Berita Kompas (21/8/2025) tentang gaji dan tunjangan fantastis anggota DPR kembali mengguncang kesadaran publik. Anggota DPR yang dipilih rakyat justru bergelimang fasilitas, sementara sebagian besar rakyat pontang-panting bertahan hidup di tengah harga kebutuhan pokok yang terus meroket. Kontras itu bukan sekadar persoalan angka, melainkan juga gambaran nyata tentang ketidakadilan sosial yang semakin menajam.
Bayangkan, di saat banyak buruh, petani, dan nelayan harus bekerja lebih keras hanya untuk menyambung hidup, para legislator di Senayan menerima paket gaji, tunjangan, dan fasilitas yang nyaris tak tertandingi. Tidak sedikit dari mereka bahkan lebih sibuk dengan urusan politik elektoral ketimbang menjalankan fungsi pengawasan dan legislasi. Rakyat menyaksikan jurang yang semakin lebar: DPR hidup dalam kenyamanan, sementara rakyat terjebak dalam ketidakpastian.
Lebih menyedihkan lagi, kesejahteraan wakil rakyat itu seolah berdiri di atas keringat rakyat kecil yang justru makin terpinggirkan. Harga beras naik, tarif listrik merangkak, dan biaya pendidikan membebani orang tua, tetapi para legislator tetap tenang dengan jaminan kesehatan premium, rumah dinas nyaman, hingga anggaran perjalanan dinas yang tak jarang lebih bernuansa rekreasi ketimbang kerja.
Di sisi lain, ketimpangan anggaran negara juga terlihat jelas di sektor pendidikan. Tulisan saya di Times Indonesia (21/8/2025), "Ketimpangan Anggaran dan Luka Keadilan Pendidikan", menyoroti luka keadilan pendidikan yang semakin dalam. Anggaran pendidikan memang besar secara nominal, namun sering kali tersedot pada proyek-proyek infrastruktur dan program yang tidak menyentuh langsung kebutuhan guru, murid, dan sekolah-sekolah di pelosok. Hasilnya, banyak ruang kelas masih reyot, guru honorer digaji jauh di bawah layak, dan murid dari keluarga miskin kehilangan kesempatan belajar dengan layak.
Di sinilah ironi itu bertemu: di satu sisi, DPR memperoleh tunjangan komunikasi, perjalanan dinas, rumah dinas, hingga jaminan kesehatan yang serba premium. Di sisi lain, anak-anak bangsa masih belajar di sekolah dengan lantai tanah, atap bocor, tanpa akses perpustakaan dan laboratorium. Pendidikan—yang seharusnya menjadi jembatan mobilitas sosial—justru menjadi cermin paling telanjang dari ketidakadilan struktural.
Pertanyaan mendasar kemudian muncul: apa fungsi wakil rakyat jika mereka abai pada jeritan rakyat? Apa arti janji konstitusi untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” jika anggaran yang ada tidak diprioritaskan bagi kepentingan pendidikan yang berkeadilan?
Kita tahu, dalam teori demokrasi, DPR adalah representasi rakyat. Mereka dibayar oleh rakyat untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Namun, apa jadinya jika representasi itu berubah menjadi privilese? Jika mandat rakyat diterjemahkan bukan sebagai tanggung jawab moral, melainkan kesempatan memperkaya diri?
Sudah saatnya kita bicara tentang keberanian melakukan koreksi besar dalam politik anggaran. Koreksi yang dimaksud bukan sekadar efisiensi belanja negara, melainkan pengalihan prioritas. DPR mesti rela memangkas privilese mereka sendiri dan mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Di sinilah ukuran sejati dari integritas wakil rakyat: berani berkorban untuk rakyat yang diwakilinya.
Khusus untuk pendidikan, kita harus berani menggeser paradigma. Anggaran pendidikan tidak boleh sekadar besar di atas kertas, tetapi harus hadir nyata di ruang kelas. Guru honorer harus mendapatkan kepastian kesejahteraan, sekolah di pelosok harus mendapatkan fasilitas layak, dan murid miskin harus terbantu dengan program beasiswa yang tepat sasaran. Pendidikan bukan sekadar angka dalam APBN, melainkan investasi masa depan bangsa.
Jika DPR benar-benar peduli, mereka bisa memulai dengan menolak fasilitas berlebihan yang selama ini diterima. Itu langkah simbolik sekaligus substantif. Menolak tunjangan komunikasi misalnya, di era digital yang sebagian besar informasinya bisa diakses murah. Atau memangkas perjalanan dinas yang sering kali hanya jadi agenda seremonial. Dana yang dihemat bisa langsung dialihkan untuk memperbaiki sekolah rusak atau menggaji guru honorer dengan layak.
Kita tentu menyadari bahwa persoalan ketimpangan ini tidak sederhana. Ia berakar pada budaya politik yang terlalu lama memandang kekuasaan sebagai sarana memperoleh keuntungan pribadi, bukan sebagai amanah. Tetapi setiap langkah kecil menuju keadilan harus dimulai. Dan langkah paling jelas adalah mengurangi kesenjangan mencolok antara kemewahan DPR dan kesengsaraan rakyat.
Lebih jauh, publik menunggu keberanian DPR untuk menata ulang standar hidup mereka sendiri. Apakah wajar seorang legislator yang dipilih rakyat miskin hidup dalam gaya hidup yang jauh melampaui konstituennya? Apakah pantas seorang wakil rakyat menuntut dihormati dengan fasilitas mewah, sementara mereka gagal memperjuangkan keadilan distribusi anggaran?
Dalam sejarah, negara-negara yang gagal membangun keadilan sosial akhirnya tumbang bukan karena ancaman luar, melainkan karena rapuh di dalam. Ketidakadilan adalah racun yang merusak fondasi kebangsaan. Kita tidak ingin republik ini menjadi contoh buruk di mana demokrasi hanya menghasilkan elite yang kaya raya sementara rakyatnya ditinggalkan.
Maka, koreksi politik anggaran adalah pintu masuk menuju pemulihan kepercayaan rakyat. Pendidikan harus menjadi prioritas mutlak. Sebab tanpa pendidikan yang merata dan berkeadilan, bangsa ini hanya akan menghasilkan jurang sosial baru: segelintir elite berpendidikan tinggi yang terus menikmati kuasa dan kekayaan, berhadapan dengan mayoritas rakyat yang terpinggirkan.
Mengutip ungkapan klasik, “keadilan adalah pondasi negara.” Jika pondasi itu keropos oleh ketidakadilan, maka sebesar apa pun bangunan megah demokrasi yang kita dirikan, ia akan runtuh dengan sendirinya. Dan jika DPR tidak segera berbenah, rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan—modal paling berharga bagi kelangsungan demokrasi kita.
Dalam pandangan Islam, pemimpin atau dewan rakyat adalah amanah (QS. al-Nisā’:58). Ketika wakil rakyat hidup fantastis sementara rakyat hidup tragis, maka itu tanda amanah telah dikhianati. Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah seorang hamba yang Allah SWT jadikan pemimpin lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah SWT haramkan baginya surga" (HR. Bukhari-Muslim).
Amanah kekuasaan bukan untuk memperkaya diri, melainkan menyejahterakan umat. Jika dewan lebih sibuk memperbesar hak istimewa, sementara rakyat berjuang dengan kebutuhan pokok, maka jurang sosial itu adalah bentuk ketidakadilan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.