagaimana ditegaskan al-Ghazālī dalam Al-Mustaṣfā, hukum lahir dari dialog antara dalil dan realitas yang diverifikasi. Mengadili fiqh tanpa membaca realitas berarti menafikan separuh dari kerja fiqh itu sendiri.
Kekeliruan lain adalah mereduksi hujjah fiqh Syuriyah menjadi sekadar pendapat yang dapat dikesampingkan oleh mekanisme administratif. Reduksi ini mengabaikan posisi Syuriyah sebagai pemegang wilāyat al-naẓar. Dalam perspektif maqāṣid, al-Shāṭibī dalam Al-Muwāfaqāt mengingatkan bahwa maslahat yang diputus tanpa memperhatikan tujuan-tujuan syariat justru dapat berubah menjadi mafsadah terselubung. Menundukkan sepenuhnya otoritas keulamaan pada logika prosedural adalah bentuk kekeringan metodologis yang bertentangan dengan ruh pesantren.
Halaqah RMI PBNU yang membedah hujjah KH. Afifuddin Muhajir perlu diposisikan secara proporsional. Ia adalah forum ilmiah lembaga, bukan forum Syuriyah sebagai institusi pemegang amanah tertinggi jam’iyah. Karena itu, hasilnya tidak dapat diperlakukan sebagai sikap final NU apalagi untuk menegasikan peran Syuriyah. Ketika diskursus keilmuan lembaga dibaca seolah-olah setara dengan otoritas jam’iyah, terjadi pergeseran framing yang berbahaya bagi tata kelola NU.
Di sisi lain, AD/ART tetap memiliki kedudukan penting sebagai niẓām jam’iyah. Namun dalam ushul fiqh, sistem adalah alat menjaga keteraturan, bukan pengganti nilai. AD/ART harus dibaca dalam koridor maqāṣid, terutama ḥifẓ al-jamā‘ah—menjaga keutuhan NU sebagai rumah bersama.
Dan dalam konteks NU, sepenuhnya kurang bijak jika pakai sudut pandang fiqh murni atau sebaliknya mengedepankan ad/art menafikan hujjah ulama, karena NU sejak awal merupakan organisasi yang dikelola secara modern, dalam arti menempatkan keduanya pada posisi saling melengkapi meskipun bukan equal namun kuat pada posisi masing-masing.
Yang terjadi saat ini, lebih karena yang berseteru para pucuk pimpinannya, sehingga ad/art, perkum belum ada yang rigid mengatur, jika hal itu terjadi, kalaupun ada majelis tahkim dan MLB sekalipun, keduanya mensyaratkan Rais Aam dan Ketum ada di dalamnya, sehingga apapun, mau pakai dasar fiqh atau legal formal organisasi, tanpa dilandasi rasa kebersamaan dan niat buat Islah, tidak mungkin terjadi kesepakatan bersama.
Surat PBNU kepada Kementerian Hukum Republik Indonesia menunjukkan bagaimana jalur negara digunakan untuk mengunci stabilitas administratif. Langkah ini sah dan dapat dipahami. Namun negara hanya mampu menentukan keabsahan administratif, bukan memulihkan legitimasi keulamaan. Konflik NU hari ini tidak akan selesai hanya dengan pengesahan atau penolakan SK kepengurusan, karena yang dipersoalkan adalah otoritas moral dan arah jam’iyah
Muktamar Luar Biasa dan Fiqh Darurat
Secara normatif, Muktamar Luar Biasa adalah jalan keluar paling bersih. Namun dalam kondisi sekarang, mekanisme normal nyaris mustahil dijalankan karena dualisme legitimasi. NU dengan demikian memasuki wilayah fiqh al-nawāzil, kondisi darurat di mana pilihan diukur dari mana yang paling mampu mencegah mafsadah terbesar.
Dalam perspektif maqāṣid, memang hilangnya otoritas keulamaan lebih berbahaya daripada kekacauan administratif sementara. NU tanpa pengakuan negara masih bisa bertahan, NU tanpa penjaga nilai akan kehilangan ruhnya. Pernyataan ini bukan pembenaran pemaksaan sepihak, melainkan peringatan tentang prioritas maslahat yang harus disadari bersama.
Namun masalahnya hari ini, banyak pihak khususnya struktur NU sampai bawah, juga warga jamiyyah sudah sama-sama "muak" melihat apa yang terjadi, sehingga jika kedua pihak tidak mau Islah dan masih memaksakan kehendak, maka siapapun jika nanti ada yang menang secara hukum negara, secara moral akan sama-sama lemah dimata jamaah, dan sekali lagi jamaah dan jamiyyah yang akan dirugikan.
NU tidak sedang diuji oleh perbedaan pendapat, melainkan oleh kemampuannya mengelola perbedaan dengan ilmu dan adab. Fiqh jam’iyah, konstitusi organisasi, dan tradisi pesantren telah menyediakan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Yang diperlukan hari ini adalah kebesaran jiwa untuk menyatukan nilai dan sistem dalam satu sikap kenegarawanan jam’iyah.
Jika NU mampu keluar dari krisis ini dengan kepala dingin dan hati bening, ia tidak hanya menyelamatkan organisasinya, tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagai jam’iyah diniyah yang dewasa: teguh pada nilai, tertib dalam tata kelola, dan arif dalam menggunakan kekuasaan. Dari sanalah NU akan kembali berdiri kokoh, bukan sebagai pemenang konflik, melainkan sebagai penjaga maslahat umat dan bangsa.