Perang Gaza selama hampir dua tahun telah menimbulkan bencana kemanusiaan yang luar biasa. Akibat malnutrisi akut, PBB mencatat sebanyak 20 ribu anak dirawat di rumah sakit, hanya terbungkus kulit dan tulang. Sementara 16 anak tewas akibat kelaparan sejak pertengahan Juli.
Renad Atallah, gadis kecil berusia 10 tahun asal Gaza, yang kerap membagikan video dan foto-foto melalui akun IG @renadfromgaza, dua hari lalu mengirimkan foto dirinya yang semakin kurus. Lingkar gelap di kedua matanya semakin menyiratkan kondisi ribuan pengungsi anak di kamp-kamp pengungsi Gaza. Renad menulis pesan yang menohok: “We are being starved” atau “Kami Sedang Kelaparan”.
Sebelumnya, gadis kecil ini selalu berbagi aneka resep masakan yang diolahnya dari hasil sumbangan para pendonor. Sekali waktu ia membuat pizza tanpa telur, sedikit terigu dan sedikit keju. Anak-anak Gaza bahkan berbulan-bulan tak makan daging. Di depan kamera, Renad dengan ceria menaburkan sayur-sayuran seraya berkata, “Ini pizza sayuran ala Renad dari Gaza!”. Tawa renyah itu merobek hati sekitar 1.4 juta pengikutnya. Hampir semua mengirimkan ikon patah hati.
International Integrated Food Security Phase Classification (IPC)—sebuah lembaga di bawah WHO, memperkirakan seluruh populasi Gaza akan mengalami tingkat krisis pangan terparah pada September. Setidaknya 500.000 orang diperkirakan akan berada di level IPC fase 5, yakni tahap paling ekstrem yang ditandai dengan kelaparan, kemelaratan, dan kematian.
Menurut IPC, kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan lantaran sepertiga penduduk Gaza kini harus bertahan hidup tanpa makanan selama beberapa hari berturut-turut. Kondisi kaum perempuan dan anak semakin rentan.
“Perempuan dan anak perempuan di Gaza menghadapi pilihan yang sangat kejam: tetap di tempat perlindungan dan mati kelaparan, atau keluar mencari makanan dan air dengan risiko terbunuh,” ujar Sofia Calltrop, Direktur UN Women di Jenewa, Swiss.
Ia kembali menegaskan seruan UN Women agar perempuan dan anak perempuan mendapatkan akses penuh terhadap bantuan kemanusiaan, pembebasan semua sandera, dan gencatan senjata segera.
“Kami juga berharap bahwa Konferensi Tingkat Tinggi Internasional pekan ini tentang penyelesaian damai atas isu Palestina bisa menjadi titik balik menuju solusi dua negara, di mana Israel dan Palestina bisa hidup berdampingan dengan damai dan aman,” tambah Calltrop. Ia merujuk pada inisiatif yang dipimpin Prancis dan Arab Saudi di markas besar PBB di New York.
Ujian Terbesar Kemanusiaan Abad Ini
Sementara itu, akses bantuan kemanusiaan tetap sangat terbatas. Kondisi ini diakui oleh relawan mandiri asal Indonesia, Eko Sulistio. Banyak konvoi bantuan dihalangi atau dijarah oleh tentara Israel. Makanan dan obat-obatan dikeluarkan dari truk dan diinjak-injak.
“Bahkan truk-truk yang membawa logistik makanan untuk para pengungsi juga ikut dirusak sehingga menimbulkan kerugian miliaran rupiah bagi para pemilik truk yang disewa,” ungkap Eko kepada Alif.id.
Krisis ini bermula dari konflik yang berkepanjangan sejak serangan Hamas di Israel pada Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.250 orang dan menyandera lebih dari 250 lainnya. Sejak itu, serangan balasan Israel telah menewaskan ribuan orang dan menghancurkan sekitar 70 persen infrastruktur Gaza. Jumlah masyarakat yang harus mengungsi sangatlah besar, sementara zona aman kini hanya tersisa kurang dari 12 persen dari total wilayah di Gaza.
Dari sekitar 2,1 juta penduduk Gaza, sekitar 90 persen telah mengungsi dan banyak yang sudah beberapa kali berpindah tempat. Sejak gencatan senjata terakhir berakhir pada 18 Maret lalu, terdapat lebih dari 762.500 orang yang terusir dari tempat tinggalnya.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengatakan bahwa Gaza membutuhkan pasokan besar makanan, bahan bakar, dan obat-obatan, bukan hanya aliran kecil bantuan.
“Keadaan tragis ini harus segera berakhir. Kita butuh upaya maksimal dari semua pihak sekarang juga. Ini adalah ujian bagi rasa kemanusiaan kita bersama, dan kita tidak boleh gagal menjalaninya,” tegas Guterres.