Dari judulnya sudah bisa ditebak bahwa risalah tersebut berisi tentang keharaman penggunaan speaker di masjid. Argumen yang dibangun selain tidak ada di zaman Nabi (baca: bid’ah), juga banyak mudaratnya. Syekh Mahmud menulis:
Syekh Mahmud mendasarkan pendapatanya ini dengan mengutip sejumlah “ibarat” dari Hasyiyah al-Kurdi dan Hasyiyah at-Tarmasi. (lebih jauh silakan baca dalam: Syaikh Mahmud, Bida’ul Masjid, h. 53)
Syekh Mas’ud merespon balik risalah yang ditulis oleh Syekh Mahmud dan dimuat di kitab beliau berjudul “Masail Syata”. Bagi Syekh Mas’ud, tidak semua hal yang tidak ada di zaman Nabi dianggap sebagai bid’ah yang diharamkan. Salah satunya adalah ihwal pengeras suara atau speaker. (Baca tulisan menarik: Cerita Zaid bin Tsabit mengumpulkan Alquran)
Uniknya, keduanya merupakan murid dari KH. Kozin Bendo Pare yang sama-sama digelari "syekh" sebagaimana “seniornya” di pesantren, Syekh Ihsan Jampes.
Hingga kini, masjid di kampung halamanku masih “mengikuti” mazhabnya Syekh Mahmud. Tanpa speaker. Baik di dalam apalagi di luar. Beberapa masjid di Cirebon seperti di Benda Kerep, di Pesantrennya Syekh Mahmud sendiri, dan beberapa tempat lainnya juga masih “menjaga” pendapat ini. Saya kira di pesantren Waru Doyong Sukabumi, Gentur Cianjur, juga masih tanpa speaker, kan?
Terlepas dari perbedaan pandangan dua Syaikh ini, saya kira beliau berdua akan bersepakat bahwa ibadah harus dilakukan dengan nyaman, tenang, dan tidak mengganggu orang lain.
Lalu, di tengah orang-orang yang melakukan pembelaan terhadap Meliana yang kemudian dianggap "liberal" (anti Islam, Muslim kok tidak suka suara azan), bagaimana dengan Syekh Mahmud, dan Kiai-Kiai lainnya yang sangat “anti” terhadap speaker masjid? (Baca tulisan menarik: Para Sekretaris Nabi Muhammad)
Toh, saya kira keberatan Meliana akan kebisingan suara tidak kemudian lantas dicap anti terhadap azannya.
Artikel ini pertama kali dimuat di islami.co