Manusia rakus, buminya jadi rusak. Musibah ini salah satunya akibat kebijakan pemerintah yang tidak melindungi hutan.
Foto: akun X @dsuperboy
Setiap kali wilayah negara ini kembali diterjang banjir bandang, longsor, dan kerusakan besar seperti yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa pekan terakhir, istilah yang langsung mengemuka adalah terjadinya “bencana alam”. Kata yang tampak sederhana itu seolah menegaskan bahwa alam sedang murka, bahwa kehancuran adalah sesuatu yang tiba-tiba dan tak terduga. Namun, ketika kita mencermatinya lebih dalam, istilah “bencana alam” sesungguhnya membuka selubung problem yang lebih kompleks berupa struktur kuasa, keputusan tata ruang, dan pola ekonomi politik yang telah lama memproduksi kerentanan.
Kuasa Bahasa
Secara kebahasaan, kata “bencana” memberi penanda moral terhadap suatu peristiwa buruk. Ketika disandingkan dengan “alam”, ia mengalihkan sumber tanggung jawab dari tindakan manusia ke gejala alam. Padahal hujan, gempa, atau pasang air laut tidak pernah menjadi masalah pada dirinya sendiri.
Yang menjadikannya bencana adalah ketika sungai yang disempitkan tidak mampu menampung debit air, ketika gambut yang dikeringkan berubah menjadi lahan rentan terbakar, atau ketika lereng yang digunduli kehilangan daya ikat tanahnya. Dalam kajian linguistik, mekanisme ini disebut naturalizing effect – bahasa membuat ketimpangan yang dibangun manusia tampak wajar, seolah bencana adalah sesuatu yang alami dan terpisah dari keputusan sosial.
Dalam konteks Indonesia, cara pandang ini memiliki jejak sejarah panjang. Sejak masa pembangunan Orde Baru, kerusakan lingkungan sering dianggap sebagai akibat sampingan dari pertumbuhan ekonomi. Istilah “bencana alam” menguntungkan negara karena menempatkan penyebab di luar ranah kebijakan.
Ia membuat publik tidak lagi bertanya siapa yang memberi izin tambang di hulu? Siapa yang membiarkan konsesi sawit masuk ke kawasan lindung? Siapa yang menutup mata terhadap praktik ilegal yang berjalan bertahun-tahun? Dengan demikian, bahasa bekerja bukan hanya sebagai penjelas peristiwa, tetapi sebagai alat yang mengaburkan jejak kekuasaan.
Harrison Ford saat mewawancarai Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan. 12 tahun silam.
Persoalan ini menjadi semakin terang ketika kita mengingat kembali dokumenter Years of Living Dangerously (2013), khususnya momen ketika Harrison Ford mewawancarai Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan. Dalam kunjungannya ke Tesso Nilo, Ford memperlihatkan betapa cepat hutan—bahkan kawasan taman nasional—diubah menjadi kebun sawit.
Ia mempertanyakan bagaimana negara dapat mengelola hutan secara berkelanjutan jika kawasan yang seharusnya paling terlindungi saja gagal dijaga. Rekaman itu kembali viral tahun ini bukan karena dramanya, tetapi karena relevansinya. Apa yang diperingatkan satu dekade lalu kini hadir sebagai kenyataan yang setiap tahun makin memburuk.
Kata Kunci
Kerakusan menjadi kata kunci yang menghubungkan masa lalu dan kondisi kini. Di berbagai wilayah Sumatera, ekspansi sawit, HTI, dan tambang bergerak lebih cepat dari kemampuan alam memulihkan diri. Hutan primer menyusut, gambut dikeringkan, dan sungai diubah alirannya.
Kerakusan ini bukan sekadar masalah moral individu, tetapi bagian dari sistem ekonomi politik yang memberi insentif pada perusakan. Struktur perizinan yang longgar, penegakan hukum yang lemah, serta hubungan bisnis–politik yang saling menguntungkan membuat kerusakan menjadi sesuatu yang hampir otomatis.
Ketika batas-batas ekologis dilanggar, kerusakan menjadi akibat logis. Tetapi kerusakan ekologis bukan hanya hilangnya pohon. Ia adalah hilangnya relasi – antara tanah dan air, antara hutan dan penyangga kehidupan, antara manusia dan lanskap yang selama berabad-abad menopang mereka.
Dalam konteks sosial, kerusakan ini memperlebar ketimpangan. Kelompok miskin dan masyarakat adat yang tinggal di wilayah paling rentan menanggung beban terbesar. Mereka tinggal di bantaran sungai, lereng curam, atau area rawan genangan bukan karena pilihan bebas, tetapi karena struktur ekonomi menempatkan mereka di sana.
Situasi ini semakin diperkuat oleh kerasukan—cara berpikir yang menempatkan pembangunan ekonomi sebagai tujuan mutlak. Dalam berbagai dokumen perencanaan, hutan dipandang sebagai lahan yang perlu “dioptimalkan”, sungai sebagai sumber energi, dan tanah sebagai aset investasi.
Kerasukan ini membuat kritik terhadap ekspansi industri dianggap sebagai hambatan, bukan peringatan. Analisis dampak lingkungan direduksi menjadi formalitas, dan tata ruang kerap disesuaikan dengan kepentingan politik jangka pendek. Akibatnya, struktur produksi risiko tidak pernah dibongkar; ia justru distabilkan.
Pada titik inilah penting untuk kembali mendekonstruksi istilah “bencana alam”. Dalam perspektif ekologi politik maupun antropologi lingkungan, bencana bukanlah peristiwa alam murni, melainkan pertemuan antara fenomena ekologis dan kerentanan sosial yang dibangun oleh keputusan politik. Karena itu, UNDRR sudah lama menyerukan untuk menghentikan penggunaan istilah “natural disaster”, karena no disaster is natural. Peristiwanya bisa natural, tetapi bencananya selalu sosial.
Dengan membaca ulang cara kita menamai peristiwa, kita dapat melihat bahwa banjir dan longsor di Sumatera bukanlah kejutan geografis, tetapi hasil dari struktur yang dibangun manusia. Hujan ekstrem memang terjadi, namun dampaknya diperbesar oleh hilangnya hutan, rusaknya gambut, dan tata ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Dengan kata lain, bencana hari ini adalah warisan dari pilihan-pilihan kemarin.
Kerangka Berpikir
Untuk keluar dari siklus ini, kita memerlukan perubahan kerangka berpikir. Kebijakan harus bergerak dari respons bencana ke pengurangan risiko. Rehabilitasi hutan harus berjalan bersamaan dengan pembenahan tata ruang. Berikutnya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan perlu dijalankan tanpa kompromi.
Juga, pengetahuan lokal dan kosmologi Nusantara—yang memandang alam bukan sebagai objek pasif, tetapi sebagai bagian dari jaringan kehidupan—harus kembali menjadi rujukan. Di banyak masyarakat adat, kerusakan alam selalu dibaca sebagai ketidakseimbangan ulah manusia. Cara pandang itu kini makin relevan.
Mendekonstruksi istilah “bencana alam” bukan sekadar upaya linguistik. Ia adalah cara untuk mengembalikan tanggung jawab pada tempat yang semestinya. Bahwa alam tidak sedang murka. Ia hanya menunjukkan konsekuensi dari struktur yang kita bangun sendiri.
Dengan memahami hal itu, semua masalah terkait “bencana alam” akan dapat teratasi dengan baik asal kita berani membongkar tiga lapis persoalan berupa kerakusan, kerusakan, dan kerasukan dalam diri kita.
Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Siti Musdah Mulia, berkesempatan untuk menghadiri Konferensi Internasional tentang Perdamaian