Bayangkan sebuah buku resep kuno yang usianya mungkin lebih tua dari orang tua kita. Biasanya, buku seperti itu adalah harta karun keluarga, ada tumpukan bekas percikan minyak, halamannya sedikit menguning dan berisi resep makanan yang persis seperti buatan nenek. Kita menganggapnya sebagai warisan pribadi, sebuah jalan kembali ke kenangan masa kecil.
Sekarang, coba bayangkan jika buku resep itu bukan tentang satu keluarga, tetapi tentang seluruh bangsa. Jika di balik setiap resepnya, bukan hanya ada takaran garam dan gula, tetapi juga sebuah visi politik dan upaya mempertahankan kemerdekaan. Ini bukanlah imajinasi, melainkan kisah nyata di balik Mustika Rasa, buku resep klasik Indonesia yang lahir dari inisiatif Presiden Soekarno di tengah badai politik era 1960-an.
Di saat para pemimpin sibuk dengan urusan geopolitik, Soekarno justru memalingkan perhatiannya ke tempat yang paling fundamental yaitu dapur rakyat. Ia mengajukan pertanyaan revolusioner tentang mengapa negara kepulauan yang kaya raya seperti Indonesia harus terus-menerus bergantung pada satu jenis makanan pokok? Dari situlah proyek Mustika Rasa dimulai, sebuah usaha untuk menemukan kembali kekuatan bangsa melalui makanan yang tumbuh di tanahnya sendiri.
"Lho, kok bisa sih? Bukannya buku resep itu urusan dapur dan ibu-ibu?" Mungkin itu pertanyaan pertama yang muncul. Nah, itulah yang membuat Mustika Rasa begitu istimewa. Proyek ini sama sekali bukan hobi kuliner seorang presiden. Ini adalah jawaban serius atas masalah besar yang saat itu mengancam sendi-sendi kehidupan bangsa. Lantas, siapa sangka, sebuah proyek yang terdengar seperti urusan resep dan masakan justru menyimpan jawaban atas persoalan besar: ketergantungan pangan?
Tirani Nasi: Ancaman di Balik Pangan Kita
Untuk memahaminya kita perlu menengok Indonesia pada awal tahun 1960-an. Saat itu kita masih menjadi negara muda yang berjuang keras mempertahankan kemerdekaan dari bentuk ketergantungan yang lebih halus, yaitu ekonomi. Salah satu titik paling rapuh ada pada urusan pangan. Indonesia menghadapi persoalan serius karena terlalu bergantung pada satu sumber makanan pokok, yaitu nasi. Melihat kondisi ini, Soekarno dengan kejeliannya memperingatkan rakyatnya lewat istilah yang kini terkenal sebagai “tirani nasi”.
Ia mulai khawatir akan kemungkinan buruk. Jika terjadi bencana alam yang membuat panen gagal, atau jika negara pengekspor beras memakai komoditasnya untuk tekanan politik, maka Indonesia bisa sangat terpukul. Kekhawatiran itu makin besar ketika badan pangan dunia FAO memberi peringatan tentang ancaman krisis pangan, di mana bantuan makanan dari luar negeri sering disertai syarat-syarat politik.
Bagi Soekarno, ini bukan cuma soal perut kosong, tapi soal martabat. Ketergantungan pada nasi membuat kita lupa bahwa Indonesia adalah gudangnya pangan. Kita punya jagung, sagu, dan berbagai macam umbi-umbian yang tumbuh subur di seluruh pelosok negeri. Jawabannya bukan cuma pidato, tapi sebuah proyek nyata yang harus menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat. Inilah mengapa Mustika Rasa lahir. Lewat buku ini, ia ingin menunjukkan secara nyata bahwa Indonesia bisa menjadi kuat dengan mengandalkan hasil bumi sendiri. Inilah semangat Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), yang diterjemahkan ke dalam bahasa yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari: bahasa makanan.
Menemukan Rasa Indonesia di Dapur Rakyat
Proyek ini bukan sekadar wacana. Pemerintahan Soekarno benar-benar berusaha mewujudkannya. Pada tahun 1960, Menteri Pertanian secara resmi menugaskan Lembaga Teknologi Makanan untuk menyusun buku resep paling lengkap se-Indonesia. Prosesnya pun luar biasa, hampir seperti sebuah ekspedisi penelitian. Ketika hasil kuesioner yang disebar tidak memuaskan, tim peneliti muda kemudian dikirim langsung ke berbagai daerah untuk mengumpulkan resep dan cara memasak dari masyarakat setempat.
Mereka menyusuri kampung, mewawancarai ibu-ibu yang merupakan penjaga resep turun-temurun, dan mencatatnya langsung di dapur rakyat. Dari perjalanan panjang ini, ribuan resep berhasil dikumpulkan, mulai dari makanan pokok hingga jajanan pasar yang hampir punah. Semua data kemudian diverifikasi oleh para ahli gizi. Ini adalah bukti nyata betapa seriusnya negara saat itu dalam menjadikan pangan lokal sebagai simbol kebanggaan nasional.
Ketika Arah Pangan Indonesia Berubah
Namun, sejarah sering kali berjalan dengan cara yang tak terduga. Proyek ini berlangsung di tengah situasi politik yang semakin panas. Pada tahun 1965, peristiwa besar mengguncang Indonesia dan menandai berakhirnya era Orde Lama. Mustika Rasa memang berhasil terbit pada tahun 1967, tetapi saat itu kekuasaan sudah beralih ke tangan Orde Baru. Bersamaan dengan perubahan itu, arah kebijakan pangan Indonesia pun ikut berubah sepenuhnya.
Fokus pemerintah bergeser dari semangat keberagaman pangan ala Soekarno menjadi satu tujuan utama: swasembada beras. Bagi Orde Baru, stabilitas dianggap segalanya, dan mencapai swasembada satu komoditas dipandang sebagai cara paling cepat untuk mencapainya. Sementara itu, gagasan Soekarno tentang pentingnya mengonsumsi jagung atau sagu mulai dianggap kuno dan identik dengan kemiskinan.
Akibatnya, mimpi Mustika Rasa perlahan meredup, bahkan tergeser oleh "pendatang baru": gandum impor. Di bawah kebijakan pasar yang lebih terbuka, gandum yang lebih murah masuk secara besar-besaran, menjadi awal boomingnya industri mi instan yang mengubah pola makan kita.
Di sinilah kita bisa melihat bahwa makanan sebenarnya tidak pernah netral. Makanan selalu menunjukkan siapa yang sedang berkuasa. Pada masa Soekarno, negara berusaha mengatur urusan pangan agar Indonesia bisa mandiri. Sementara pada masa Orde Baru, yang lebih berpengaruh justru pasar dan kebijakan yang menekankan kestabilan jangka pendek. Bahan pangan lokal bukan kalah enak, tetapi kalah bersaing dalam sistem ekonomi yang baru. Akibatnya, pola makan kita menjadi semakin seragam, dan ketergantungan pada beras dan gandum justru makin besar. Sebuah ironi dari cita-cita yang dulu diperjuangkan lewat Mustika Rasa.
Menghidupkan Kembali Rasa yang Hilang
Pada akhirnya cerita di balik Mustika Rasa adalah pelajaran berharga yang hampir kita lupakan. Buku ini bukan sekadar kumpulan resep; ia adalah sebuah blueprint yang membuktikan kalau Indonesia pernah punya mimpi besar untuk berdaulat di bidang pangan dengan cara menghargai kekayaan lokalnya. Sayangnya, mimpi itu terhenti oleh pergeseran politik dan arus globalisasi.
Sekarang, kita gencar mempromosikan masakan Indonesia ke mancanegara. Tapi, di balik kebanggaan itu, pertanyaan mendasar tetap perlu kita ajukan pada diri sendiri: sudahkah kita benar-benar kenal dan bangga dengan kekayaan di dapur kita sendiri?
Menghidupkan kembali semangat Mustika Rasa adalah tantangan kolektif. Ini bukan sekadar nostalgia, tetapi langkah strategis untuk masa depan ketahanan pangan kita. Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana: sengaja memasak berbahan jagung atau umbi-umbian, membeli hasil panen petani lokal, atau mendukung warung yang menyajikan pangan lokal. Tindakan kecil ini adalah bentuk perlawanan yang kuat agar kita tidak lagi terjebak "tirani" modern berupa ketergantungan pada produk impor.
Pemerintah juga bisa mengambil peran lebih besar, misalnya dengan menghidupkan kembali resep-resep Mustika Rasa melalui kampanye atau arsip digital. Warisan pemikiran Soekarno ini terlalu berharga untuk dibiarkan hilang begitu saja. Karena pada akhirnya, bangsa yang mampu memberi makan dirinya sendiri dari hasil buminya adalah bangsa yang benar-benar merdeka. Dan kemerdekaan yang sejati, sesungguhnya dimulai dari dapur kita sendiri.