Dua puluh tahun terakhir, masyarakat dunia memiliki rumah kehidupan baru, yaitu rumah digital. Di dalamnya terdapat seperangkat kebudayaan dan peradaban yang sangat kompleks.
Sejarah rumah baru tersebut berakar pada konsep komputasi yang didasarkan pada sistem biner (angka 0 dan 1). Fondasi teoretisnya bermula pada era 1930-an, ketika mesin komputasi teoretis dikemukakan oleh Alan Turing dan dasar teori informasi oleh Claude Shannon.
Pada era 1940-an komputer elektronik lahir. Ditandai dengan penciptaan komputer elektronik, seperti ENIAC (Electronic Numerical Integrator and Computer) yang menggunakan tabung vakum.
Pada era 1950-1970 memasuki era transistor dan mikroprosesor. Penemuan transistor ini menggantikan tabung vakum, membuat komputer lebih kecil dan efisien. Puncak revolusi perangkat keras ini adalah ditemukannya mikroprosesor (chip tunggal yang menampung seluruh unit pemrosesan pusat) oleh Intel pada awal 1970-an, yang melahirkan komputer pribadi (PC). Ujungnya paa era 1980-an diperkenalkan jaringan dan internet. Terjadilah pengembangan protokol TCP/IP dan kelahiran world wide web (www) pada awal 1990-an memungkinkan konektivitas global, menjadi fondasi bagi peradaban digital saat ini.
Terjadilah pergeseran pola hidup manusia, menuju era digital. Hal-hal baru yang berkaitan dengan digital terjadi, mencengangkan, dan seringkali tanpa disadari. Pola dan tatanan baru pun muncul.
Pertama, terjadi digitalisasi data, di mana informasi (teks, audio, gambar) dikonversi dari format analog menjadi kode biner, memudahkan penyimpanan, transmisi, dan manipulasi. Kedua, konvergensi teknologi, di mana perangkat yang dulunya terpisah (telepon, kamera, komputer) kini menyatu dalam satu perangkat multifungsi (smartphone).
Ketiga, konektivitas instan. Terdapat kemampuan berkomunikasi dan mengakses informasi tanpa batas ruang dan waktu melalui internet. Dan keempat, ketergantungan pada Algoritma di mana keputusan dan pengalaman sehari-hari, mulai dari berita yang dibaca hingga produk yang dibeli, semakin didorong oleh kecerdasan buatan dan algoritma.
Peradaban digital, sebagai fase peradaban yang ditandai oleh integrasi total teknologi informasi dan komunikasi dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik global, telah melahirkan revolusi tatanan kehidupan manusia. Dan semua ini muncul dari interaksi manusia dengan teknologi. Fenomena ini, meskipun membawa kemajuan, tetapi juga menciptakan tantangan akut bagi kehidupan manusia. Pertama, ancaman kognitif, yaitu serbuan gelombang informasi palsu (hoaks) dan disinformasi. Kedua, ancaman sosial, yaitu erosi akut etika komunikasi, seperti cyberbullying dan ujaran kebencian serta dan privasi data. Ketiga, ancaman psikologis, yakni ketergantungan digital dan isolasi sosial, fear of missing out alias fomo. Secara psikologis, fomo adalah kombinasi dari kecemasan sosial dan rasa iri yang didorong oleh kebutuhan mendasar manusia untuk terhubung dan diterima oleh kelompok sosialnya. Dan yang terakhir, matikanya kepakaran dan otoritas. Siapa saja bisa berfatwa, membuat resep, dan memberikan terapi, meski tak memilik latar belakang dan keahlian.
Individu yang hidup dalam rumah digital tersebut memiliki beragam pintu dan jendela. Siapa saja bisa berbagi dan mengulik, sampai hal-hal yang paling privat dan tak elok untuk dibagi. Di dalamnya terjadi pergulatan tiada henti, tak ada batas. Etika Al-Qur’an memberikan kiat agar masyarakat digital agar bisa keluar dari pergulatan tersebut dengan selamat. Pertama, menjadi prinsip tabayun sebagai jalan anti-disinformasi. Tantangan utama kebudayaan digital adalah kecepatan penyebaran informasi yang melampaui kemampuan verifikasi. Al-Qur'an secara tegas menuntut adanya verifikasi mendalam terhadap berita dan aneka ujaran, terutama yang dibawa oleh sumber yang meragukan. “Wahai orang-orang yang beriman. Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Ḥujurāt [49]: 6).
Penafsir klasik seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi menafsirkan kata fasiq dalam ayat ini sebagai orang yang menyimpang dari ketaatan. Dalam konteks digital, fasiq dapat dimaknai sebagai akun anonim, bot, atau sumber tidak kredibel yang bertujuan menyebar fitnah. Perintah fatabayyanū (telitilah kebenarannya) dalam ayat ini merupakan perintah metodologis untuk memfilter informasi, menjamin agar keputusan dan tindakan sosial tidak didasarkan pada jahālah (kebodohan/kecerobohan digital) atau bahkan kebencian yang sengaja didaurulang.
Wardle, seorang ahli media, menyebut fenomena semacam ini sebagai information disorder. Dan prinsip tabayun di sini merupakan bagian dari konsep literasi digital kritis, yaitu kemampuan menganalisis konten, konteks, dan sumber berita secara cermat dan teliti. Dan dari sisi psikologi, tabayun berfungsi melawan confirmation bias (kecenderungan mencari informasi yang sesuai dengan keyakinan sendiri), yang seringkali diperparah oleh algoritma media sosial. Ayat ini mengajarkan pengendalian impuls kognitif sebelum jari-jari kita mudah gatal menekan tombol share atau menulis sesuatu yang tak berguna dan tak bermutu.
Kedua, prinsip hifzhul lisan dan privasi digital. Peradaban digital seringkali sangat mudah mengubah lisan (perkataan) menjadi teks dan visual, yang kadangkala dilepaskan dari etika dan sopan santun, sehingga memicu cyberbullying dan ujaran kebencian. Al-Qur'an telah memberikan prinsip dasar mengenai etika komunikasi yang kuat (qaulan ma’rufa) dan melarang tindakan merusak kehormatan dan merendahkan orang lain.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena boleh jadi perempuan yang diolok-olok lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok). Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurāt [49]: 11).
Secara eksplisit ayat ini melarang sakhara (mengolok-olok) dan tanabazu bil-alqab (memanggil dengan gelar buruk). Model perilaku ini secara langsung mudah terjadi dalam komunikasi digital seperti pada praktik flaming atau cyberbullying di media sosial. Ada faktor mengapa kondisi ini terjadi, seperti ketidakmampuan mengendalikan diri, kebencian, dan superioritas.
Imam Al-Ghazali dalam Iḥya’ Ulumiddīn telah mengingatkan bahwa menjaga kehormatan sama pentingnya dengan menjaga jiwa. Secara implisit, pesan ini dalam konteks digital sebagai bentuk peneguhan tentang pentingnya perlindungan reputasi dan privasi digital.
Suler, psikolog media, menjelaskan bahwa fenomena disinhibition effect di dunia maya, di mana anonimitas dan jarak fisik, seringkali membuat individu lebih berani melanggar norma sosial dan etika komunikasi. Prinsip Al-Qur’an ini menjadi penahan moral yang mengajarkan pentingnya empati digital dan kesadaran bahwa interaksi online pun dipertanggungjawabkan di hadapan hukum dan Tuhan.
Ketiga, prinsip keseimbangan hidup dan kolaborasi. Tantangan peradaban digital selanjutnya adalah digital-analog divide dalam kehidupan sehari-hari, yaitu ketergantungan digital dan erosi interaksi sosial langsung. Konsep tawazun (keseimbangan) dalam Islam memastikan bahwa teknologi digunakan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.” (QS. Al-Qasas [28]: 77).
Imam ath-Thabari menafsirkan ayat ini sebagai kewajiban menyeimbangkan aspek spiritual (akhirah) dan material (dunya). Dalam konteks digital, ini berarti mengatur digital well-being, yakni memanfaatkan teknologi untuk kemudahan (dunia) sambil menjadikannya sarana peningkatan spiritual, sosial, dan kontribusi nyata yang bermanfaat bagi kehidupan (akhirah).
Selain itu, prinsip ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan (QS. Al-Ma’idah [5]: 2) mendorong penggunaan platform digital sebagai sarana kolaborasi positif, melawan individualisme yang dipicu oleh gawai. Psikologi melihat ketergantungan digital sebagai perilaku adiktif yang memicu fomo. Prinsip Tawazun berfungsi sebagai kerangka terapi perilaku, yaitu mengatur batas waktu (digital detox) dan memprioritaskan interaksi offline. Teknologi harusnya memperkuat, bukan menggantikan, modal sosial (social capital) yang telah ada.