Islam hadir sebagai agama yang rahmatan lil alamin yakni merahmati alam semesta seisinya pun tak terkecuali dengan kehidupan tumbuhan dan hewan yang ada di muka bumi ini. Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang saat ini melanda mayoritas Pulau Sumatra tidak serta merta datang begitu saja, melainkan ada sebabnya-sebab yang mengakibatkan bencana nasional itu terjadi.
Pembukaan lahan secara besar-besaran untuk kepentingan pribadi para pengusaha kelapa sawit disinyalir menjadi sebab utama dari bencana banjir ini. Kemudian bagaimana Islam melalui Al-Qur’an menyikapi hal tersebut?
Dalam QS. Al A’raf: 56 Allah secara nyata memberikan peringatan kepada umat manusia agar janganlah berbuat kerusakan di muka bumi ini pasca Allah memperbaikinya/menjaga keseimbangan alam tersebut. K.H. Afifudin Dimyathi (atau kerap disapa dengan Gus Awis) yang merupakan penulis Tafsir Hidayatul Qur’an pada makalah Tafsir Maudhu’inya yang berjudul “Fii Rihabil Qur’an” (Dalam Genggaman Al-Qur’an) memaparkan penafsiran ayat tersebut demikian :
وقد سبق الفقه الإسلام في التّأكيد على وجوب حماية البيئة والمحافظة عليها
“Dan sungguh ulama fiqih Islam terdahulu menguatkan atas kewajiban melestarikan alam dan menjaganya.” (2015: 11)
Dari penafsiran tersebut sudah jelas bahwa menjaga keseimbangan alam dengan tidak berbuat kerusakan terhadap pepohonan dan makhluk hidup lain secara berlebihan merupakan bukti konkret nyata kita sebagai manusia yang diberi amanah sebagai khalifah fii al-ardh ini telah menjalankan amanah tersebut secara bijak.
Maka para ulama kontemporer menggagas suatu konsep fiqih bi’ah (fiqih ekologi) untuk menjawab berbagai isu mengenai kelestarian lingkungan melalui perspektif yang lebih praktis dengan memberikan batasan hukum dan regulasi tentang bagaimana caranya menggunakan sumber daya alam (SDA) secara bijak (Panji Adam : 2019, 134).
Hal ini pun juga mengacu pada satu kaidah fiqih dar’ul mafasid awla min jalbi al-mashalih yang artinya menghilangkan mafsadat lebih utama daripada menarik kemaslahatan. Tentu jika kita aplikasikan ke dalam fiqih bi’ah, maka akan lahir suatu formulasi konsep fiqih bahwa sebelum terjadi kemaslahatan yang lebih besar seperti banjir bandang dan tanah longsor yang menelan ratusan korban jiwa.
Hendaknya pembukaan hutan secara liar untuk menanam kelapa sawit dan penambangan besar-besar lebih baik dihilangkan atau dibuatkan regulasi hukum yang kuat serta mengikat untuk membatasinya.
Lalu Allah menegaskan kembali ayat di atas pada sambungan ayat berikutnya pada QS. Al – A’raf:85 agar manusia janganlah berbuat kerusakan dimuka bumi pasca diperbaharui atau dikembalikan lagi ekosistem alamnya. Dalam paparan kali ini kami mengutip penafsiran terbaru Gus Awis dalam karya barunya yang berjudul “Kunuzu Al-Rahman fii Durus Al – Qur’an”. Karya beliau kali ini memuat lebih kompleks penafsiran Al-Qur’an dengan mengangkat tema pranata sosial yang terjadi dan sedang viral di Indonesia. Dalam ayat ini Gus Awis memberikan penafsiran sebagai berikut :
النهي عن الإفساد في الأرض يشمل النهي عن كل تعدٍّ على النظام الكوني و التوازن البيئي كعمليات تعدين النيكل والفحم المنشرة بإندونيسيا إذا كانت تدمّر البيئة, و تفسد الموارد الحيوية, وتلوّث المياه ولأراضي الزراعية
“Larangan berbuat kerusakan di muka bumi mencakup larangan atas setiap pelanggaran terhadap tatanan semesta dan keseimbangan ekologis, seperti kegiatan penambangan nikel dan batubara yang tersebar luas di Indonesia. Jika kegiatan itu merusak lingkungan, merusak sumber daya hayati, serta mencemari air dan lahan pertanian.” (hal. 341)
Tentu larangan yang dipaparkan oleh Gus Awis ini sejalan dengan Putusan Muktamar NU di Jombang tahun 2015 yang melarang eksploitasi alam secara berlebihan dan dikategorikan sebagai perbuatan fasad (merusak). Hal ini mengacu kepada lima konsep maqashid syari’ah yang meliputi hifdz ad diin (menjaga agama), hifdz nafs (menjaga jiwa), hifdz aql (menjaga akal), hifdz nasab (menjaga keturunan), dan hifdz maal (menjaga harta).
Kedua ayat diatas memiliki korelasi lain dengan QS. Hud:41 yang menerangkan bahwa kerusakan di muka bumi ini disebabkan oleh tangan manusia itu sendiri, Gus Awis dalam hal ini menegaskan demikian :
ويعد تحريم الإسلام للإفساد بكلّ مظاهره والإسراف بكلّ أنواعه قاعدة الأمن البيئي الّتي ينطلق منها في المحافظة على فطرة البيئة
“Dan Islam telah mengatur keharaman atas kerusakan yang telah nampak dan keharaman atas sikap berlebihan pada tiap bagian kaidah keberlangsungan ekologi yang mana hal itu dapat merusak ekositem dalam penjagaannya atas sifat dasar ekosistem tersebut.” (Fii Rihab Al – Qur’an : 12).
Dari penafsiran beliau ini atas QS. Hud:41 dapat kita ambil kesimpulan bahwa boleh saja memanfaatkan akan kekayaan alam, namun hal tersebut jangan sampai menimbulkan dampak negatif yang mengganggu keseimbangan ekosistem alam itu sendiri. Dalam buku Fikih Energi Terbarukan (2017) yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia–PBNU (LAKPESDAM-PBNU), terdapat suatu keterangan menarik dimana LAKPESDAM – PBNU mengecam eksploitasi energi fosil yang menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran yang dinyatakan haram karena menimbulkan dharar (kerugian). Dampak negatif inilah yang dimaksud oleh Gus Awis dalam tafsir maudhu’i-nya tersebut akibat dari pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlebihan dan tidak memperhatikan dampak yang ditimbukan akibat kegiatan tersebut.
Waba’du, melalui penafsiran Gus Awis inilah Islam dalam perspektif Al-Qur’an telah memaparkan akan urgensinya menjaga kelestarian alam yang mana hal tersebut merupakan upaya konkrit manusia sebagai khalifah fii al-ardh di muka bumi ini dalam merawat alam dan keberlangsungan makhluk hidup yang lain dari tangan-tangan manusia yang serakah serta tamak. Wallahu a’lam.