Di suatu malam. Dalam gerbong kereta yang melaju cepat menuju Yogya, saya teringat pesan dari saudara, tentang waktu yang tak pernah bisa ditaklukkan dan seringkali menipu. Ia terus melaju, tak ada rehat, meski sekarat merapat, ketakutan melanda akut. "Waktu seperti pedang," kata Sahabat Ali bin Abi Thalib mengingatkan kita, manfaatnya tergantung penggunanya.
Dalam setiap perjalanan manusia, ada tempat rehat dan ujung di mana semua dihentikan. Tapi waktu terus berjalan sesuai sunnah alam. Tak ada jeda. Ia tak bisa diringkus apalagi dihentikan. Secara subjektif waktu bersifat personal, tapi secara objektif bersifat universal mengikuti sunnah alam.
Dalam waktu historis, tiap masa, ada kisah, pelaku, dan pesan dari semua peristiwa. Naik, turun, landai, dan berhenti adalah bagian dari rentang di mana jalan dilalui. Dalam pandangan falsafah Jawa proses ini dikenal sebagai cokro manggilingan. Di situlah waktu berada, manusia berkisah, keabadian etik ditumbuhkan, atau sebaliknya kebrutalan nirmoral yang diwariskan. Dalam Al-Quran, identitas dan makna waktu menjadi bagian tema penting di mana pesan disampaikan.
Matahari dan bulan, oleh Tuhan dipakai sebagai media mengekspresikan sumpah. Dari keduanya kalender diciptakan. Masa dihitung. Tahapan dan sejarah disimak. Rotasi manusia bisa dikira. Di situ, waktu sebagai ruang mengada manusia.
Malam, siang, fajar, dan pagi oleh Tuhan juga dipakai sebagai media mengekspresikan sumpah. Ini adalah tentang tahapan dan masa kadaluwarsa. Al-Quran mengekspresikan dengan istilah 'ajal'. Malam tiba karena era siang telah usai. Demikian seterusnya. Pergantian ini bukan soal naik turun, atau landai, melainkan durasi. Kita menyebutnya waktu. Di situlah Al-Quran mengungkapkan tentang: momentum.
Di lain tempat, Al-Quran memakai istilah
al-'Ashr, dalam mengekspresikan sumpah. Kita temukan hal ini pada ayat pertama, surah ke 103. Para ahli tafsir memberikan penjelasan yang beragam terhadap kata ini.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marāh Labīd (Jilid II, hlm. 660) menyatakan bahwa “al-‘ashr” adalah waktu secara umum. Allah bersumpah dengan waktu karena ia adalah nikmat besar dan tak tergantikan.
Waktu menjadi wadah amal dan ujian manusia. Makna yang sama juga kita temukan dalam pandangan Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Juz 30, hlm. 456). Menurutnya, “al-‘ashr” sebagai waktu yang menjadi saksi atas amal dan tempat berlangsungnya kehidupan.
Ada penafsir lain yang memaknainya dengan waktu sore (Ashar). Makna yang demikian disampaikan misalnya oleh Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy dalam Tafsir Juz ‘Amma. Sore adalah waktu antara Zuhur dan Maghrib yang secara simbolik menggambarkan fase akhir kehidupan, yaitu kematian.
Ada pula yang menafsirkan “al-‘ashr” sebagai secara spesifik sebagai identitas salat, yaitu salat Ashar dan ada pula yang memaknainya secara umum, yaitu zaman atau era. Makna yang terakhir ini disampaikan oleh Syekh asy-Sya’rawy. Dalam konteks ini, lalu kita mengenal masa jahiliyah, masa kebangkitan Islam, atau masa modern. Dalam konteks ini, “al-‘ashr” menjadi simbol tahapan dan sejarah.
Di luar dari keragaman tafsir tersebut, lantas pesan apa yang disampaikan Tuhan lewat bersumpah dengan waktu. Kita kulik pada surah ke 103. Di situ ada tiga karakter yang menjadikan waktu bermakna dalam hidup manusia.
Pertama, karakter iman. Al-Quran menggunakan kata kerja dalam menarasikan iman di ayat ini. Artinya, iman bukan hanya sebatas keyakinan, tetapi juga tindakan dan kontinuitas. Iman sebagai karakter, dalam ayat ini memberikan pesan bahwa manusia terdiri dari dunia material dan dunia ruh. Lahir dan batin. Alam nasut dan alam lahut. Alam dunia material dan alam pascadunia.
Karakter iman yang demikian membentuk kredibilitas dan nilai kemanusiaan. Dalam sejumlah hadis, Nabi memberikan penjelasan makna iman dalam berbagai tindakan sosial, seperti memuliakan tamu, berbuat baik pada tetangga, dan mencintai sesama.
Identitas praksis sosial ini, yang dalam tahapan kedua, digambarkan dalam ayat ini dengan frasa "amal saleh". Kata amal dalam ayat ini, juga di berbagai ayat lain, dirangkai dengan kata 'saleh'. Maksud yang dituju adalah tindakan yang lahir dari iman tersebut memberikan nilai guna, menenangkan, mendamaikan, memperbaiki menjadi bermutu dan lebih bermutu serta menaikkan kualitas.
Sains dan teknologi yang lahir dari karakter amal salih, akan menjadikkannya landasan dari hulu hingga hilir: kemaslahatan umum, keberlangsungan alam dan keterjagaan ekosistem semesta. Demikian juga dalam tindakan sosial, ekonomi maupun politik.
Bila terjadi anomali, patologi dan penyimpangan dalam proses waktu, ayat ini memberikan jalan lempang: evaluasi dan introspeksi. Saling memberi-menerima nasihat. Kebenaran dan kesabaran sebagai kunci utama. Dalam dunia ilmiah, kebenaran bersifat universal. Dia mengikat. Bila ditemukan hal baru, teknologi berkembang dan melaju selaras dengan temuan tersebut.
Dalam dunia sosial dan politik, kebenaran diacukan pada moral dan etika. Laboratoriumnya ada dalam kesadaran dan akal budi manusia. Orang beragama biasanya mengaitkannya dengan karakter iman dalam pengertian yang telah dijelaskan di atas.
Bila terjadi anomali dalam hidup: beriman tapi lakunya tak mencerminkan karakter kepribadian orang beriman, berarti ia sedang terjangkit kepribadian yang pecah. Iman sebatas gincu, laku melaju di luar dari kendalinya. Padahal, tindakan ibadah ritual dalam Islam selalu dirangkai dengan spirit kesadaran akal budi. Apalagi iman sebagai fondasinya.
Dalam penyembuhan dan daya tahan menghadapi anomali kehidupan, baik dalam konteks sosial, politik maupun agama, diperlukan kesabaran. Demikian surah ini menutup pesan, agar manusia bisa memberikan makna waktu.
Dalam kesabaran ada ketekunan, ketelitian dan konsistensi. Dari kerja-kerja ini ilmu pengetahuan dibangun, teknologi dilahirkan, karakter pendidikan diciptakan dan keselarasan alam dirawat.
Lewat surah dimana Tuhan menjadikan waktu sebagai medan sumpah ini, kesan yang kita tangkap bahwa iman, amal salih dan saling memberi-menerima nasihat dalam hal kebenaran (haqq) dan kesabaran adalah ekosistem. Seperti gerakan tawaf yang saling terhubung. Demikianlah cara merawat waktu.