Tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai pedoman dalam membedakan kebaikan dan keburukan. Petunjuk yang diberikan Allah kepada umat manusia dengan turunnya al-Qur’an tidak sekadar mencakup hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan ukhrawi/akhirat, melainkan juga mencakup hal-hal duniawi seperti penataan kehidupan manusia, hubungan antar sesama manusia, dan dimensi muamalah lainnya.
Salah satu sasaran dari turunnya ayat-ayat al-Qur’an adalah bertujuan menjadikan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kondisi masyarakat Arab yang kurang ideal pada masa itu ditata secara perlahan-lahan dan bertahap, sehingga masyarakat dapat menerima berbagai hikmah dan pelajaran melalui petunjuk-petunjuk dari al-Qur’an.
Gambaran penataan kehidupan masyarakat secara bertahap itulah yang disampaikan oleh K.H. M. Afifudin Dimyathi melalui pengajian kitab Hidayat al-Qur’an fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, yang diterbitkan Penerbit Dar al-Nibras Kairo, Mesir pada 2023 silam. Kitab tersebut merupakan tafsir yang menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat al-Qur’an lain yang tema dan pembahasannya berkaitan.
Tafsir atas QS. Al-Baqarah (2: 219)
Turunnya QS. Al-Baqarah (2: 219) menurut KH. M. Afifudin Dimyathi merupakan contoh petunjuk al-Qur’an dalam menata kehidupan masyarakat. Ayat tersebut memiliki arti: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya ….”.
Ayat tersebut menurut Kiai Awis (sapaan akrab K.H. M. Afifudin Dimyathi) dimulai dengan kata yas’aluunaka (mereka bertanya kepadamu) untuk menunjukkan bahwa al-Qur’an hadir untuk memberikan jawaban atas masalah riil yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, pelajaran yang bisa kita petik dari ayat-ayat yang dimulai dengan kata yas’aluunaka adalah bahwa sebuah penjelasan ilmu dimulai dengan cara bertanya, bertanya merupakan pintu gerbang bagi datangnya ilmu.
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang hukum syariat terkait khamr dan judi. Allah memerintahkan Rasulullah Saw. untuk menjawab bahwa ‘khamr dan judi merupakan dosa besar’. Di dalam khamr dan judi terdapat hal-hal buruk yang dapat mengakibatkan permusuhan dan kebencian antar sesama manusia, dan kedua perbuatan tersebut menjauhkan mereka dari zikir dan shalat.
Di ayat tersebut juga dijelaskan bahwa selain menghukumi khamr dan judi adalah dosa besar, namun di ayat tersebut juga disinggung bahwa dalam khamr dan judi memang terdapat manfaat bagi kehidupan manusia, misalnya keuntungan finansial bagi para pedagang, dan memperoleh harta tanpa usaha bagi para penjudi dengan merugikan orang lain.
Namun dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa dosa khamr dan judi lebih besar dari manfaatnya, sebab kerusakan yang ditimbulkan oleh keduanya jauh lebih besar dari manfaatnya. Maka karena kerusakannya lebih besar daripada manfaatnya, maka kita wajib untuk menjauhinya, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah ushul fiqh: “Dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat).
Teori Gradasi, Memperbaiki Kehidupan Masyarakat Secara Bertahap
Merujuk pada hadits dari Imam Ahmad dari sanad Abu Hurairah, Kiai Awis menguraikan bahwa QS. Al-Baqarah (2: 219) tersebut merupakan ayat al-Qur’an pertama yang turun dalam rangka pengharaman khamr, baru kemudian turun QS. An-Nisa’ (4: 43), kemudian QS. Al-Maidah (5: 90-91). Mula-mula, melalui QS. Al-Baqarah (2: 219) Allah menegaskan bahwa khamr dan judi merupakan dosa besar, dengan menguraikan bahwa keburukan yang ditimbulkan oleh kedua perbuatan tersebut jauh lebih besar dari manfaatnya. Di momen tersebut, masih banyak sahabat yang meminum khamr dan berjudi, sebab belum ada larangan yang tegas mengenai keduanya, baru peringatan tentang keburukan dan hukumnya.
Setelah turunnya QS. Al-Baqarah (2: 219), para sahabat masih minum khamr, hingga suatu hari terdapat seseorang dari golongan Muhajirin mengimami shalat maghrib dalam keadaan mabuk, sehingga bacaan al-Qur’annya tercampur antara satu surah dengan surah yang lain. Maka kemudian turunlah ayat yang lebih keras mengenai khamr, yaitu QS. An-Nisa’ (4: 43) yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan ….” Turunnya ayat tersebut tidak lantas membuat para sahabat benar-benar meninggalkan khamr, melainkan masih meminum khamr dengan menyiasati meminumnya di waktu-waktu yang jauh dari waktu shalat, sehingga mereka tetap bisa melaksanakan shalat dalam keadaan sadar.
Kemudian turunlah ayat yang lebih tegas tentang khamr, yaitu QS. Al-Maidah (5: 90), yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” Setelah turunnya ayat tersebut, barulah para sahabat benar-benar berhenti meminum khamr dan berjudi.
Terdapat suatu peristiwa yang menarik setelah turunnya ayat tentang pengharaman khamr tersebut. Dalam hadits dari Anas bin Malik dikisahkan bahwa ketika turunnya QS. Al-Maidah (5: 90), Rasulullah Saw. menyuruh seseorang untuk menyerukan kepada manusia akan pengharaman khamr. Anas bin Malik yang ketika itu bekerja sebagai penuang khamr di rumah Abu Thalhah diperintahkan oleh majikannya tersebut untuk menumpahkan khamr yang tersisa, maka ia menumpahkan khamr di jalanan Kota Madinah (lihat HR. al-Bukhari 4/1688 no. 4344).
Sebagaimana diketahui, orang Arab pada masa itu memiliki persediaan khamr yang cukup banyak, menyimpannya dalam tong-tong yang besar. Maka ketika turun ayat al-Qur’an tentang pengharaman khamr, umat Islam membuang sisa persediaan khamr yang mereka miliki. Maka pada hari itu khamr mengalir di jalanan Kota Madinah.
Menurut Kiai Awis, urutan turunnya ayat terkait khamr dan judi tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an mengajarkan kepada kita tentang perubahan sosial yang dilakukan secara bertahap, yang oleh Kiai Awis disebut sebagai teori gradasi. Perubahan tidak dilakukan secara revolusioner, melainkan tahap demi tahap. Terdapat beberapa hikmah yang bisa dipetik dari dari teori gradasi sebagai prinsip tahapan tatanan sosial tersebut, yaitu agar masyarakat lebih mudah dalam menerima syariat Islam, sebab mengubah kebiasaan yang sudah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat bukanlah suatu hal yang mudah. Dengan demikian, masyarakat dapat beradaptasi dengan tatanan sosial baru yang lebih baik.
Sehingga jika diurutkan, perubahan sosial dapat ditempuh melalui tiga tahapan: pertama, memperingatkan umat Islam agar menimbang baik dan buruk perbuatan tersebut dan menunjukkan bahwa keburukannya jauh lebih besar daripada manfaatnya; kedua, memberikan batasan dalam melakukan perbuatan buruk tersebut sehingga umat Islam dapat mengurangi perbuatan itu; ketiga, melarang secara tegas sehingga umat Islam dapat meninggalkan perbuatan buruk tersebut secara total.
Pelajaran dari Qs. Al-Baqarah ayat 219 dalam Kitab Kunuzu al-Rahman fi Durus al-Qur’an
Ketika menguraikan tentang tafsir QS. Al-Baqarah (2: 219) dalam kitab Hidayat al-Qur’an, Kiai Awis juga menyinggung penjelasan atas surah dan ayat tersebut dalam kitab Kunuzu al-Rahman fi Durus al-Qur’an, kitab yang baru selesai disusunnya. Menurut Kiai Awis, kitab Kunuzu al-Rahman fi Durus al-Qur’an akan melengkapi tafsir Hidayat al-Qur’an. Jika Hidayat al-Qur’an berbasis teks atau tekstual, kitab Kunuzu al-Rahman berbasis realitas masyarakat atau pembacaan kontekstual.
Kitab yang baru disusun Kiai Awis tersebut berjudul lengkap Kunuzu al-Rahman fi Durus al-Qur’an; Hidayāt Qur’aniyyāt wa Taujīhāt Rabbaniyāt li Bina’a al-Insan wa Islah al-Umran, merupakan pembacaan kontekstual atas 30 Juz al-Qur’an yang disusun secara tartib mushafi, mulai QS. al-Fatihah hingga QS. Al-Nās, yang dicetak ke dalam dua jilid. Kitab ini akan diterbitkan oleh penerbit Dar al-Nibras, Kairo, Mesir.
Dalam kitab Kunuzu al-Rahman, Kiai Awis menguraikan bahwa pelajaran yang dapat kita petik dari QS. Al-Baqarah (2: 219) adalah bahwa: pertama, beberapa hal yang terlarang mungkin memiliki beberapa manfaat, namun manfaat-manfaat tersebut tidak dapat menjadi pembenaran dilakukannya perbuatan terlarang itu dengan mengabaikan dampak buruknya; kedua, terdapat kaidah fiqh yang berlaku umum bahwa mencegah kemungkaran lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan; ketiga, merenungkan hukum, tujuan, dan dalil-dalil syariat merupakan tujuan dari penafsiran ayat-ayat tersebut.
Maka hendaknya kita sebagai seorang hambar dapat merenungkan berbagai manfaat dari hal-hal yang diperbolehkan dan bahaya/mudharat dari hal-hal yang mubah agar kita dapat memahami tujuan, hukum, dan dalil-dalil syariat; keempat, ayat tersebut juga menyinggung soal sedekah. Sedekah sukarela yang paling baik adalah sedekah yang dikeluarkan dari kelebihan harta seseorang, yang melebihi kebutuhannya.
Penjelasan yang diuraikan oleh KH. M. Afifudin Dimyathi tentang tafsir QS. Al-Baqarah (2: 219) baik dalam kitab Hidayat al-Qur’an maupun kitab Kunuzu al-Rahman sebagaimana telah diuraikan di atas menunjukkan kepada kita bahwa betapa banyak hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari al-Qur’an sebagai bekal dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, dan betapa al-Qur’an memiliki mukjizat shalih li kulli zaman wa makan, relevan atas seluruh konteks ruang dan waktu. []
Rujukan:
M. Afifudin Dimyathi, Hidayat al-Qur’an fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Nibras, 2023).
M. Afifudin Dimyathi, Kunuzu al-Rahman fi Durus al-Qur’an; Hidayāt Qur’aniyyāt wa Taujīhāt Rabbaniyāt li Bina’a al-Insan wa Islah al-Umran, (Kairo: Dar al-Nibras) versi dummy.
Khodibul Amru, dkk. Daras Tafsir Hidayatul Qur’an, Ragam Pendekatan dan Cakrawala Pembacaan, (Surabaya, Pena Cendekia, 2024)
)* Tulisan ini disusun merujuk pada penyampaian KH. M. Afifudin Dimyathi dalam ngaji rutin tafsir Hidayat al-Qur’an fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an, QS. Al-Baqarah ayat 219 yang disampaikan di Ribath Hidayatul Qur’an PP. Darul ‘Ulum Jombang dan merujuk pada versi dummy kitab Kunuzu al-Rahman fi Durus al-Qur’an atas seizin dan perkenan beliau.