Kemunafikan, dalam bahasa Al-Qur’an, adalah wajah ganda: laku tak sejalan dengan kata.
Salah satu perilaku yang paling keras dikritik oleh Al-Qur’an adalah nifaq—ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan. Pelakunya disebut munafiq, sosok bermuka dua.
Istilah tersebut berasal dari kata nafaqa (نَفَقَ), yang secara harfiah berarti “lubang” atau “terowongan”—tempat keluar masuk yang tersembunyi, seperti liang tikus (yarbū’). Dari makna literal ini, lahir pemaknaan moral: menyembunyikan kekufuran sambil menampilkan keimanan. Menyimpan racun dalam dada, namun menebar madu lewat lisan.
Dalam keseharian, kita kerap menjumpai sikap semacam ini—tampak manis di permukaan, namun menyimpan kebusukan di dalam. Dalam tradisi tutur, perilaku ini dikenal dengan berbagai istilah: bermuka dua (berbeda sikap di depan dan di belakang), lidah biawak (ucapan tak konsisten), lunyu ilate (lidah licin, tak dapat dipercaya). Namun istilah yang paling tajam menggambarkan munafik adalah lamis: wajah ramah, hati penuh intrik.
Al-Qur’an secara tegas mengecam kepalsuan semacam ini. Dalam surah Al-Munafiqun (surah ke-63, Madaniyah, terdiri dari 11 ayat, berada di Juz ke-28), dibongkar tipu daya kaum munafik, terutama pada ayat 1–8 yang diturunkan sebagai respons atas dinamika sosial-politik pasca Perang Bani Musthaliq yang terjadi pada tahun ke-5 Hijriah.
Kala itu, di tengah padang pasir yang baru saja meredakan gemuruh perang, pasukan Rasulullah beristirahat di mata air Al-Muraysī’. Di sana, bukan senjata yang berbicara, melainkan kata-kata yang lebih tajam dari tombak. Perselisihan kecil terjadi antara Jahjah bin Sa‘id al-Ghifari (dari kaum Muhajirin) dan Sinān bin Wabar al-Anshari (dari kalangan Anshar). Gesekan biasa ini menjadi bahan bakar bagi mereka yang menyimpan bara dalam dada.
Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh utama kaum munafik di Madinah, memanfaatkan situasi tersebut. Ia menghasut kaumnya, kaum Anshar, dengan kata-kata penuh kesombongan: "Beginikah kalian memperlakukan mereka? Demi Allah, jika kita kembali ke Madinah, yang mulia pasti akan mengusir yang hina!" Yang dimaksud “mulia” adalah dirinya dan pengikutnya, sementara “hina” merujuk pada Rasulullah dan para sahabat Muhajirin.
Tak berhenti di situ, ia juga mengajak kaum Anshar untuk menghentikan bantuan kepada kaum Muhajirin. “Jangan beri apa pun kepada orang-orang yang bersama Muhammad agar mereka bubar.” Ucapan ini diabadikan dalam surah Al-Munafiqun ayat ke-7.
Namun, di tengah kebisuan, muncul suara jernih dari Zayd bin Arqam, seorang pemuda Anshar. Ia mendengar langsung ucapan tersebut dan menyampaikannya kepada pamannya, yang kemudian melaporkannya kepada Rasulullah. Saat dikonfrontasi, Abdullah bin Ubay bin Salul bersama pengikutnya bersumpah bahwa mereka tidak pernah mengucapkan hal itu. Sumpah palsu ini mengguncang sebagian Sahabat, hingga mereka sempat meragukan Zayd bin Arqam. Namun, malam tak membiarkan kebohongan berkuasa. Wahyu pun turun, membenarkan kesaksian Zayd dan membongkar kebohongan Abdullah bin Ubay. Allah menjadi saksi atas kebenaran seorang pemuda dan kehinaan seorang tokoh.
Riwayat ini tercatat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, serta dijelaskan dalam Lubabun Nuqul karya Imam as-Suyuthi. Surah Al-Munafiqun bukan sekadar dokumentasi sejarah, melainkan cermin bagi setiap hati. Dalam surah ini kita diingatkan bahwa musuh sejati bukan yang datang dengan senjata, tetapi yang menyusup dengan senyum. Bahwa iman bukan hanya di lisan, tetapi di hati dan amal. Ia menyeru agar tidak lalai oleh dunia, tidak kikir, dan tidak menunda infak hingga ajal datang. Surah ini adalah wahyu yang menyingkap wajah-wajah palsu, mengajak kita bertanya: adakah bayangan nifaq dalam diri kita?
Melalui kisah ini pula, para ulama memperkenalkan dua jenis nifaq. Pertama, Nifaq i‘tiqadi (keyakinan). Jenis ini digolongkan kemunafikan besar, yaitu menampakkan keimanan namun menyembunyikan kekufuran. Pelakunya divonis kafir dan disebut paling berbahaya. Al-Qur’an menyebut mereka akan ditempatkan di kerak neraka paling bawah (QS. An-Nisa’: 145). Kedua, nifaq ‘amali (perbuatan). Bentuk kemunafikan kecil. Terjadi ketika seseorang masih beriman namun perilakunya menyerupai ciri-ciri munafik, yaitu: berdusta saat berbicara, ingkar janji, dan khianat saat diberi amanah. (Shahih al-Bukhari: Kitab al-Iman, Bab: Tanda-Tanda Orang Munafik, No. 33 dan Shahih Muslim: Kitab al-Iman, Bab: Penjelasan Sifat-Sifat Orang Munafik, No. 59). Perbuatan ini termasuk dosa besar dan dapat menggerogoti iman hingga menghilangkan keislaman jika tidak segera ditinggalkan.
Dalam hadis lain, riwayat dari Abdullah bin ‘Amr, disebutkan sifat tambahan yang memperkuat dominasi kemunafikan, yaitu: “Empat hal, barangsiapa yang ada padanya keempatnya, maka ia adalah munafik murni. Dan barangsiapa yang memiliki salah satu darinya, maka ia memiliki sifat kemunafikan hingga ia meninggalkannya: jika diberi amanah, ia berkhianat; jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia melanggar; jika bersengketa, ia melampaui batas.” (Shahih al-Bukhari No. 34, Shahih Muslim No. 58)
Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa “munafik murni” berarti seseorang yang sangat menyerupai munafik sejati karena sifat-sifat buruk tersebut telah menjadi tabiatnya. Sifat “idha khāṣama fajara” dijelaskan sebagai sikap menyimpang dari kebenaran, memutarbalikkan fakta, dan berkata kasar dalam perselisihan.
Dalam perspektif psikologi, nifaq merupakan bentuk cognitive dissonance—ketegangan batin akibat konflik antara keyakinan dan perilaku. Untuk mengatasinya, pelaku berpura-pura. Jika berlangsung lama, hal ini dapat memicu gangguan kepribadian seperti narcissistic personality disorder atau antisocial tendencies. Nifaq merusak integritas diri, menyebabkan kecemasan dan ketidakstabilan emosi karena pelaku harus terus menjaga topeng agar tidak terbongkar. Kedamaian batin pun lenyap.
Di panggung politik dan kekuasaan, wajah ganda dan kelamisan mudah ditemukan. Kata-kata menjadi jubah, janji menjadi parfum, dan wajah menjadi topeng. Di sinilah lahir kemunafikan politik—bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena pilihan sadar untuk menyembunyikan niat di balik citra. Meski istilah “munafik” berasal dari agama, dunia politik mengenalnya sebagai political hypocrisy. Ia bukan sekadar kebohongan, tetapi seni merancang wajah ganda.
Politisi tampil sederhana, religius, dan pro-rakyat di depan kamera, namun di ruang rapat tertutup, keputusan mereka justru melukai harapan publik. Janji kampanye seringkali hanya alat. Setelah kursi diraih, janji-janji itu menguap. Tak ada penjelasan, tak ada tanggung jawab. Yang tersisa hanyalah rakyat yang merasa ditinggalkan. Ketika kemunafikan menjadi kebiasaan, demokrasi mulai retak. Kepercayaan publik terhadap parlemen, partai, dan pemerintah perlahan terkikis. Rakyat menjadi sinis, tak lagi percaya pada suara, tak lagi peduli pada pemilu. Politik berubah dari harapan menjadi permainan yang menjauhkan.
Dalam dunia politik, ada yang mencoba membenarkan perilaku semacam ini. Machiavelli, misalnya, menyebut bahwa dalam politik, kadang topeng diperlukan. David Runciman bahkan menyebut kemunafikan sebagai bagian tak terhindarkan dari kekuasaan. Tapi apakah kita rela menerima itu? Apakah kita ingin hidup dalam sistem yang menghalalkan kebohongan demi stabilitas?
Dalam agama, munafik adalah pengkhianat amanah. Dalam politik, ia adalah racun yang merusak fondasi kepercayaan. Dan ketika kepercayaan hilang, tak ada lagi yang bisa menopang bangunan kekuasaan. Politik seharusnya menjadi cermin. Bukan topeng. Kita butuh pemimpin yang jujur, bukan yang pandai bersandiwara. Karena di balik janji yang tak ditepati, ada rakyat yang terus menunggu keadilan.
Wajah ganda dan sikap mudah malih rupa ini juga telah merasuk dalam dunia digital kita. Di era digital yang serba terhubung, kita hidup dalam dua dunia: dunia nyata dan dunia maya. Dunia nyata berjalan dengan langkah kaki, suara napas, dan tatapan mata. Dunia maya bergerak dengan klik, unggahan, dan emoji. Di antara keduanya, ada jurang yang makin lebar—jurang antara siapa kita sebenarnya dan siapa yang kita tampilkan. Di sinilah kemunafikan digital tumbuh, mekar, dan kadang beracun. Kemunafikan, dalam bahasa Al-Qur’an, adalah wajah ganda: laku tak sejalan dengan kata. Ia bukan sekadar kebohongan, tapi seni menyembunyikan niat.
Di era digital, wajah ganda ini menemukan panggung baru yang lebih luas dan lebih licin: media sosial. Maka lahirlah apa yang bisa kita sebut sebagai “kemunafikan digital”—sebuah fenomena ketika citra virtual bersolek jauh dari kenyataan yang tersembunyi. Filter dan flexing menjadi istilah baru yang lahir dari jenis karakteri nifaq. Di layar ponsel, seseorang bisa tampak bahagia, sukses, dan penuh berkah. Senyum lebar, latar mewah, kutipan motivasi. Tapi di balik layar, mungkin ada kesepian, utang, atau luka yang tak terucap. Filter menjadi jubah. Pamer menjadi ritual. Validasi menjadi candu. Ini bukan sekadar pencitraan, tapi bentuk riya’ modern—amal yang dibungkus demi pujian, bukan keikhlasan.
Ada pula aktivisme yang hanya hidup di kolom komentar. Membela keadilan, menyerukan perubahan, mengutuk ketidakadilan. Tapi di dunia nyata, langkahnya tak pernah hadir. Ia hanya ingin disukai, bukan berjuang. Ia bersuara, tapi tak bergerak. Ia mengutuk, tapi tak berkontribusi. Aktivisme semacam ini bukan panggilan nurani, tapi strategi algoritma.
Dan yang paling ekstrem: pemalsuan identitas. catfishing. Menjadi orang lain demi cinta, uang, atau pengaruh. Usia dimanipulasi, profesi direkayasa, wajah diganti. Dunia digital memungkinkan semua itu. Tapi di balik topeng, ada jiwa yang makin jauh dari dirinya sendiri, wajah yang retak.
Di media digital, kita juga menemukan fenomena dua akun, dua wajah. Kemunafikan digital juga hidup dalam inkonsistensi. Di satu akun, seseorang tampak bijak, santun, dan suportif. Di akun bayangan, ia mencaci, memfitnah, dan menyebar kebencian. Ia memuji di publik, tapi menggunjing di grup privat. Ia vokal mengkritik pemerintah, tapi menghilang saat diajak turun ke jalan atau menyusun solusi. Ia jago komentar, tapi nol aksi. Anonimitas menjadi tameng. Akun palsu menjadi senjata. Dan moral menjadi fleksibel, tergantung siapa yang melihat.
Di ruang digital, amanah sering mudah dikhianati. Di dunia profesional, kemunafikan digital menjelma dalam bentuk manipulasi. Influencer mempromosikan produk yang tak pernah mereka pakai. Testimoni menjadi komoditas. Kepercayaan menjadi mata uang. Bahkan data pribadi yang dipercayakan bisa disalahgunakan demi keuntungan. Amanah yang seharusnya dijaga, justru dijual.
Terjadi luka di dalam dan retak di luar. Kemunafikan digital bukan tanpa dampak. Bagi pelaku, ia merusak integritas diri. Hidup dalam kepalsuan membuat batas antara nyata dan palsu kabur. Kecemasan tumbuh. Ketakutan terbongkar menjadi beban harian. Riya’ digital bisa membatalkan amal. Dan dalam Islam, amal yang dilakukan demi pujian tak bernilai di sisi Tuhan.
Bagi masyarakat, kemunafikan digital merusak fondasi kepercayaan. Ketika tokoh publik ketahuan memalsukan citra, kepercayaan terhadap otoritas runtuh. Disinformasi menyebar. Echo chamber terbentuk. Cancel culture menjadi senjata. Standar moral menjadi tak realistis. Dan masyarakat terpecah—bukan karena perbedaan, tapi karena kebencian yang disebar oleh akun-akun tanpa wajah.
Dalam surah At-Taubah: 67, kita diingatkan bahwa kaum munafik menyuruh kepada kemungkaran dan mencegah kebaikan. Di dunia digital, mereka aktif menyebar polarisasi. Mereka bukan sekadar penonton, tapi penghasut. Mereka bukan sekadar pengguna, tapi perusak.
Pertanyaannya kini: apakah kita masih punya cermin? Atau hanya topeng? Dunia digital seharusnya menjadi ruang ekspresi, bukan panggung sandiwara. Kita butuh kejujuran, bukan pencitraan. Kita butuh keberanian untuk menjadi diri sendiri, bukan versi yang disukai algoritma.
Karena di balik unggahan yang palsu, ada jiwa yang rapuh. Di balik komentar yang tajam, ada hati yang retak. Dan di balik wajah yang tersenyum, mungkin ada air mata yang tak sempat jatuh. Kemunafikan digital bukan sekadar fenomena teknologi. Ia adalah cermin zaman. Dan kita, sebagai penggunanya, harus berani menatap cermin itu—tanpa filter, tanpa topeng.
Guru Besar ilmu Tafsir dan Al-Quran di UIN Raden Mas Said Surakarta. Kini sebagai Direktur Pascasarjana UIN Raden Mas Said Surakarta dan Pengurus Asosiasi Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Indonesia.
Al-Qur'an | 26.09.2020
Al-Qur'an | 26.09.2020
Al-Qur'an | 05.10.2020