Salah satu hewan yang namanya diabadikan sebagai salah satu nama surah dalam Al-Quran adalah semut, yaitu surah ke 27, surah al-Naml. Di dalam surah ini, keberadaan semut dikisahkan secara dramatik, pada ayat 18-19.
Dalam suatu momen, di lembah Syam, di bawah langit yang bersih dari dendam dan keangkuhan, demikian Qatadah menjelaskan kisahnya. Di antara pasir yang tak pernah mengkhianati jejak, kisahnya dimulai dengan perjalanan Nabi Sulaiman dan pasukannya saat melintasi lembah yang sunyi. Angin bergerak ringan tanpa bersuara, semesta memberikan ruang para makhluk menjalani hidup tanpa degup takut. Di antara rerimbunan akar dan lorong tanah, seekor Raja semut mengangkat kepalanya, menyaksikan bayang-bayang langkah manusia. Langkah itu semakin terasa derunya, terdengar ratusan langkah kaki yang semakin dekat.
“Wahai para semut,” bisik Raja semut kepada para kawanan semut dalam situasi yang genting itu. Gema kata-katanya menembus dinding tanah, ditangkap para kawanan semut lain. “Masuklah kalian ke dalam liang-liangmu, sebelum langkah-langkah Sulaiman dan tentaranya, tanpa sengaja, menghabisi kita.”
Dan Sulaiman, nabi yang memiliki kemampuan memahami bahasa hewan, tersenyum menyaksikan dialog kawanan semut tersebut. Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran, Nabi Sulaiman lalu berdoa:
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku (ilham dan kemampuan) untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk tetap mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai. (Aku memohon pula) masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.”
Kisah semut ini ditampilkan secara ekspresif oleh Al-Qur’an. Secara ekologis, ia merupakan salah satu makhluk hidup yang unik. Ia memiliki sistem navigasi dan arsitektur tanah yang baik, menggali rumahnya dengan cermat, menghindari tempat rendah agar tidak terkena banjir.
Semut juga makhluk pembersih alami: membantu membersihkan sisa makanan dan bangkai, berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Ia juga bagian makhluk peternakan dan simbiosis yang unik: memelihara serangga penghasil cairan manis dan memindahkannya ke tempat baru jika lingkungan mulai tandus; sebuah bentuk simbiosis mutualisme yang jarang ditemukan pada hewan lain.
Secara sosial, semut memiliki komunitas terorganisir: hidup dalam koloni dengan pembagian tugas yang jelas—pekerja, prajurit, dan ratu. Satu dengan yang lain tak pernah berseteru. Semut memiliki etos kerja dan solidaritas tinggi: saling membantu, bahkan jika ada yang kesulitan membawa makanan. Ia juga memiliki sistem komunikasi canggih dan jaringan komunikasi yang kuat untuk koordinasi tugas dan perlindungan. Dalam konteks sistem peperangan dan perbudakan, dalam konflik antar koloni misalnya, semut mengenal strategi kolektif dan bahkan mengangkut telur musuh sebagai budak. Hal ini menunjukkan kompleksitas sosial yang luar biasa.
Para ahli tafsir memberikan penjelasan yang beragam bagaimana caranya Nabi Sulaiman bisa mendengar percakapan yang dilakukan oleh kawanan semut.
Penafsir klasik seperti Ibnu Kaṡīr, al-Baidawi, dan al-Qurtubi memahaminya sebagai mukjizat dan murni sebagai tanda kenabian Sulaiman. Ia diberikan kemampuan literal untuk memahami dan berbicara dengan bahasa hewan, jin, dan angin. Namun, Sayyid Qutb memberikan penjelasan yang berbeda. Ia lebih menyorotinya dalam konteks makna simbolis dan metaforis di balik kisah ini. Dialog dengan semut dipandang sebagai kemampuan memahami komunikasi alam, bukan sekadar bahasa verbal seperti manusia, melainkan termasuk sinyal, feromon, gerak atau ekspresi yang lain.
Di dalam dunia sains dijelaskan bahwa komunikasi yang dilakukan semut dengan berbagai cara. Pertama, melalui feromon (sinyal kimia). Semut melepaskan feromon, yaitu zat kimia yang membentuk jejak beraroma untuk memberi petunjuk arah makanan, memperingatkan bahaya, dan mengenali anggota koloni. Feromon ini membantu semut lain mengikuti jalur atau mengetahui kondisi lingkungan sekitar.
Kedua, dengan sentuhan antena. Semut saling menyentuh antena untuk berkomunikasi secara langsung. Kontak antena ini memungkinkan mereka bertukar informasi tentang identitas, status, atau kondisi sekitar. Sentuhan ini juga dipakai untuk memastikan apakah semut lain dari koloni yang sama atau bukan.
Ketiga, melalui getaran tanah. Beberapa jenis semut menggunakan getaran yang dihasilkan dari mengetuk atau menggoyangkan tubuh untuk menyampaikan sinyal melalui tanah. Cara ini efektif terutama dalam kondisi gelap atau sarang semut bawah tanah.
Keempat, dengan suara ultrasonik. Jenis semut tertentu dapat menghasilkan suara ultrasonik, yang tidak terdengar manusia, untuk berkomunikasi secara rahasia dengan anggota koloni dalam jarak tertentu. Kelima, melalui trophallaxis (berbagi makanan). Semut juga melakukan perpindahan makanan dari satu semut ke semut lain melalui mulut (atau anus ke mulut). Proses ini tidak hanya berbagi nutrisi, tetapi juga hormon dan isyarat kimia sebagai bagian dari komunikasi sosial dalam koloninya.
Terlepas dari bagaimana sistem komunikasi semut yang unik tersebut, melalui kisah semut dan Sulaiman ini, kita bisa belajar banyak hal. Melalui tokoh Sulaiman, kita belajar tentang hakikat dan makna kekuasaan dan pelayanan dalam hidup.
Figur Sulaiman merefleksikan tentang makna kekuasaan adalah pelayanan, bukan sebaliknya. Jabatan dan kekuasaan diekspresikan dengan kerendahan hati, kejernihan pikiran, dan ketajaman rasa dalam merasakan semua peristiwa, termasuk kemampuan membaca tanda-tanda alam semesta.
Kekuasaan, bagi Sulaiman, bukan mahkota kesombongan, melainkan amanah dari langit, pancaran cinta dan kebenaran. Ia menyerap cahaya Tuhan sebagai sumber segala makna dan kebajikan, sebagai jalan menebar kasih sayang ke penjuru semesta.
Hidup bagi Nabi Sulaiman, adalah sajadah panjang pengabdian, di mana kekuasaan adalah jalan ibadah. Ia menjaga ciptaan Tuhan, besar dan kecil, membaca tanda-tanda, memahami yang halus dan yang silsil. Ia tak memerintah dengan angkuh, melainkan dengan hikmah yang lembut dan penuh. Semut pun tak luput dari perhatiannya, karena baginya, setiap makhluk punya hak hidup dan makna bagi ekosistem semesta. Meski langit tunduk dan angin patuh kepadanya, Sulaiman tetap bersujud pada Tuhan, tak pernah angkuh atau menepuk dada. Syukur menjadi napasnya, istiqomah menjadi jalannya.
Ia mengajarkan kepada kita bahwa empati bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang menumbuhkan dan merawat kehidupan. Dari semut yang kecil hingga jin yang perkasa, semua dia rangkul dalam cinta semesta.
Adapun dari semut yang kecil, kita diajak merenung tentang makna kebersamaan, bahwa hidup tak bisa dijaga sendiri, melainkan lewat kerja sama yang teratur, gotong royong yang menyatu dalam denyut komunitas.
Semut mengajarkan pentingnya saling mengingatkan, agar bahaya tak menimpa diam-diam. Keselamatan bukan milik pribadi, melainkan tanggung jawab bersama yang harus dijaga sepenuh hati. Ia tak hanya memberi suara, tapi juga solusi yang nyata. Ketangkasan dalam bertindak, bukan sekadar wacana yang melayang tanpa arah. Kisahnya menjadi cermin bagi manusia, untuk peka terhadap ancaman, berbicara dengan bijak, dan menimbang keputusan demi kemaslahatan semesta.
Semut juga menunjukkan pentingnya peran satu individu dalam perubahan besar di masyarakat. Usaha kecil, jika konsisten dan ikhlas, dapat membawa dampak besar. Ia juga mempraktikkan kedisiplinan, sikap kreatif, dan etos kerja tinggi dalam menghadapi tantangan, menjadi contoh karakter positif yang bisa diteladani manusia. Dialog semut dalam surah al-Naml mencerminkan organisasi, kepemimpinan, dan komitmen terhadap perlindungan komunitasnya.
Dari sisi ekologis, kisah ini menumbuhkan kesadaran lingkungan dan interkoneksi antar makhluk. Komunikasi antarsemut, merupakan ekspresi kesadaran ekologis dan sistem komunikasi antar spesies.
Melalui kisah ini, Al-Qur’an mengajarkan bahwa semua makhluk hidup memiliki hak untuk hidup dan dilindungi di muka bumi, bahkan yang kecil sekalipun. Pada saat yang sama, manusia harus berjalan di bumi dengan penuh kehati-hatian, tak boleh congkak, apalagi beraktivistas yang bisa menjadi penyebab kerusakan ekosistem alam. Sebagai simbol ibu, kata Jalaluddin Rumi, alam bisa melayani kebutuhan manusia, tetapi ia akan lelah memenuhi hasratnya yang tak ada batas dan tenggat.
Melalu kisah Semut dan Sulaiman, kita diajari tentang perlunya spirit kepemimpinan kolektif dan solidaritas. Raja Semut adalah cermin pemimpin yang melindungi komunitasnya, menunjukkan nilai solidaritas dan tanggung jawab atas sesama.
Ia tidak menyalahkan Sulaiman, melainkan mengantisipasi bahaya dengan bijak; dengan melakukan komunikasi publik yang etis dan preventif. Semut hidup dalam koloni yang terorganisir, menjadi simbol kerja sama, disiplin, dan peran sosial yang saling melengkapi.
Dalam konteks masyarakat, kisah ini mengajari kita bahwa setiap individu, sekecil apapun perannya, memiliki kontribusi penting dalam kehidupan. Sedangkan melalui figur Sulaiman, kita disodorkan prototipe pemimpin yang memiliki wawasan dan kemampuan membaca tanda semesta secara detail sebagai mekanisme menjaga ekosistem alam.
Kemaslahatan bersama menjadi fondasi kehidupan dan kepemimpinan, yang dalam prinsip kesadaran manusia Jawa dikenal dengan prinsip tri hitakarana, yaitu keselamatan hidup diperoleh dengan membangun hubungan yang baik antar sesama manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan semesta alam.