Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 19 Agustus sebagai Hari Kemanusiaan Sedunia atau World Humanitarian Day. Tema tahun ini adalah #ActForHumanity atau #BeraksiUntukKemanusiaan. Kantor Perwakilan PBB di Jakarta menyerukan pentingnya mengingat dan menghormati keberanian serta komitmen para pekerja kemanusiaan, yang mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan orang lain di tengah krisis.
“Pekerja kemanusiaan adalah garis hidup terakhir bagi lebih dari 300 juta orang (di seluruh dunia) yang terjebak dalam konflik atau bencana. Namun, pendanaan untuk garis hidup ini kian menipis. Dan mereka yang menyalurkan bantuan kemanusiaan semakin sering menjadi sasaran serangan,” ungkap Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres. Ia menekankan bahwa hukum internasional sangat jelas menyatakan bahwa pekerja kemanusiaan harus dihormati dan dilindungi. Mereka tidak boleh dijadikan target serangan.
Namun, teori hukum berbanding terbalik di situasi di lapangan. Pada tahun 2023, komunitas kemanusiaan global menghadapi tahun paling mematikan dalam catatan sejarah, dengan 420 pekerja kemanusiaan terbunuh akibat kekerasan. Angka ini meningkat drastis sebesar 169 persen dibandingkan 2022, ketika ada 248 pekerja kemanusiaan yang kehilangan nyawa.
Tren ini berlanjut hingga 2025, dengan 844 pekerja kemanusiaan terbunuh sejak tahun lalu hingga 17 Agustus, yang semakin menunjukkan besarnya risiko yang dihadapi mereka yang berada di garis depan krisis.
“Hal yang sering disuarakan oleh teman-teman pekerja kemanusiaan adalah tidak adanya perlindungan untuk mereka sebagai human rights defenders (pembela HAM),” ungkap aktivis sekaligus mantan Ketua Komnas HAM ASEAN (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, kepada Alif, Selasa (19/8).
Dalam beberapa tahun terakhir, solidaritas masyarakat sipil meningkat seiring dengan intensitas konflik dan bencana di berbagai wilayah. Akibatnya, pengertian relawan kini tak lagi terbatas dengan tugas-tugas medis atau distribusi bantuan di lapangan oleh pemerintah atau organisasi Palang Merah. Awak media dan warga sipil yang terjun langsung di lapangan, turut terhitung sebagai pekerja kemanusiaan.
“Banyak negara tidak mengakui terminologi human rights defenders, padahal ketiadaan pengakuan terhadap peran ini berdampak sangat signifikan, seperti tidak diakuinya jurnalis, pekerja kemanusiaan, dan lain-lain, ini menegasikan perlindungan khusus untuk mereka,” tambah Yuyun.
Senada dengan Yuyun, Kepala Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) di Indonesia, Thandie Mwape, menilai normalisasi kekerasan terhadap pekerja kemanusiaan tidak dapat diterima karena mengancam fondasi dari kerja kemanusiaan itu sendiri.
“Di Hari Kemanusiaan Sedunia ini, kami mengenang mereka yang telah membayar harga tertinggi demi kemanusiaan. Kami juga mengapresiasi Indonesia sebagai tempat yang aman serta atas perannya dalam membela hak asasi manusia di tingkat global,” kata Mwape.
Di Jakarta, PBB bersama organisasi-organisasi kemanusiaan akan menyelenggarakan “Humanitarian Night” di Pos Bloc, Jakarta Pusat, pada 22 Agustus. Acara ini akan menampilkan pertunjukan budaya, talk show kemanusiaan, musik, serta pameran yang menampilkan karya berbagai organisasi kemanusiaan.