Melakukan penelitian tentang pesantren selalu ada hal yang menarik, karena pesantren adalah wajah muslim Indonesia.
Santri Lirboyo sedang membaca koran. Foto: Hamzah/Alif.id
Telah banyak penelitian mengenai Islam di Indonesia yang dilakukan oleh para sarjana luar negeri dari pelbagai bidang, khususnya antropologi. Merentang sejak trikotomi yang diperkenalkan Clifford Geertz hingga era kiwari. Indonesia sebagai penduduk muslim terbesar di dunia sekaligus menempati posisi yang berada “di pinggiran” meningkatkan keingintahuan terhadap Islam itu sendiri dan menjadikannya lokus yang menarik, walau tidak sepenuhnya unik.
Buku karya Ronald Lukens-Bull, A Peaceful Jihad:Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java (Palgrave Macmillan, 2005) ini menambah perbendaharaan kajian Islam di Indonesia, terutama fokusnya kepada pesantren. Bagaimana upaya pesantren menegosiasikan posisinya untuk mempertahankan akar tradisi di tengah kehadiran modernitas yang pesat. Melalui riset lapangan di beberapa pesantren di Jawa Timur, Lukens-Bull menjabarkan kelindan itu dalam enam bab, termasuk dua bab sebagai pendahuluan dan penutup.
Pada bab awal, Lukens-Bull mengutip tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban antara Barat dan Islam pasca-Perang Dingin yang populer pada 1990-an dan awal 2000-an—beriringan dengan waktu kerja lapangannya. Benturan peradaban ini dibaca seolah tidak terelakkan, mengingat adanya satu konsep dalam Islam yang begitu berpengaruh, yakni “jihad”. Mayoritas muslim memahami jihad tidak hanya sebatas perang suci atau pengerahan kekerasan sebagaimana sering ditemui. Namun, alih-alih sebagai berjuang di jalan Allah.
Di dalam buku ini, Lukens-Bull mendudukan jihad dalam dua kategori: jihad besar (greater jihad) dan jihad kecil (lesser jihad). Jihad besar didefinisikan sebagai upaya untuk melawan kebatilan, dosa diri sendiri. Sedangkan, jihad kecil adalah upaya untuk terlibat dalam ruang publik.
Jihad jenis inilah yang sering dijumpai sebagai dalih kekerasan atas nama agama. Namun, bagi kalangan Islam Tradisional (sebutan yang cukup umum digunakan/dijumpai, tetapi di dalam buku Lukens-Bull menyebutnya Classicalist Muslim), jihad dapat dilakukan secara damai melalui pendidikan, khutbah/ceramah, pembangunan jamaah, dan kepemimpinan amanah. Melalui hal ini, pendidikan pesantren masuk dan berada di pusat pembahasan.
Keberadaan pesantren mulai dibahas dalam Bab 2. Lukens-Bull mengungkapkan, Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur berada pada posisi yang istimewa sebagai “kiblat” dalam kehidupan komunitas santri secara luas. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan pendirinya K.H. Hasyim Ashari yang juga pendiri Nahdatul Ulama (NU).
Tebuireng menjadi representasi yang menarik dalam hubungannya dengan modernitas. Selain sebagai tempat pendidikan, Tebuireng menjadi situs ziarah suci karena pendiri dan beberapa keturunannya yang telah dianggap sebagai wali (saint) dan sebagai citra dunia (imago mundi). Di dalam lingkungan Tebuireng terdapat masjid sebagai tempat ibadah bersama juga tempat pengajaran, dan makam keluarga pendiri pesantren yang ramai dikunjungi itu dalam jarak yang berdekatan.
Dua tempat ini sudah lama digambarkan sebagai simbol perpaduan antara Islam dan ke-Jawa-an. Merefleksikan dimensi dari syariah, keilmuan, dan mistisme. Namun, bentuk-bentuk modern juga menampakkan diri seperti pendidikan berciri modern, kesehatan, perbankan, pemasaran dan lain sebagainya. Tercermin dari wujud asrama santri, perpustakaan yang tidak hanya berisi teks-teks klasik, kantor, bank, sekolah dengan ciri modern seperti SMP, SMA, institut/universitas keagamaan.
Keberadaan elemen-elemen modern ini bagaimana pun telah mengikis atau mengubah wajah pendidikan pesantren sedikit demi sedikit. Bentuk-bentuk negosiasi terhadap pengajaran di pesantren inilah yang disajikan dalam Bab 3.
Pesantren pada mulanya berfungsi sebagai tempat pengajaran agama pada tingkatan yang lebih lanjut. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, setiap pesantren dengan kiai di dalamnya memiliki spesialisasi dalam bidang ilmu keagamaan tertentu. Hal ini membuat santri yang ingin mempelajari bidang tertentu harus mengembara dari satu pesantren ke pesantren lain. Tradisi ini berguna untuk membentuk keilmuan sekaligus kemandirian seseorang yang kelak diharapkan menjadi kiai.
Sayangnya, tradisi itu sudah jauh memudar, paling tidak, saat Lukens-Bull melakukan kerja lapangan. Tradisi itu telah tergantikan dengan seorang guru yang mengajar beberapa mata pelajaran tertentu sekaligus. Mengikuti bentuk sistem pendidikan sekolah modern yang dipromosikan oleh pemerintah. Hal ini sekaligus membawa institusi pendidikan pesantren untuk menegosiasikan kurikulum sebagai identitasnya yang berbeda dengan sekolah modern.
Biasanya, pesantren yang tradisional sekali dalam kurikulumnya hanya mencakup: ngaji dan pengalaman. Sementara, pesantren yang cenderung modern menambahkan aspek: sekolah (pendidikan yang dipromosikan pemerintah dengan mata pelajaran umum), serta keterampilan dan kursus.
Penambahan ini berimplikasi terhadap kurangnya jam untuk ngaji (pendidikan agama). Di saat yang bersamaan, untuk memaksimalkan waktu yang sudah tersita, kemandirian santri yang biasanya memasak dalam sebuah kelompok kecil harus digantikan dengan kantin/katering. Artinya, kemandirian yang terdapat dalam aspek pengalaman juga menjadi terkikis. Tetapi di sisi lain, penambahan aspek yang baru itu tujuannya untuk mempersiapkan santri memasuki wilayah Indonesia modern dan dunia global yang luas. Menciptakan santri dengan moral ala pesantren dan keterampilan untuk bertahan di tengah modernitas. Situasi ini mengundang perdebatan di dalam dunia pesantren secara luas dengan penekanan pada upaya menjaga aspek tradisi yang ada, yang dikupas dalam bab berikutnya.
Bab 4, menjabarkan identitas pesantren. “Identitas dunia pesantren yang paling luas adalah ahlus sunna wal jamaah,” (hlm. 72). Biasanya disingkat dan dikenal sebagai Aswaja. Aswaja berarti mengikuti Nabi dan konsensus ulama. Ciri khas dari Aswaja adalah mengikuti salah satu dari empat mazhab Sunni dan di Jawa mazhab Syafii-lah yang paling dominan. Aswaja juga menganut mistisme (tasawuf) sebagai elemen yang vital dalam beragama. Menjadikan pesantren, selain menjadi tempat pendidikan agama, juga pusat mistisme (tasawuf). Dalam praktiknya, santri biasanya melakukan manakib atau pembacaan/pujian dari wali/orang suci.
Berkaitan dengan upaya menjaga identitas Aswaja yang melandasi pesantren terhadap tantangan modernitas dan globalisasi, ada beberapa hal yang telah digarisbawahi. Dari sebuah halaqah yang digelar dengan kehadiran kiai-kiai penting—yang dicatat Lukens-Bull, upaya untuk melestarikan dan mempromosikan Aswaja begitu ditekankan.
Setidaknya, menurut salah seorang kiai ada empat pokok ancaman terhadap Aswaja: gaya hidup yang materialistik, egois, dan secara umum tidak mencerminkan Islam; serangan melalui budaya terutama film dan gambar yang menampilkan seks dan kekerasan yang dianggap bertanggung jawab atas kekerasan dan amoralitas di masyarakat; serangan budaya juga menyelinap ke dalam nilai dan norma masyarakat dengan adanya sekulerisme, materialisme, individualisme, dan “isme” lain; dan, kerapuhan ikatan dan solidaritas antar sesama umat Muslim sendiri.
Ancaman-ancaman yang datangnya melalui budaya Barat itu bukannya tidak disadari. Para kiai memahami bahwa hubungan perdagangan dan ekonomi Indonesia dengan dunia luar telah membawa medium yang mempromosikan budaya Barat ke tengah-tengah masyarakat. Kompleksitas tidak bisa dihindari. Untuk mengatasi keadaan itu, beberapa saran diajukan meskipun mendapat tentangan dari kiai yang lain.
Hal ini misalnya dapat dilihat dari saran untuk merefleksikan doktrin Aswaja, walaupun pintu untuk menginterpretasikan sudah dianggap tertutup kecuali dalam kerangka mazhab yang sudah mapan. Kemudian, melestarikan praktik seperti tahlilan, salawatan, dan nilai-nilai yang merupakan jiwa dari pesantren. Saran terakhir membangun infrastruktur keagamaan seperti masjid, publikasi, dan ceramah/kuliah umum.
Selain yang datangnya dari modernitas, kewaspadaan dunia pesantren juga disematkan kepada bentuk Islam yang dianggap tidak sejalan. Seperti Mu'tazillah, Syiah, dan Wahabi. Untuk yang terakhir inilah yang berpengaruh di Arab Saudi. Sehingga, pesantren sering kali berhari-hati dalam menegosiasikan dirinya dengan Islam Arab agar tidak terjauh ke dalam “ke-Arab-araban”. Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, seperti disinggung oleh Lukens-Bull, pernah muncul perdebatan terkait salam yang harus diucapkan ketika bertamu (apakah harus menggunakan bahasa Arab sebagaimana digunakan oleh Muslim: assalamu’alaikum, Indonesia: permisi, dan Jawa: nyuwun sewu), dan pakaian perempuan menyangkut penutup kepala (sejauh mana bagian kepala yang ditutup).
Seperti dapat dilihat, kiai merupakan pusat dari kehidupan pesantren. “Kiai adalah pendidik melalui pesantren juga melalui teladan hidup dan ceramahnya. Sebagai contoh untuk kehidupan Islami, identitasnya membentuk identitas komunitas Islam” (hlm. 90). Posisinya yang sentral ini ditilik oleh Lukens-Bull melalui sosok Gus Dur atau Abdurrahman Wahid di Bab 5.
Gus Dur naik ke kursi kepresidenan setelah Gerakan Reformasi menumbangkan rezim Orde Baru. Ke-kiai-an dan posisinya sebagai presiden telah menimbulkan isu yang beragam dan membelah. Kritik selama jabatannya, misalnya ketika dia mengambil keputusan kenegaraan, tetapi dengan cara ke-kiai-an atau memanfaatkan otoritas religiusnya. Bagi para pendukungnya, cara seperti ini dianggap sah karena dia adalah kiai.
Namun, bagi para pengkritiknya yang datang dari kalangan Islam Reformis, cara ke-kiai-an tidak bisa dipercaya. Situasi ini mengarah kembali kepada isu utama yakni bagaimana kiai memimpin dalam sistem modern seperti demokrasi. Ketika Gus Dur menjadi presiden dan menerapkan kebijakan yang membingungkan atau membuat kesalahan, hal ini menjelaskan dua proses yang berlangsung: mendesakralisasi sekaligus mendemokrasi kiai.
Sebagai penutup di bab terakhir, Lukens-Bull menjabarkan bagaimana pesantren sebagai sebuah institusi telah berubah dengan merengkuh dan memetik manfaat dari modernisme. Lalu, menggeser konsentrasi ancaman terhadap mentalitas. Memastikan nilai dari pesantren yang tersemat di pikiran dan batin orang-orang melalui pendidikan sebagai jalan jihad damai.
Meskipun pesantren telah menegosiasikan dirinya dengan modernitas, tetapi perlu diingat bahwa modernitas yang terus bergerak mungkin telah membawa perubahan yang lebih besar. Mengingat riset dalam buku ini dikerjakan dalam rentang November 1994 hingga Oktober 1995 dan Lukens-Bull kembali lagi ke lapangan pada 1997 dan 2000 dalam beberapa minggu. Kemudian, buku ini terbit pada 2005. Ada rentang dua dekade dengan pelbagai kemajuan teknologi, terutama ditandai dengan hadirnya akal imitasi (artificial intelligence) yang mungkin sudah menyusup ke dalam tembok pesantren. Bagaimana nilai-nilai pesantren bertahan atau dipertahankan?
Waktu riset lapangan yang dilakukan Lukens-Bull memberikan signifikansi tersendiri tersendiri terhadap buku ini. Yakni, menurut saya, pada saat yang krusial, ketika rezim Soeharto secara politik mulai berpaling ke Islam, dan Reformasi yang mengantarkan seorang kiai menjadi presiden. Menghadirkan potret zaman yang ditangkap dari dekat.
Lahir di Lombok Timur, tumbuh besar di Kulon Progo, menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta, dan sekarang sedang menikmati musik dengan kaset dan CD setelah mengundurkan dari tempat kerja. Dia sudah menerbitkan kumpulan cerpennya Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021).