Di Palestina, ada tubuh manusia yang dijadikan objek eksperimen di balik angka dan statistik.
“Palestina bukan hanya tanah yang diduduki; ia adalah laboratorium global.”— Antony Loewenstein, The Palestine Laboratory (2023)
Langit Gaza tidak pernah benar-benar tidur. Ada dengung rendah yang menyerupai kawanan lebah besi, berputar-putar di atas kepala orang-orang yang sedang menunggu giliran di pos pemeriksaan, di atas anak-anak yang berlari tanpa alas kaki di lorong sempit kamp pengungsi, di atas para ibu yang menjemur pakaian di atap rumah yang setengah runtuh. Itu bukan sekadar bunyi mesin. Itu adalah ritme dari sebuah laboratorium yang berdenyut tanpa henti. Sebuah laboratorium yang bekerja dengan tubuh manusia sebagai objek uji, dengan kota yang hancur sebagai katalog terbuka, dengan penderitaan sebagai brosur yang dikirim ke pasar global.
Palestina, selama lebih dari tujuh dekade terakhir, bukan hanya tanah yang diduduki. Ia adalah panggung percobaan, sebuah ruang uji di mana teknologi represi diuji pada tubuh-tubuh yang tidak pernah memilih untuk menjadi relawan. Tembok beton yang menjulang, kamera pengenal wajah yang dipasang di jalanan, perangkat lunak yang menyusup diam-diam ke ponsel, peluru karet, gas air mata, checkpoint, izin perjalanan, hingga jatah air bersih yang diukur dengan logika militer. Semuanya pertama kali diujikan di sini, sebelum dijual ke luar negeri.
Setiap detik adalah eksperimen di tanah yang dipagari kawat berduri ini. Setiap eksperimen punya nilai tukar.
Antony Loewenstein, dalam The Palestine Laboratory: How Israel Exports the Technology of Occupation Around the World (Verso, 2023), menyibak paradoks yang paling getir: penderitaan satu bangsa dijadikan katalog penjualan bagi rezim lain. Dari junta militer Amerika Latin, dari apartheid Afrika Selatan, hingga kepolisian kota-kota besar di Amerika Serikat, semuanya pernah belajar dari Israel. Gaza, dengan luka yang terus terbuka, menjadi showroom bagi dunia, tempat di mana penderitaan manusia berubah menjadi promosi dagang tanpa kata.
Dari Nakba ke Drone
Kisah laboratorium ini tidak bermula dari perangkat canggih atau spyware yang menakutkan. Ia bermula dari pengusiran massal. Tahun 1948, yang di Israel dirayakan sebagai kemerdekaan, bagi Palestina adalah Nakba(bencana). Lebih dari 750 ribu orang diusir dari rumah mereka, 531 desa dihapus dari peta, dan 15 ribu jiwa terbunuh hanya dalam dua tahun.
Sejak saat itu, pola dasar terbentuk: kontrol atas populasi bukan sekadar konsekuensi perang, tetapi strategi utama yang dipelihara, diwariskan, dan ditransformasikan menjadi fondasi negara.
Setelah Perang Enam Hari 1967, wilayah pendudukan bertambah luas: Tepi Barat, Gaza, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan. Di satu sisi, kemenangan itu dianggap mukjizat oleh banyak orang Israel; di sisi lain, bagi Palestina, ia adalah awal dari kehidupan sebagai bahan percobaan. Segalanya: perjalanan, pendidikan, kesehatan, bahkan pasokan air dijadikan instrumen uji coba.
Dari percobaan itulah lahir 'produk'. Produk yang kemudian dikemas sebagai paket keamanan untuk dunia: “teruji dalam pertempuran”, “terbukti di lapangan”, dan “siap tempur”. Dua kata semenjana, tapi penuh makna getir: senjata atau sistem ini bukan sekadar hasil simulasi; ia telah dicoba pada tubuh manusia, pada rumah-rumah yang bersetai-setai, pada anak-anak yang tidak pernah berdosa.
Brosur yang Berjalan
Lema teruji dalam pertempuran berkilau di brosur, seakan-akan itu sebuah garansi kualitas di stan pameran senjata internasional. Gaza, tanpa pernah diminta izinnya, menjadi brosur hidup.
Setiap kali misil ditembakkan, setiap kali drone mengintai, setiap kali pasukan memasuki kamp pengungsi, data teknis dicatat: seberapa presisi tembakan, seberapa efektif pengintaian, seberapa cepat perlawanan dilumpuhkan. Rekaman ini kemudian dipotong, disunting, dan diputar di layar besar pameran pertahanan: Paris, Singapura, Abu Dhabi. Para jenderal dan pejabat keamanan menonton detik-detik ketika sebuah rumah di Nablus dihancurkan, ketika sebuah kendaraan di Gaza dihantam misil. Yang tidak disebut dalam brosur adalah anak-anak yang ikut terbunuh.
Logika pasar ini membekukan nurani: setiap korban berarti validasi produk. Setiap kematian berarti peluang kontrak bernilai jutaan dolar. Tidak ada negara lain yang begitu gamblang memasarkan penderitaan sebagai jaminan mutu.
Dari Amerika Latin ke Afrika Selatan
Jejak laboratorium Palestina menjalar ke berbagai rezim dunia.
Di Chile tahun 1973, ketika Salvador Allende digulingkan dan Augusto Pinochet naik ke kursi kekuasaan, Israel adalah pemasok utama senjata dan teknologi represi. Water cannon, senapan, hingga kendaraan lapis baja. Semuanya datang dari Tel Aviv.
Di Argentina, pada era “Perang Kotor” (1976-1983), ribuan orang “dihilangkan”. Dokumen yang dibuka belakangan menunjukkan bahwa Israel tetap mengekspor senjata, meski tahu senjata itu dipakai untuk membungkam rakyat sendiri.
Di Afrika Selatan, saat rezim apartheid dikucilkan dunia, Israel justru menjadi mitra erat: dari kerja sama nuklir hingga pelatihan militer. Bangsa yang lahir dari trauma diskriminasi justru membantu rezim yang meneguhkan diskriminasi.
Jejak yang sama terlihat di Rwanda tahun 1994, ketika genosida berlangsung: pengiriman senjata ringan Israel tetap berjalan. Di Myanmar, meski dunia mengecam pembersihan etnis Rohingya, peralatan militer tetap dikirim.
Apa yang dijual bukan sekadar senjata. Yang dijual adalah metode, cara mengontrol populasi, cara bertahan hidup sebagai rezim.
Barat dan Simbiosis Oportunistik
Barat, dengan wajah ganda, adalah pembeli sekaligus pengkritik.
Eropa dan Amerika di forum internasional kerap berwicara tentang hak asasi, tentang solusi dua negara, tentang perdamaian. Akan tetapi kontrak senjata, spyware, dan kerja sama intelijen tetap ditandatangani.
Setelah 11 September 2001, Israel berubah dari sekutu regional menjadi sekolah dunia perihal keamanan. Aparat dari New York hingga Atlanta dikirim belajar ke checkpoint di Tepi Barat. Mereka melihat bagaimana kerusuhan dibubarkan, bagaimana data biometrik dipakai untuk menyaring orang. Tatkala Ferguson terbakar tahun 2014, para aktivis kulit hitam berkata: “Rasanya seperti Ramallah.”
Uni Eropa, yang kerap berbicara tentang demokrasi, adalah pembeli terbesar teknologi Israel. Seolah-olah setiap drone atau spyware membawa janji terselubung: “Kami bisa bantu mengendalikan imigran, minoritas, atau demonstran kalian.”
Ideologi yang Dijual
Yang paling berbahaya bukan hanya senjata, melainkan ideologi yang dikemas bersama senjata itu. Israel menawarkan model negara yang dibangun di atas tembok, dipelihara dengan algoritma, dijaga dengan spyware, dan dibenarkan dengan nasionalisme eksklusif.
Loewenstein menyebutnya “Netanyahuism”: sebuah doktrin yang menjadikan pendudukan bukan sebagai beban, melainkan sebagai aset nasional. Model ini menarik bagi banyak rezim dunia: India di bawah Modi, Hungaria di bawah Orbán, Brasil di bawah Bolsonaro, Filipina di bawah Duterte. Mereka tidak hanya membeli drone atau spyware. Mereka membeli legitimasi: gagasan bahwa represi bisa dijual sebagai keamanan, bahwa apartheid bisa disamarkan sebagai perlindungan.
Ada tubuh manusia yang dijadikan objek eksperimen di balik angka dan statistik.
Hassan, seorang buruh di Ramallah, setiap hari melewati checkpoint Qalandiya. Ia berdiri berjam-jam dalam antrean besi ketang. Setiap langkahnya ditentukan suara pintu yang dikendalikan dari balik kaca anti-peluru. Kamera mencatat wajahnya, sensor membaca gerak-geriknya. Bagi perusahaan keamanan, Qalandiya adalah laboratorium. Bagi Hassan, itu berarti hidupnya habis di ruang tunggu yang tidak pernah ia pilih.
Amina di Gaza kehilangan rumahnya karena misil. Keesokan harinya, foto reruntuhan rumahnya muncul bukan di media sebagai bukti tragedi, tetapi di presentasi perusahaan senjata sebagai contoh efektivitas. Baginya, hanya ada kehilangan. Bagi industri, itu adalah bahan promosi. Setiap wajah yang dipindai, setiap rumah yang runtuh, setiap anak yang terbunuh, dicatat sebagai laporan uji coba.
Palestinisasi Dunia
Dari Ramallah ke Ferguson, dari Gaza ke favela Brasil, dari kamp pengungsi Rohingya hingga perbatasan Meksiko, metode yang sama dipakai: pagar kawat, drone, spyware, tembok. Aktivis menyebut fenomena ini sebagai “Palestinisasi dunia”. Artinya semenjana: teknik represi yang dipakai terhadap Palestina kini menyebar ke seluruh dunia. Dunia sedikit demi sedikit menjadi seperti Palestina yang diatur oleh algoritma, dipisahkan oleh tembok, diawasi oleh drone.
Namun, meski laboratorium ini tampak nyaris sempurna, ada satu variabel yang tidak pernah bisa sepenuhnya dikendalikan: manusia.
Ada suara anak yang tertawa meski drone berdengung. Ada suara ibu yang berdoa meski rumahnya rata dengan tanah. Ada pemuda yang menolak menyerah meski ditahan.
Dari Ferguson ke Ramallah, dari Kashmir ke Jenin, dari Rio hingga kamp migran Eropa, suara-suara ini bersahutan. Solidaritas mungkin rapuh, tetapi ia tumbuh, melintasi batas negara dan bahasa.
Dunia dalam Cermin Gaza
Palestina, dalam cermin Loewenstein, bukan hanya tragedi lokal, melainkan metafora global. Gaza adalah brosur terbuka tentang masa depan dunia, peringatan tentang apa yang terjadi jika kita membiarkan rasa takut menjadi mata uang global.
Laboratorium ini mengajarkan kita sesuatu yang mengerikan: bahwa demokrasi bisa hidup berdampingan dengan apartheid, bahwa keamanan bisa dijadikan alasan untuk merampas kebebasan, bahwa penderitaan bisa dipasarkan sebagai produk internasional.
Walakin laboratorium ini juga menyimpan peringatan: jika dunia tidak berhati-hati, ia akan segera menjadi bagian dari eksperimen itu sendiri.
Gaza adalah cermin yang dipaksa kita tatap di dunia yang kian penuh tembok dan kamera. Cermin itu memantulkan wajah kita sendiri ketika kita pura-pura tak mengenalinya. Di balik brosur senjata yang berkilau, di balik jargon teruji dalam pertempuran yang dibisikkan di stan pameran Paris atau Singapura, ada reruntuhan rumah yang pernah berisi tawa anak-anak, ada dinding yang masih menyimpan bau roti hangat sebelum berubah jadi debu. Ironi itu begitu telanjang: penderitaan satu bangsa dijadikan garansi mutu, sementara bangsa-bangsa lain membelinya dengan antusias, seolah membeli parfum baru atau gawai keluaran terkini.
Dunia, dengan wajah diplomatisnya yang penuh kata laksmi, menutup mata di pagi hari dan menandatangani kontrak di sore hari.
Barangkali inilah lelucon paling getir abad ini: bahwa kemanusiaan dijual dalam paket diskon, dan tragedi dipasarkan sebagai peluang investasi. Palestina, dengan luka yang tidak pernah sempat sembuh, kini bukan lagi sekadar tempat di peta, melainkan laboratorium global, semacam ramalan muram tentang masa depan dunia yang sibuk membangun pagar ketimbang jembatan, terleka membeli spyware ketimbang merawat iktikad.
Suara manusia di tengah semua itu tetap merayap ke luar: lirih, patah, namun bandel. Suara anak yang menyanyikan lagu di bawah dengung drone, suara ibu yang menolak berhenti berdoa meski langit runtuh. Mereka adalah bisikan yang tak bisa dibungkam, semacam puisi yang ditulis di atas puing-puing.
Dunia boleh terus membeli, menawar, dan memperdagangkan rasa takut, tetapi di balik semua katalog itu, ada satu barang yang tak pernah bisa benar-benar dijual: harapan.
Pada akhirnya, mungkin dunia tidak sedang mempelajari cara melindungi diri, melainkan sedang antre membeli cara paling elegan untuk menghancurkan dirinya sendiri.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sejarah FIB Universitas Diponegoro Semarang. Sejarawan UIN Palangka Raya. Editor Buku Penerbit Indie Marjin Kiri.
Politik | 30.11.2023
Politik | 06.12.2023
Politik | 04.01.2024