Satu muka banyak ekspresi. Satu tubuh beragam hasrat. Satu akal beragam tingkah. Itulah manusia. Makhluk multidimensi. Darinya kebudayaan lahir, etika dibangun dan tatanan sosial disepakati, akal didayagunakan, dan masa depan tak berbatas karena mimpi dan imajinasi manusia selalu tumbuh.
Sebaliknya, darinya kepongahan tumbuh, saling sikut tak kunjung luruh, saling tikam tak padam, caci-maki tak berhenti, dan kehancuran alam seringkali disulut, karena laku yang tak lagi punya rasa takut. Tampilan, ekspresi, dan perilaku manusia bisa berubah-ubah dan saling tukar. Karena siasat, antara ekspresi lahir dan suasana kebatinan bisa berbeda, bahkan beda arah dan tujuan.
Itulah sebabnya, konsistensi atau dalam bahasa agama istikāmah, dipandang lebih mulia dari seribu karamah. Tentu, konsisten yang dimaksud dalam konteks kebaikan dan kebenaran, bukan sebaliknya. Hukum dan etika dibangun serta nabi-nabi dihadirkan, tujuannya memberikan jalan pulang yang lempang dan lapang pada kebenaran.
Sisi eksistensi dan multidimensi manusia yang bisa berubah-ubah dan bertukar posisi peran ini menjadi salah satu topik penting yang dibicarakan Al-Qur'an. Diulang-ulang dengan kata yang beragam dan tersebar di berbagai surah. Bahkan, ada satu surah yang diberi nama al-Nas.
Mari kita telusuri bersama beragam kosakata yang dipakai Al-Qur'an dalam mengidentifikasi manusia, sembari mengarungi makna yang dikandung, sebelum memahami pesan dalam surah al-Nas.
Pertama, kata al-anas. Kata ini terulang sekitar 241 kali dalam 53 surah. Maknanya menunjuk pada konteks komunal, sosial dan interaksi publik, tanpa membedakan iman atau status sosial. Kosakata ini dipakai dalam Al-Qur'an, misalnya pada QS al-Nas, QS al-Baqarah: 2, QS al-Nisa: 1. Kata al-nas digunakan dalam Al-Qur'an ketika Allah berbicara kepada umat manusia secara kolektif, tanpa membedakan status keimanan maupun status sosial.
Kedua, kata al-insan. Kata ini terulang sekitar 73 kali dalam 43 sarah. Dipakai dalam konteks individu yang sadar, makhluk berakal, berkesadaran, dan bertanggung jawab. Seringkali digunakan dalam ayat yang menyoroti kelemahan, potensi, dan tanggung jawab manusia. Pemakaian kata al-insan menekankan sisi psikologis dan spiritual manusia, termasuk keraguan, kesombongan, dan potensi amal salih.
Ketiga, kata basyar. Kata ini dipakai dalam Al-Qur'an untuk menunjuk manusia dari sisi biologis, terulang sekitar 36 kali. Makna konseptualnya menjelaskan manusia sebagai makhluk jasmani, dengan kulit, tubuh, dan kebutuhan fisik, mirip seperti hewan. Dalam satu konteks ayat, kata ini dipakai untuk menegaskan tentang para nabi pun adalah manusia biasa secara fisik yang terungkap pada QS Al-Kahfi: 110 dan QS Fusilat: 6. Di sini, kata basyar dipakai untuk menegaskan bahwa meski para nabi menerima wahyu, mereka juga tetaplah manusia biasa yang memiliki hasrat dan kebutuhan biologis.
Keempat, kata ins. Kata ini digunakan untuk menjelaskan manusia dalam dimensi sosial yang bisa hidup berdampingan dengan ramah. Kata ini terulang dalam Al-Quran sekitar 18 kali. Sering pula, kata ini dituturkan berpasangan dengan kata jin. Cara ini menunjukkan dan mengekspresikan bahwa dua makhluk ini berakal dan memiliki fitrah tunduk pada Tuhan. Kesan ini tertangkap misalnya dalam QS al-Jin: 6 dan QS al-An’am: 130.
Kelima, kata al-an'am. Kata ini dipakai untuk menjelaskan manusia dalam konteks makhluk hidup. Al-Qur'an menggunakan kata al-An'am sekitar 4 kali. Makna yang dikandung pada kosakata ini merujuk pada seluruh makhluk hidup, termasuk manusia, hewan, dan jin. Digunakan dalam konteks penciptaan dan nikmat Allah. Misalnya pada
QS al-Rahman: 10. Kata al-an'am ini secara konseptual merupakan istilah paling luas yang digunakan Al-Qur'an, mencakup semua makhluk hidup yang diberi rezeki dan tempat tinggal.
Ada kata lain yang dipakai dalam Al-Qur'an yang juga makna konseptualnya luas, yaitu Bani Adam. Kata ini berulang 7 kali di 5 surah. Secara konseptual penggunaannya terkait dengan beragam konteks makna, yaitu makna historis keturunan Nabi Adam dan kesatuan asal, peringatan dan tanggung jawab moral, dan kehormatan sosial.
Di luar dari keragaman kata dan konteks makna yang dipakai Al-Qur'an menjelaskan tentang manusia, kita kembali pada kata al-Nās untuk melihat sisi manusia yang dalam surah al-Nas dihubungkan dengan ancaman desas-desus dan goyangan sikap waswas. Kata ini dieksplorasi secara ekspresif dalam surah ini, diulang-ulang, dan disertakan pada keberadaan Tuhan.
Kata al-Nas, berasal dari akar kata 'n-s-y' yang menunjuk pada sifat manusia yang mudah lalai dan terpengaruh. Dalam kasus surah al-Nas, ia dipakai pada masing-masing ayat. Konteks pertama, kata al-nas dikaitkan dengan fondasi tauhid, yaitu posisi Allah sebagai rabb al-nas (Allah sebagai pemelihara), malik al-nas (Allah sebagai penguasa) dan ilah al-nas (Allah sebagai satu-satunya yang disembah).
Tiga ayat dalam permulaan sarah al-Nas ini mengekspresikan tentang tiga nama Tuhan yang sangat dekat dan ekspresif dalam hidup manusia. Keteraturan semesta dan keseimbangan yang ada di dalamnya, mengingatkan manusia tentang Sang Pengatur melalui sunnah alam. Pengelolaan semesta sekaligus pengendaliannya. Di dalamnya lekat dengan kekuasaan. Dan karena itu, ketundukan dan persembahan diberikan.
Penegasan Allah sebagai sumber pemeliharaan, kekuasaan dan persembahan yang di surah ini manusia diminta berlindung, memberikan pesan simbolik tentang pentingnya manusia belajar pada tiga dimensi Ilahi tersebut. Dalam setiap perjalanan dan peran, kita perlu ambil peran dalam merawat kehidupan semesta serta menyelaraskan hidup dengan sistem semesta. Di dalamnya diperlukan otoritas, kemampuan dan kewenangan. Di tiap proses transformasi, kita perlu ambil peran kebaikan. Di setiap tragedi, kita perlu turun tangan menghentikannya. Di setiap ketidakadilan dan kezaliman, kita perlu nyali, menghentikannya. Di tiap kekuasaan yang seringkali melahirkan kepongahan, kita perlu menepuk pundaknya, mengingatkannya. Semua ini perlu kesadaran keselarasan.
Peran-peran tersebut perlu dimainkan dengan baik, karena pada setiap perjalanan hidup manusia, perubahan terjadi tak selalu sesuai harapan, mimpi bisa tak kunjung nyata, dan rencana bisa tak selalu setia. Teman, karib dan sanak kadang tak selalu seiring dan sejalan dalam kebaikan. Maka, tumbuh kesedihan akan masa lalu dan kerisauan akan masa depan. Rasa was-was mendera.
Setelah tiga ayat di awal surah al-Nas, pesan kedua yang disampaikan dengan lugas dalam surah ini adalah tentang mawas diri dari was was, desas desus, dan bisikan jahat. Kata "waswas" (الْوَسْوَاسِ) dalam konteks Al-Qur'an secara harfiah berarti bisikan, godaan, atau keraguan yang menyelinap. Dalam surah Al-Nas secara spesifik kata "waswas" diungkapkan sebagai bisikan yang berasal dari "al-khannās" (الْخَنَّاسِ) dan ditujukan ke dalam dada manusia (fī sudurinnas). Tujuannya adalah mengacaukan hati, jiwa dan pikiran manusia.
Kata "al-khannas" dipakai di ayat ini untuk menjelaskan sifat dari setan yang membisikkan "waswas". Kata ini berasal dari khasana-yakhnusu, yang berarti "bersembunyi" atau "mundur". Kata ini memberikan isyarat bahwa setan itu tidak menyerang secara terang-terangan, tetapi tersembunyi, melalui bisikan dan godaan. Bisik-bisik bisa melahirkan berita palsu dan narasi sesat yang menyebabkan keberisikan dan keruwetan dalam komunikasi publik.
Sumber munculnya waswas adalah Setan. Dan dalam surah ini, dijelaskan bahwa ia berasal dari golongan jin maupun manusia (minal jinnati wannas). Setan dari jenis jin adalah yang membisikkan secara batin dan tidak terlihat ke dalam diri manusia. Keraguan, risau, galau dan kecemasan lain, lahir karena bisikan dari dalam. Dua jenis makhluk ini, kata Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir, perlu diawasi karena menjadi sumber lahirnya kekuatan waswas.
Di dalam psikologi, waswas bisa mengarah pada gangguan mental. Orang yang terbelenggu waswas secara berlebihan merupakan individu yang mengalami gangguan kecemasan(anxiety disorder). Individu yang mengalami ini sering merasa khawatir tanpa alasan yang jelas dan kesulitan mengendalikan pikiran negatif yang terus-menerus muncul. Selanjutnya, ia juga mengalami gangguan obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder) atau waswas al-qahriy (bisikan paksaan). Penderitanya mengalami obsesi (pikiran, dorongan, atau gambaran yang berulang dan menetap) yang memicu keraguan dan kecemasan. Untuk meredakan kecemasan tersebut, mereka melakukan tindakan kompulsif (perilaku ritualistik yang berulang).
Sedangkan setan dari jenis manusia adalah orang-orang yang memengaruhi orang lain menuju keburukan melalui opini dan desasdesus yang cenderung tak sesuai dengan kenyataan, lalu mengacaukan situasi sosial dan pikiran manusia. Penyebabnya beraneka rupa, di antaranya karena sifat iri, dengki, takut kehilangan pengaruh, keakuan yang tak kunjung padam, kepemilikan yang surut, ketuaan yang kehilangan kearifan, dan pertarungan kepentingan dan kekuasaan.
Di era digital, waswas dan desasdesus bentuknya semakin beraneka rupa, tak lagi hanya soal keraguan dalam praktik ibadah atau tindakan sehari-hari, tetapi juga keraguan terhadap diri sendiri dan kehidupan. Misalnya, terjadi fear of missing out, yaitu perasaan cemas dan khawatir ketinggalan tren, informasi, atau pengalaman yang dipamerkan orang lain di media sosial. Juga pembandingan yang tak sehat karena melihat kehidupan ideal orang lain (yang seringkali palsu) di media sosial. Keraguan diri semacam ini bila terjadi terus-menerus bisa memicu depresi dan kecemasan, membuat seseorang merasa tidak mampu, tidak dicintai, atau bahkan tidak berharga.
Desas-desus juga dijajakan dalam beraneka bentuk. Pertama, penyebaran hoaks dan berita palsu. Cara ini dengan cepat menyulut amarah, kebencian, dan ketakutan publik. Kedua, cyberbullying, yaitu menjatuhkan nama baik seseorang atau kelompok melalui media sosial dengan menyebarkan informasi palsu atau memutarbalikkan fakta. Dan bahkan hal-hal tersebut melahirkan polarisasi: memecah belah masyarakat menjadi berbagai kelompok yang saling membenci, berdasarkan perbedaan politik, agama, atau etnis.
Sebagai kekuatan negatif, kita tak perlu memberikan ruang bagi waswas dalam diri kita, karena hanya kekacauan pikiran yang kita peroleh. Pun jangan pula kita ikut sibuk dengan desas-desus yang tak jelas asal-usul dan kebenarannya, karena hanya akan merusak tatanan sosial. Menolak segala keraguan, mengabaikan bisikan negatif, dan berani memverifikasi dan klarifikasi atas segala persoalan, merupakan jalan lempang yang menyelamatkan kita dari hasrat jahat waswas dan desas-desus yang dilakukan jin maupun manusia.