Di penghujung November 2025, wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dihantam banjir bandang. Ia datang membawa lumpur pekat dari longsoran tanah dan gelondongan pohon hasil dari pembalakan hutan.
Dalam waktu sekejab, ribuan rumah terkoyak dihantam kerasnya arus air. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal, berbagai sarana layanan kehilangan fungsi, dan ribuan orang meregang nyawa, menjadi korban .
Melalui teknologi digital, tragedi pilu ini dengan mudah dan cepat bisa disaksikan jutaan mata dari berbagai wilayah, di belahan dunia. Mereka menyaksikannya bukan dari kejauhan, melainkan melalui layar gawai dan dalam serat-serat optik yang lekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Semuan ini terjadi, karena tranformasi digital.
Dalam kisah tragedi ini, teknologi berperan penting, bukan hanya menyebarkan informasi, tetapi juga pembangkit dan sekaligus pemersatu kesadaran solidaritas kemanusiaan. Ia mirip sebuah kanvas, tempat naluri solidaritas menemukan aksinya secara nyata yang paling instan dan mendalam, melesat cepat. Media digital seketika berfungsi menjadi tali temali yang mengikat hati dan perasaan manusia yang paling subtil, dan melahirkan solidaritas kemanusiaan digital.
Meski kita tak terikat langsung dengan penderitaan yang terjadi, melalui lensa digital, di balik tiap pixel yang memuat gambar kehancuran, kengerian, dan kesedihan, tersembunyi tuntutan moral yang tak terhindarkan, solidaritas digital menggedor nurani, membuka pintu welas asih, dan kesadaran berbagi. Naluri kemanusiaan kita dipanggil, untuk segera menghadirkan solidaritas kemanusiaan secara nyata, atas nama sesama makhluk Tuhan.
Filsuf Emmanuel Levinas pernah menjelaskan tentang etika yang lahir dari the face of the other—wajah sesama. Baginya, wajah bukan sekadar anatomi, melainkan sebuah tuntutan moral yang tak terhindarkan. Dalam tragedi ini, wajah digital para korban—tatapan kosong para ibu di Aceh atau tangis para yatim di ranah Minang, bayi-bayi yang kehilangan air susu—menembus tirai layar digital dan menyentuh inti terdalam nurani manusia.
Visualisasi duka dan luka yang secara instan hadir di linimasa ini menjelma menjadi apa yang disebut Immanuel Kant sebagai "Kewajiban Moral Universal". Tak ada lagi alasan untuk berpaling, tak ada lagi jalan untuk tidak saling merangkul dan berbagi meringankan beban. Ketika wajah-wajah korban dan situasi terkini di wilayah tragedi itu hadir di ruang personal kita, melalui gawai digital, ia meruntuhkan batasan domestik dan menegaskan bahwa penderitaan mereka adalah ancaman terhadap keutuhan kemanusiaan kita bersama. Di balik setiap piksel kehancuran, tersembunyi panggilan Tuhan yang menggedor pintu hati setiap diri untuk berbagi dan berdonasi.
Tragedi ini telah menciptakan digitalisasi ta’awun dan ladang amal di jagat maya. Lahir berbagai aplikasi solidaritas sosial, crowdfunding, berbagai gerakan hastag, serta media sosial yang dimiliki oleh berbagai organisasi sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan. Ruang digital ini telah menghubungkan jutaan orang dalam satu ikatan kepedulian untuk para korban.
Ia menjadi ruang di mana cakrawala moral Al-Qur'an tentang solidaritas bukanlah pilihan opsional, melainkan fondasi iman yang diekspresikan dalam praksis sosial. Titah dalam Surah Al-Maidah [5]: 2 : "...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan..." sebagai perintah universal tentang ta’awun (tolong menolong) dikonstruksi dalam wadah baru, yaitu melalui media digital. Di sini, media sosial dan media daring yang lain berubah menjadi kanvas kebijakan massal yang bergerak cepat dan masif. Informasi darurat dan donasi digital bergerak cepat dan masif, sebagai dua sisi kebajikan yang melintasi batas geografis, etnis dan golongan, menyalip keriuhan langkah para politisi dan bahkan pemerintah.
Syeikh Wahbah az-Zuhaili, penulis tafsir Al-Munir, menjelaskan bahwa ajaran tolong menolong adalah prinsip dasar yang menumbuhkan solidaritas sosial. Ta'awun ini, kata Syekh Nawawi al-Bantani, bukan hanya dalam bentuk bantuan materi, tetapi juga dukungan moral, tenaga, maupun spiritual. Prinsip utamanya juga, ia melintasi ruang dan waktu, serta menembus batas etnis dan golongan. Hal ini tercermin pada ekspresi spiritualitas Islam ketika menggunakan kata al-nas dalam menjelaskan tentang keutamaan manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia.
Demokratisasi filantropi yang tumbuh di tengah bencana melalui platform crowdfunding telah mengubah misi kemanusiaan dari domain birokrasi yang kaku menjadi gerakan akar rumput yang gesit—sebuah manifestasi modern dari kedermawanan yang diajarkan oleh wahyu Ilahi. Ia menjadi ruang digital di mana tolong menolong sebagai salah satu prinsip etik Al-Quran di atas ditampilkan secara aktual.
solidaritas kemanusiaan digital ini tumbuh pula dari spiritualitas agama yang mengajarkan bahwa harta, kekayaan dan nyawa yang ada pada diri kita adalah milik dan titipan Tuhan. Keyakinan ini diekspresikan secara nyata melalui donasi, gerakan berbagi para relawan dan aktivis sosial, dari berbagai daerah. Dalam Surah Al-Hadid/57: 7 dititahkan: "Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..."
Berdonasi melalui ruang digital menjadi ekspresi kontekstual dan nyata dari ayat ini. Di sini, teknologi yang menjadi ruang yang mendorong dan menuntut kedisiplinan spiritual sosial yang lebih tinggi. Setiap klik melahirkan donasi, kesadaran sosial dan spiritualitas sekaligus, tetap terjaga dalam keikhlasan, dan membersihkan diri dari komodifikasi duka demi popularitas.
Solidaritas digital juga bisa menjadi jalan lempang menumbuhkan dan mengekspresikan kesadaran manunggaling kawula Gusti. Yakni prinsip yang mengajarkan bahwa manusia, alam dan seluruh makhluk adalah bagian dari satu realitas Ilahi. Seluruh alam adalah tajalli (penampakan) dari Yang Maha Ada. Kesadaran ini akan menumbuhkan sikap rendah hati, karena tidak ada wujud yang independen selain Allah. Dari kesadaran ini melahirkan rasa kasih sayang universal. Berbagi pada sesama dalam ruang kemanusiaan dalam konteks bencana dan tragedi berarti menghormati tajalli Allah dalam diri manusia.
Gotong royong, tepa selira, dan welas asih menjadi ekspresi sosial dari kesatuan spiritual di atas. Luka mereka adalah luka kita. Secara esoteris, penderitaan masyarakat di Aceh dan Sumatra adalah luka pada "tubuh kosmik" yang satu. Tak ada perpisahan hakiki antara si penolong dan yang ditolong, karena semuanya bermuara pada Hakikat yang Tunggal.
Solidaritas sosial, dalam perspektif ini, adalah jalan pendakian menuju Tuhan (taqarrub). Membantu sesama makhluk adalah bentuk dan ekspresi penghormatan kepada Sang Pencipta. Tindakan bantuan dan solidaritas adalah perwujudan dari Ihsan—sebuah ibadah paripurna yang dilakukan bukan untuk validasi digital, melainkan sebagai bentuk penyembuhan terhadap bagian dari diri kita sendiri yang sedang terluka di tempat lain.
Secara spiritual, teknologi telah menjadi jembatan nurani. Ia telah membuktikan diri bukan hanya sebagai instrumen vital penyebar informasi, melainkan sebagai tali temali yang mengikat hati. Ia mengubah jarak menjadi kedekatan, dan data menjadi imperatif moral. Tragedi banjir Sumatra 2025 mengajarkan kita bahwa di dunia yang makin terdigitalisasi, naluri altruistik dan ketaatan spiritual harus tetap menjadi kemudi.
Di antara reruntuhan rumah dan pekatnya lumpur, kita menemukan kembali kemanusiaan kita. Kita menyadari bahwa di hadapan Tuhan, kita adalah satu barisan yang saling menguatkan, terhubung oleh serat optik di bumi dan jalinan doa di langit spiritual untuk saling berbagi.