Di tengah dunia yang kian terbelah oleh politik identitas, perang narasi agama, dan krisis kemanusiaan lintas batas, pertanyaan mendasarnya bukan lagi sekadar soal siapa yang benar, melainkan bagaimana manusia dapat tetap diperlakukan secara bermartabat. Dalam situasi inilah Islam Indonesia—khususnya Nahdlatul Ulama (NU)—menawarkan pengalaman historis yang unik: Islam yang tumbuh bersama kemajemukan, bukan melawannya.
Gus Dur dan Humanisme sebagai Fondasi Etika Publik
Gus Dur memahami bahwa agama kehilangan daya moralnya ketika ia berubah menjadi alat penyeragaman. Dalam praktik kenegaraan, ia menolak formalisasi agama yang mengorbankan kebebasan warga. Pandangan ini sangat relevan dengan pemikiran Charles Taylor dalam bukunya A Secular Age (2007). Taylor berargumen bahwa dalam "zaman sekular", tantangan agama bukan lagi sekadar ada atau tidak ada Tuhan, melainkan bagaimana iman dihidupi dalam ruang yang penuh dengan pilihan makna (keberagaman). Gus Dur memposisikan Islam bukan sebagai ideologi kekuasaan, melainkan sebagai sumber nilai yang menuntun manusia hidup adil.
Sikap Gus Dur membela kelompok minoritas mencerminkan apa yang disebut Jurgen Habermas sebagai "masyarakat pasca-sekular". Dalam buku Between Naturalism and Religion (2008), Habermas menekankan bahwa warga beragama harus mampu menerjemahkan keyakinan teologisnya ke dalam bahasa yang dapat diakses secara universal di ruang publik. Gus Dur melakukan "terjemahan" ini dengan luar biasa: ia mengubah doktrin Islam menjadi pembelaan hak asasi manusia (HAM) yang inklusif.
Tradisi NU: Moderasi sebagai Kebijaksanaan Sosial
Humanisme Gus Dur tumbuh dari tradisi panjang pesantren. Prinsip tawassuth (moderasi) dalam NU mencerminkan apa yang dalam filsafat disebut sebagai Etika Keutamaan (Virtue Ethics). Alasdair MacIntyre dalam karyanya After Virtue (1981) berpendapat bahwa etika tidak bisa dilepaskan dari tradisi dan komunitas yang menghidupinya. NU mempraktikkan etika ini melalui bahtsul masail, sebuah proses diskursif yang menghargai keragaman pendapat namun tetap berpijak pada kemaslahatan bersama.
Moderasi ini bukan sikap pasif, melainkan bentuk "kebijaksanaan praktis" (phronesis) untuk menghindari absolutisme. Ini sejalan dengan kritik Amartya Sen dalam Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2006), yang mengingatkan akan bahayanya reduksi identitas manusia ke dalam satu kategori tunggal (seperti agama saja). NU, melalui tradisinya, mengakui bahwa manusia memiliki identitas yang berlapis: sebagai Muslim, sebagai warga negara, dan sebagai bagian dari kemanusiaan.
Gus Yahya dan Tanggung Jawab Global Islam
Jika Gus Dur meletakkan fondasi etika domestik, Gus Yahya memperluasnya menjadi tanggung jawab global melalui gagasan "Humanitarian Islam". Pendekatan Gus Yahya yang menekankan pada pengakuan jujur atas problem tafsir keagamaan selaras dengan pemikiran Emmanuel Levinas tentang tanggung jawab yang tak terhingga terhadap "Wajah yang Lain" (The Other). Dalam buku Totality and Infinity (1961), Levinas menegaskan bahwa etika dimulai ketika kita mengakui keberadaan orang lain yang berbeda tanpa berusaha "menelan" atau menyamakannya dengan diri kita.
Gus Yahya menuntut keberanian untuk mereformasi pandangan dunia Islam agar relevan dengan tatanan internasional yang setara. Upaya ini sejalan dengan visi Hans Küng dalam Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (1991). Küng berargumen bahwa "tidak akan ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa perdamaian di antara agama-agama, dan tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog." Gus Yahya membawa NU untuk memimpin dialog tersebut secara proaktif di panggung dunia.
Agama di Ruang Publik yang Deliberatif
Tantangan dunia modern adalah bagaimana agama berbicara tanpa memaksakan kebenaran teologisnya. Di sinilah NU menawarkan model ruang publik deliberatif. Hal ini beririsan dengan pemikiran Martha Nussbaum dalam The Cosmopolitan Tradition (2019). Nussbaum menekankan pentingnya martabat manusia yang melampaui batas-batas nasional dan religius. Agama, dalam kerangka NU, tidak dibungkam, tetapi juga tidak diberi hak istewa untuk mendominasi; ia hadir sebagai mitra kritis yang menawarkan horizon etis bagi demokrasi dan hukum.
Perbedaan konteks antara Gus Dur dan Gus Yahya menunjukkan bahwa humanisme Islam NU adalah sebuah "tradisi yang hidup". Gus Dur mewariskan keberanian etis untuk memanusiakan agama di tingkat nasional, sementara Gus Yahya melanjutkan tanggung jawab tersebut ke tingkat peradaban global.
Jejak ini menegaskan bahwa masa depan agama tidak terletak pada seberapa keras ia mempertahankan simbol, melainkan pada seberapa dalam ia membela martabat manusia. Seperti pesan dalam buku Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (2010) karya Martha Nussbaum, dunia membutuhkan kemampuan untuk berempati dan melihat orang lain sebagai manusia yang utuh—dan itulah yang sedang diperjuangkan oleh arus humanisme Islam NU hari ini.