Sedang Membaca
Sufi, Tafsir Mimpi, dan Imaginasi (1)
Hasan Basri Marwah
Penulis Kolom

Pengurus Lesbumi PBNU, penulis, Pengajar di Pesantren Kaliopak Jogjakarta, serta pegiat dan pemerhati budaya. S2 Cultural Studies di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berasal dari Mataram Nusa Tenggara Barat dan kini menetap di Yogyakarta

Sufi, Tafsir Mimpi, dan Imaginasi (1)

Mimpi menurut keterangan Syaikhul Akbar Ibnu Arabi adalah salah satu fungsi dari imaginasi (khayal). Di dalam mimpi orang bisa menyaksikan bentuk-bentuk, citra-citra dan simbol  fisikal yang sebenarnya bukan forma fisikal, tidak bermateri (maddah) seperti di dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam mimpi orang melihat gambar-gambar (shuwar) dari simbol yang ada di alam gaib, di alam imaginal, di dalam jiwa. Imaginasi adalah sebuah kekuatan dari jiwa dalam menyerap makna.

Di sebutkan, bahwa segala sesuatu yang datang dari alam gaib berupa makna-makna atau dekat “gagasan-gagasan arketif-nya” Plato yang hanya bisa ditangkap oleh fakultas imaginal manusia dalam bentuk gambar-gambar. Bahkan Syaikhul Akbar menyebut imaginasi sebagai manifestasi (penampakan atau perwujudan) dari nama Allah, Al-Qowwiyu (Yang Maha Kuat) karena imaginasi adalah kekuatan atau kapasitas jiwa dalam menangkap bentuk fisikal (mahsusah) sekaligus yang maknawi.

Saya kira penjelasan Ibnu Arabi sangat rumit sehingga memerlukan penjelasan dari para penafsirnya. Menurut seorang murid Akbariyah, William C. Chittik, manusia diciptakan dalam citra-Nya (khuliqal insaani ‘ala shuurotihi) dan memiliki hubungan yang unik dengan Tuhan maupun kosmos.

Hubungan yang unik itu memungkinkan manusia memahami pelbagai hal, termasuk “mengetahui” atau “menyadari” kedekatan-Nya dengan Allah.

Terkait dengan kemampuan memahami, mengetahui dan menyadari, manusia memiliki tiga kekuatan: akal, imaginasi dan hati (qalb). Akal untuk menyadari Allah sebagai “Yang Jauh”  karena akal (nalar) menangkap pelbagai hal yang empirik yang justeru adalah “selubung” (hijab) dari kedekatan manusia dengan Allah.

Baca juga:  Fathimah, Sufi Perempuan dari Naisabur

Sementara imaginasi untuk memahami dan menyadari Allah sebagai “Yang Dekat” karena daya khayal manusia merupakan kekuatan yang mampu menangkap gambar-gambar dari gagasan-gagasan arketipal.

Sedangkan hati (qalb) adalah kekuatan sintetis  dari akal dan imganisi dalam diri manusia yang memahami, mengerti, dan menyadari Allah sebagai Yang Maha Dekat sekaligus Yang Maha Jauh. Hati mampu menangkap hakekat dari segala sesuatu,yakni Allah SWT.

Paling tidak ada dua kesulitan menjelaskan arti kata “imaginasi”. Pertama, imaginasi atau hayal sudah terlanjur menjadi kata konotatif dalam percakapan harian,bahasa sehari-hari. Hayal tidak dianggap sebagai salah satu kapasitas berfikir manusia. Imaginasi atau hayal dianggap sebagai segala hal yang tidak berlandaskan pada bukti dan logika-rasional. Sederhananya, imaginasi distigma sebagai yang tidak masuk akal.

Maka tidak berlebihan ketika Henry Corbin, seorang pengikut Akbariyah lainnya, menegaskan bahwa istilah mondus imaginalis yang dipilihnya untuk menjelaskan pengalaman ruhani dan proses tranmisi pengetahuan dari kegaiban merupakan suatu bentuk neologisme agar bebas dari debu keseharian yang terlanjur menempel pada kata “imaginasi”.

Corbin menegaskan bahwa citra dalam alam hayal, alam gambar-gambar, atau alam mistal adalah suatu yang riil dan bisa ditangkap pengertiannya oleh kapasitas hayal manusia.

Kedua, di kalangan para sufi sendiri terjadi perbedaan pendapat terkait dengan status pengalaman ruhani yang seringkali muncul dalam bentuk citra, gambar, dan perasaan. Apakah pengalaman ruhani harus disusun secara rasional atau cukup dimediasi dengan kesenian, seperti sajak,musik dan tarian?

Baca juga:  Sabilus Salikin (104): Macam-macam Zikir Tarekat Histiyah (2)

Aliran Isyaraqiyah seperti Syeikh Suhrawardi al-Maqtuul mengharuskan penjabaran pengalaman ruhani dalam langgam rasional. Tapi ada juga aliran lain yang berpendapat sebaliknya, ada aspek-aspek tidak terbahasakan dari pengalaman ruhani.

Perbedaan soal status pengalaman ruhani sebenarnya tidak tajam, karena pengalaman ruhani yang dibenarkan oleh sesama orang yang mencapai dan mengalaminya akan menstimulir peningkatan kapasitas orang yang mengalaminya sehingga kapasitas ruhaninya berkembang dan meluas sampai ke wilayah yang tidak bisa diperkirakan.

Dalam tasauf disebutkan bahwa ada tiga tingkat pengetahuan: rasional, imaginal dan spritual. Imaginasi memiliki lokus temaram, di antara (in betweeness) yang dalam bahasa agama disebut barzakh: sebuah ceruk kediantaraan yang tidak terhingga dalam serapan logika manusia.

Barzakh dalam Alquran surah Ar-Rahman disebut sebagai “kediantaraan” bagai dua lautan dengan batasan tak tergambarkan.

Dalam tafsir sufistik, barzakh ini metafor dari tak terhingganya simbol,gagasan, perasaan non fisikal yang merupakan bagian dari pengetahuan kepada mereka yang memiliki kapasitas menyerapnya.

Bagi para sufi, dalam tabaqat (level) alam, semakin dekat seseorang dengan alam Ketuhanan maka semakin sirna bentuk fisikalnya sehingga disebut sebagai kegaiban. Mereka yang disebut “gaib” adalah mereka yang tercerabut dari alas fisikal-duniawiah.

Orang suci seperti para Nabi dan Wali seringkali mengalami kegaiban ketika menerima limpahan (faidl) informasi dari alam yang lebih tinggi. Bentuk pengetahuan dari alam yang lebih tinggi seringkali berbentuk citra dan simbol yang membutuhkan kesiapan batiniah untuk menyongsongnya.

Baca juga:  Seputar Kontroversi Disertasi Penafsiran Muhammad Syahrur tentang Milk al-Yamin

Menurut para ulama, mimpi tidak sekedar “bunga tidur” (adghoosu ahlamin), tetapi perjalanam esoterik (batin), pengelihatan spritual (rukyah shooliha), dan melihat penampakan simbolis dari realitas-realitas transedental. Artinya, mimpi menjadi sesuatu yang penting dalam khazanah Islam.

Tidak mengherankan jika begitu banyak kitab-kitab penting yang ditulis para ulama tentang mimpi, seperti kitab karya Ibnu Sirrin dan Hakim at-Tirmidzi. Intinya, mimpi tidak seremeh temeh anggapan manusia jaman now yang mengartikan mimpi sebagai bunga tidur atau kembalinya hal-hal traumatik yang menumpuk di alam bawah sadar manusia.

Mimpi adalah peristiwa istimewa dalam kehidupan manusia. Sebagai “barzakh” mimpi sangat lengkap, dan bisa dialami oleh semua manusia. Mimpi terjadi ketika manusia beranjak menanggalkan kehidupan normalnya, terbebas dari nalar, dan tercerabut dari hubungannya dengan hal-hal fisikal, yakni aktivitas harian bernama tidur.

Maka tidak mengherankan kalau tidur menjadi bahasan penting para ulama. Kitab tasauf dengan rinci menjelaskan tata cara,adab,dan doa tidur agar tidak menjadi sekedar istrihat bagi jasmani belaka. Wallahu yahdii mas yasyaa ila sirotin mustaqiim.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top