“Sekarang aku memiliki seorang teman muslim,” kata Onghokham, seperti dikutip buku biografi berjudul “Tetap Menjadi Onghokham, Seorang Sejarawan” karya David Reeve (Juli, 2024). Reeve menulis biografi Ong selama 20 tahun.
Reeve, sejarawan kelahiran Australia 1946, menulis Ong dengan lengkap dan detail, termasuk kutipan-kutipan yang jarang diketahui, salah satunya tentang pertemanan Ong dan Gus Dur.
Reeve mengatakan, Ong (1933-2007) dan Gus Dur (1940-2009) sering bertemu dan duduk berdampingan di kantor Majalah Tempo, sekitar tahun 1984 dan 1985. Ong dikenal sebagai sejarawan yang sering berkunjung ke kantor-kantor redaksi dan kebetulan juga Gus Dur memiliki kegemaran yang sama. Ong dan Gus Dur sesama penulis produktif langganan di Kompas dan Tempo.
Di mata Ong, Gus Dur sangat berarti, pertemuaannya diingat-ingat sebagai momentum penting. Dalam sebuah catatan Bandung Mawardi, Ong yang gemar menggelar pesta-pesta, pernah mengundang Gus Dur dalam sebuah jamuan makan. Dua orang ini cocok bukan saja karena sama-sama intelektual, sama-sama asal Jawa Timur, tetapi juga sama-sama doyan makan enak. Dan hampir dipastikan, keduanya sama-sama abai dengan kolesterol. Perbedaan yang mencolok antara keduanya, antara lain, agama. Namun, itu tidak memisahkan pergaulan Ong dan Gus Dur. Bahkan, keduanya menjalin pertemanan yang hangat.
“Jangan khawatir. Semua makanan yang ada di atas meja ini ditanggung halal. Jangan takut. Ayo, silakan coba,” Ong mempersilakan tamunya, Gus Dur muda, menyantap makanan.
Ong lantas memberi alasan mengapa tidak menyajikan menu babi, “Demi kiai, demi menghormati Cak Dur yang punya pengikut lima juta orang. Bayangkan jika lima juta orang itu memusuhi saya.” Bandung Mawardi mengutipnya dari majalah Hai tahun 1985.
Ong cukup mengerti tradisi kesantrian Gus Dur karena dia lahir di Surabaya, yang tentu dikeliling masyarakat santri. Dan tentu, sebagai sejarawan, ia memahami nuansa keislaman atau kesantrian Gus Dur sebagai orang NU. Tentu saja ini juga tentang Ong yang menulis sejarah Madiun berjudul ”The Residency of Madiun; Priyayi and Pesantren in the Nineteenth Century” untuk memperoleh gelar Ph.D di Universitas Yale Amerika tahun 1975. Ong mengerti Madiun, termasuk tragedi 1948, yang banyak memakan korban kaum santri. Ong sangat paham ini. Dalam sebuah riwayat, Ong pernah kikuk kepada Gus Dur tentang sikapnya pada tragedi 1965 dan NU di dalamnya. Namun, Gus Dur tidak merasa keberatan dengan pendapat Ong tentang itu. “Tidak ada masalah saya dengan pendapat Pak Ong, tetapi juga harus jujur tentang Madiun 48,” kata Gus Dur.
Tahun 1985, Gus Dur baru saja terpilih menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar NU Situbondo, Jawa Timur. Ong mengatakan, waktu itu, Gus Dur sudah memiliki 5 juta pengikut. Pasti saja angka itu bukan angka akuntan, tetapi angka sosial, betapa banyaknya pengikut Gus Dur yang pada tahun itu baru berumur 45 tahun.
Selain menulis Onghokham, David Reeve juga menulis “Golkar, Sejarah yang Hilang” dan Angkot dan Bus Minangkabau. Sempat kehilangan motivasi menulis, karena Ong tutup usia pada 30 Agustus 2007, karya Reeve ini sepertinya sedikit kari biografi tentang ilmuwan Indonesia, juga menjadi salah satu buku biografi yang paling menarik. Ong ditulis sangat manusiawi, termasuk pertemanannya dengan Gus Dur.