Ada banyak jalan menuju Roma.
Begitu bunyi pepatah yang telah muncul sejak kekaisaran Romawi ribuan tahun lalu. Artinya, ada lebih dari satu cara untuk mencapai tujuan yang sama. Termasuk dalam menjalani kehidupan. Siapa pun, tak terkecuali, pasti ingin hidup bahagia. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, ia pasti rela melakukan apa saja.
Berbagai jalan juga ditempuh umat muslim demi meraih kebahagiaan. Ada yang memilih mengabdikan diri kepada umat. Ada yang lewat jalur mendermakan harta kekayaan. Ada pula yang menjauh dari hiruk pikuk dunia dan hidup di pengasingan. Namun, dari sekian jenis jalan itu, ada satu jalan yang tidak banyak diketahui; mengikuti tips-tips yang tertulis dalam kajian ilmu nahwu.
Meski memiliki segudang faidah, banyak orang beranggapan ilmu nahwu tidak terlalu penting untuk dipelajari. Terutama oleh pelajar perempuan yang terlanjur mendapat cap di masyarakat luas bahwa alur hidupnya hanya sebatas sekolah, kuliah -kalau ada biaya-, nikah dan mengurus rumah. Buat apa bersusah payah belajar Jurumiyyah hingga Alfiyyah, kalau ujung-ujungnya tetap berdiam di rumah? Lebih baik mempelajari cara-cara ibadah, cara bermuamalah, atau cara membuat suami betah. Begitu kira-kira alibi mereka.
Stigma tersebut tidak benar dan tidak boleh terus dibiarkan. Justru sebelum menguasai disiplin ilmu apapun, seorang pelajar harus menaklukkan ilmu nahwu-sharaf terlebih dahulu. Sebagaimana maqolah yang populer,
أنَّ الصَّرفَ أمُّ العلوم والنحو أبوها
“Sungguh, sharaf itu adalah induk dari segala ilmu dan nahwu adalah bapaknya.”
Bahkan, dalam muqaddimah kitab Mukhtashar Jiddan disebutkan bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sungguh, Allah tidak akan menerima doanya orang yang malhun (orang yang keliru dalam i'rab)”. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya ilmu nahwu.
Namun, realitanya sebagian orang tetap saja malas mempelajari ilmu nahwu. Berbagai alasan mereka kemukakan. Selain dianggap rumit dan perlu latihan panjang, disiplin ilmu yang satu ini juga diklaim tidak pragmatis. Hal ini sangat berbeda dengan fan lain yang lebih bersifat praktis, seperti ilmu fikih, tafsir dan tasawuf.
Padahal, anggapan demikian hanya soal perspektif saja. Sebab, jika ditelisik lebih jauh dan direnungkan, banyak nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam teori-teori nahwu. Sehingga teori-teori tersebut sangat mungkin diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, konon katanya, Syaikhona Kholil Bangkalan pun menggunakan bait-bait Alfiyyah untuk menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepada beliau, baik itu seputar fikih atau persoalan lainnya. Karena itulah, selain membacakan tahlil dan doa, banyak juga para peziarah yang khataman Alfiyyah Ibn Malik di makam beliau. Alasannya tentu saja untuk tabarrukan.
Salah satu nilai filosofis itu terdapat dalam pembahasan i’rab. Sebagaimana telah maklum, i’rab terbagi menjadi empat macam; rafa’, nashab, khafadl, dan jazm. Urutan irob seperti ini ternyata menunjukkan tips-tips menjalani kehidupan agar sampai kepada kebahagiaan. Tidak percaya? Mari kita buktikan.
Pertama, i’rab rafa’. Secara bahasa, rafa’ berarti al-‘uluww dan al-irtifa’ yang berarti tinggi, luhur. Itu artinya, agar hidup kita sukses, kita harus mempunyai derajat yang tinggi, terutama di hadapan Allah. Salah satu jalannya adalah dengan menjadi orang yang berilmu. Firman Allah dalam Q.S. Al-Mujadalah [58]:11,
ﵟيَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚﵞ
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Jadi, beruntunglah kalian yang sudah berilmu, atau setidaknya calon orang berilmu (pelajar). Karena dengan begitu, satu tangga menuju hidup bahagia ala nahwu telah kalian tapaki.
I’rab yang kedua adalah nashab. Dalam bahasa Arab, kata nashaba berarti al-istiqamah, konsisten. Dalam artian, setelah mempunyai ilmu dan memiliki derajat tinggi, kita harus konsisten dalam mengamalkan ilmu tersebut. Jangan hanya mengetahui, tapi tidak mengamalkan. Bukankah lebih baik melakukan puasa Senin-Kamis secara rutin, daripada puasa berbulan-bulan tapi setelah itu tidak mau puasa sunnah lagi? Bukankah lebih baik konsisten membaca buku satu lembar per hari, daripada satu malam selesai satu buku tapi setelah itu tidak mau membaca lagi?
Yang ketiga adalah i’rab khafadl. Kata khafadl semakna dengan kata al-tadzallul wa al-khudlu’. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut bisa diartikan rendah diri, penyerahan. Jadi, setelah berhasil meraih derajat yang tinggi dan mampu konsisten dalam beramal, seseorang harus melengkapinya dengan sikap tawadu'. Jangan mentang-mentang menguasai berbagai disiplin ilmu dan rajin beribadah, lalu merasa dirinya sudah sempurna sehingga timbul sikap sombong dan congkak. Amal apa pun, jika disertai sifat riya’, hasilnya akan sia-sia belaka.
Terakhir, setelah melalui tiga fase di atas, saatnya manusia bertemu dengan i’rab pamungkas, yakni i’rab jazm. Secara bahasa, jazm berarti al-qath’u yang berarti putus. Putus di sini bisa diarahkan pada terputusnya ruh dari jasad; kematian. Secara manusiawi, seseorang akan merasa lelah ketika sepanjang hidupnya ia dedikasikan untuk berperilaku rafa’ (memiliki derajat tinggi), nashab (konsisten) dan khafadl (tawadu'). Oleh karena itu, setelah berupaya melewati tiga fase ini sebaik mungkin, saatnya seorang hamba untuk jazm (meninggal). Jazm ditandai dengan sukun yang secara harfiah berarti diam, tenang.
Dengan demikian, orang yang telah melewati rafa, nashab, dan khafad dengan sempurna, akan meninggal dalam keadaan sukun, (tenang) dan dikaruniai nikmat kubur untuk kemudian bertemu dengan Tuhan. Jiwa-jiwa orang saleh seperti ini tentu akan sangat rindu dan ingin segera bertemu dengan penciptanya. Firman Allah dalam Q.S. Al-Fajr [89]: 27-30,“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai. Lalu masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku!”
Demikianlah tips-tips hidup bahagia ala i’rab dalam ilmu nahwu. Selamat mencoba!