Pada setiap menjelang Hari Pahlawan, tebakan nama terjadi berdasarkan beragam argumentasi. Nama-nama tokoh masa lalu menjadi sumber perdebatan. Kesibukan berlangsung demi sejarah dan penetapan pahlawan nasional. Jumlah pahlawan terus bertambah tapi ingatan kita tentang nama-nama tak menguat.
Kita mudah lupa atau gagal mengenali tokoh-tokoh sudah ditetapkan sebagai pahlawan. Sekian nama pahlawan dijadikan nama jalan, gedung, atau universitas kadang tak mengikutkan biografi atau penjelasan sejarah.
Murid-murid di sekolah bakal bingung bila mendapat soal ujian dengan permintaan menjawab 20 nama pahlawan. Di universitas, pengetahuan para mahasiswa menganai pahlawan biasa terkalahkan oleh nama-nama artis, pengusaha, atau pemain bola. Kebiasaan pemerintah membuat peringatan Hari Pahlawan dan mengumumkan nama-nama jarang berkesan atau menimbulkan makna-makna lestari.
Publik kadang bergosip mengenai pahlawan merujuk profesi atau pengabdian: militer, politik, dakwah, seni, dan lain-lain. Konon, jumlah pahlawan berlatar militer sulit disaingi atau dilampaui. Pengenalan tokoh sebagai pahlawan kadang membingungkan dalam menentukan jasa terbesar.
Pada 1928, terbit novel berjudul Salah Asoehan gubahan Abdoel Moeis. Novel mendapat pelbagai tanggapan. Abdoel Moeis itu pengarang tapi sibuk dalam pers dan pergerakan politik kebangsaan. Murid-murid biasa mengingat Abdoel Moeis itu pengarang melalui buku pelajaran dan koleksi novel Salah Asoehan di perpustakaan. Para mahasiswa dan peminat sejarah, mengetahui si tokoh memiliki peran dalam perkembangan Sarekat Islam dan pemajuan pers.
“Salah Asoehan gubahan Abdoel Moeis merupakan salah satu ciptaan utama bukan hanya dari Angkatan Balai Pustaka saja, melainkan juga dari sastra Indonesia secara keseluruhan,” pendapat Yamamato Haruki dalam buku berjudul Gelora Menuju Indonesia Baru (2010). Novel memuat debat-debat sengit, mengawali masa ramai dengan polemik panjang masa 1930-an dipicu oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Novel itu mendahului polemi menghadirkan esai-esai. Abdoel Moeis mengajukan cerita tapi menguak perbedaan dan perkelahian paham di tanah jajahan mengenai modernitas, pernikahan, pekerjaan, dan identitas.
Novel itu terbit berdekatan dengan penggarapan teks dalam Kongres Pemuda II (1928) dinamakan Sumpah Pemuda. Abdoel Moeis bercerita pemuda dalam pelbagai masalah pelik. Kita jarang menaruh dua teks itu bersama agar terjadi pembacaan sastra dan sejarah. Yamamato Haruki mengusulkan: “Novel tak cuma hendak dipertimbangkan dari segi kesusastraan secara sempit, melainkan dari segi keberartiannya sebagai saksi zaman.”
Pada 1959, Soekarno menginginkan Indonesia memiliki sejarah besar dan tokoh-tokoh panutan. Indonesia itu negara besar memerlukan para tokoh disebut pahlawan untuk dihormati dengan beragam cara: dari upacara sampai penulisan buku. Tokoh awal ditetapkan sebagai pahlawan: Abdoel Moeis (1918-1959). Pada suatu masa, orang-orang memiliki pengertian: tokoh bisa disebut pahlawan bila sudah mati.
Semula, orang-orang mengenali Abdoel Moeis itu pengarang. Warisan terpenting berjudul Salah Asoehan. Pada masa kekuasaan Soekarno, Abdoel Moeis itu pahlawan mengartikan memiliki peran atau jasa besar dalam sejarah Indonesia. Di pengajaran sastra masa Orde Baru, guru dan murid belum tentu mengetahui Abdoel Moeis itu pengarang. Mereka melulu mengingat sebagai tokoh sastra. Kegagalan ingatan dan pemahaman itu disokong oleh gambar atau foto pahlawan di dinding tak mengikutkan Abdoel Moeis.
Kondisi itu justru menimbulkan dampak unik. Pada masa Orde Baru, ada celotehan agar orang bercita-cita menjadi tentara agar kelak disahkan sebagai pahlawan. Ada lagi nasihat agar berkecimpung dalam politik. Sibuk di politik menggampangkan penetapan pahlawan. Di sekolah, murid-murid jarang bercita-cita menjadi pengarang bermisi menjadi pahlawan. Mereka mungkin tak mengharuskan belajar sejarah telah memuat nama-nama pengarang diangkat menjadi pahlawan. Mereka sekadar mengetahui M Yamin dan Amir Hamzah tangguh dalam menggubah puisi.
Klaus H Schreiner (2005) mencatat kebijakan Soekarno dan Soeharto berbeda dalam pengangkatan atau penetapan pahlawan. Soekarno dalam babak awal dalam menunjukkan nama-nama menentukan sejarah Indonesia. Argumentasi dalam pemilihan Abdoel Moeis dan tokoh-tokoh kadang samar. Peran kaum militer mendapat pengistimewaan. Pada saat Soeharto berkuasa, jumlah pahlawan terus bertambah dengan pembenahan definisi dan kategori.
Kebijakan penting dari masa Orde Baru: penulis buku biografi (pahlawan). Kerja besar dimulai pada 1975. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi penanggung jawab utama penulisan ratusan buku biografi. Konon, penulisan buku tergesa demi ketersediaan bacaan di sekolah dan universitas. Buku-buku mendapat stempel pemerintah berarti terlarang diperdagangkan. Di luar pemerintah, penerbit-penerbit partikelir pun mengadakan buku-buku biografi para tokoh. Terbitan mereka sering bermutu ketimbang edisi buatan pemerintah.
Kita bisa membuktikan dengan buku biografi berjudul Abdul Muis (1981). Buku tipis tak mencapai 100 halaman. Buku ditulis oleh Azmi. Pihak pemerintah dalam pengantar menjelaskan: “Tujuan utama dari penulisan biografi pahlawan nasional ini ialah membina persatuan dan kesatuan bangsa, membangkitkan kebanggaan nasional, mengungkapkan nilai-nilai budaya bangsa, dan melestarikan jiwa dan semangat kepahlawanan dalam kehidupan bangsa dan negara.” Kalimat sangat resmi dan megah. Pembaca mungkin sulit paham dan patuh.
Pujian diberikan kepada Abdoel Moeis (Abdul Muis) berlatar sejarah: “Abdul Muis telah berjuang dengan gigihnya membela nasib bangsanya yang terjajah dan berusaha dengan gigih agar bangsanya mendapatkan kembali hak-haknya dalam tingkat terakhir berbentuk kemerdekaan.” Kalimat diharapkan dimengerti dan direnungkan oleh murid, guru, mahasiswa, dan dosen. Buku berpenampilan sederhana dengan isi tak dijamin bermutu.
Kini, kita mengingat Abdoel Moeis itu pahlawan, tak sekadar pengarang novel berjudul Salah Asoehan. Ia pun dijadikan sumber dalam penetapan Hari Sastra Indonesia, berdasarkan kelahiran: 3 Juli 1918. Abdoel Moeis itu tokoh istimewa bagi kita mengingat pemaknaa Hari Pahlawan dan pemuliaan sastra. Kita cuma bersedih belum ada buku biografi tebal dan bermutu untuk menghormati Abdoel Moeis. Nama itu memang teringat meski jumlah pembaca Salah Asoehan sulit bertambah dan biografi terbitan pemerintah susah dijadikan referensi utama dalam mengenali pengarang dan pahlawan. Begitu.