Tak Terasa sudah satu dasawarsa Gus Dur wafat meninggalkan kita. Sisi lain dari Gus Dur yang penting untuk kita kenang adalah kecintaannya terhadap Wayang. Tulisan berikut ini adalah rangkuman dari ceramah KH. Abdurrahman Wahid pada saat diskusi dan pementasan wayang kulit dengan dalang Ki Purbo Asmoro dengan lakon “Kunti Pinilih”.
Wayang sebagai medium komunikasi dan medium pembentuk perilaku memiliki bermacam fungsi. Pertama, sebagai penghibur, yaitu membuat masyarakat terhibur, memperoleh makanan rohani atau memperoleh kepuasan psikologis. Karena dengan begitu mereka bisa melarikan diri dari dera kehidupan sehari-hari atau rutinitas harian yang menjemukan.
Wayang dalam fungsi seperti ini tidak boleh disepelakan, karena sebagaimana jenis hiburan yang lain, di dalamnya terdapat unsur-unsur yang dapat menghubungkan sesama warga masyarakat.
Bahkan jika sudah diakui secara universal seperti wayang, sebuah karya seni bisa menghubungkan sesama umat manusia. Bagi yang belum pernah menonton wayang, kalau diterangkan wayang dengan penggambarannya saja sudah menjadi paham. Karena itu, kehadiran wayang penting sekali sebagai alat untuk hiburan (entertainment). Kalau melihat fungsi wayang yang seperti ini, dia memiliki nilai kohesif yang mengikat warga masyarakat satu kepada yang lain.
Sementara itu, ada yang melihat fungsi wayang lebih jauh lagi, yaitu sebagai alat untuk penularan nilai, dari satu ke lain generasi. Dari sini wayang lebih serius menjadi bagian dari proses pelestarian masyarakat oleh masyarakat itu sendiri. Berbagai cara telah ditempuh oleh masyarakat untuk melestarikan diri, di antaranya melalui cara yang paling umum, yaitu cerita dongeng-dongeng (mitologi). Mitologi bagi masyarakat yang masih primitif dituturkan hanya seperti dongeng biasa. Dari ibu ke anak, dari kakak ke adik, dia menjadi proses ketika semua anggota warga kongkow-kongkow di sekitar api unggun, dan hal itu menjadi bagian dari sistem kepercayaan. Karena dengan sistem seperti itulah, kepercayaan kita tentang Tuhan, tentang segala macam itu terbentuk melalui proses penularan nilai-nilai itu.
Perilaku masyarakat dibentuk melalui cara penularan nilai tersebut. Semakin kompleks dan rumit bentuk penularan nilainya, maka sebuah masyarakat akan semakin dikatakan tinggi cita rasa peradabannya. Wayang ini menjadi bagian dari proses masyarakat yang paling rumit yang terdapat dalam masyarakat yang sudah berperadaban tinggi.
Kita tahu wayang Potei dari Cina, atau pagelaran Sendra Tari di India, semua itu tentu dibutuhkan kemampuan untuk memahami, kemampuan untuk memerankan, kemampuan untuk menganalisa yang sangat tinggi. Dibandingkan dengan tarian masyarakat Indian di sekitar api unggun di benua Amerika dulu, wayang jauh lebih rumit. Wayang mencerminkan kerumitan atau kompleksitas yang sangat tinggi dalam susunan masyarakat di dalam sistem kepercayaan dan perilaku masyarakat. Dengan demikian nilai-nilai yang ditularkan pun sudah sangat kompleks.
Kita lihat misalnya pada wayang, seorang ksatria diharuskan memilih kesetiaannya yang lebih sempit kepada negerinya sendiri kepada wangsa atau dinastinya sendiri, tempat dirinya mengabdi, atau memilih kesetiaan kepada nilai-nilai yang umum. Problem seperti ini yang dihadapi oleh Wibisana (tokoh protagonis, adik kandung Rahwana dalam cerita Ramayana,- red.), bahkan oleh semua tokoh wayang. Pilihan-pilihan itu menunjukkan kerumitan dari struktur masyarakat, orientasi maupun sistem nilainya yang begitu rumit; antara mana yang mau didahulukan dan mana yang dikorbankan.
Dalam masyarakat yang masih primitif, sebenarnya tidak banyak pilihan-pilihan karena bagi kebanyakan orang, yang terpenting adalah bagaimana survive. Dalam hal ini, survival atau kemampuan bertahan hidup sudah terjamin, tinggal bagaimana mengembangkannya.
Dalam kerumitan itulah pilihan-pilihan itu harus terjadi, dan itu tidak gampang. Misalnya nilai kesediaan untuk berkorban habis-habisan; sudah tahu yang dibela salah tapi harus dibela habis-habisan karena dari kalangan sendiri. Kalau perlu dengan mengorbankan nyawa. Walhasil tidak mudah mentransformasikan nilai-nilai itu, karena semua itu pilihan-pilihan yang sulit, yang dilematik bagi kehidupan. Penularan nilai menjadi sangat berarti jika hal ini terjadi.
Jadi dengan pilihan nilai-nilai yang sulit yang harus dilakukan itu, maka wayang menjadi panduan bagi masyarakat penggemarnya. Bagi orang Jawa, tidak peduli yang senang atau yang tidak senang wayang, mereka sudah terikat dengan nilai-nilai yang ada dalam wayang itu. Bisa jadi seseorang tidak bisa menikmati wayang, tapi sebagai orang Jawa dia harus baca, mendengarkan sana-sini. Meskipun belum pernah menonton wayang seumur hidup, yang dia gunakan acuan untuk melakukan nilai-nilai tetap wayang. Misalnya nilai-nilai kesetiaan, keberanian, keikhlasan, keadilan dan seterusnya.
Contoh lain, Bung Karno kalau pidato sering mengutip wayang. Dia katakan kepada publik, kita ini jadi orang harus seperti Gatotkaca, padahal orang-orang di Jakarta tidak bisa membedakan mana yang Gatotkaca, mana yang tokoh lain. Tapi yang tertanam di benak publik, Gatotkaca pemberani. Inilah yang dikatakan wayang sebagai wahana penularan atau pemeliharaan nilai-nilai dari generasi ke generasi.
Penularan dan pemeliharaan nilai ini tidak gampang prosesnya, karena di dalam proses seperti itu harus terjadi perubahan-perubahan yang tidak bisa ditahan atau ditolak. Para dalang dan para penggemar wayang sama-sama harus mampu melakukan pilihan-pilihan; mana yang harus dilestarikan dan mana yang diubah. Justru karena itulah muncul istilah pakem dan carangan. Karena dalam melakukan perubahan-perubahan itu kita harus merubah cerita dari pakemnya semula.
Dari situ ada proses penjagaan kemurnian wayang, dan ada proses untuk menyesuaikan wayang dengan kondisi yang berkembang. Tidak hanya menyangkut wayangnya, tapi juga nilai-nilai yang dibawakannya. Ada nilai-nilai yang harus dilestarikan seperti kesetiaan, keberanian, kejujuran, pengorbanan dan sebagainya, tapi juga ada hal-hal lain yang dititipkan yang berisi perubahan-perubahan. Pertunjukan wayang dalam masanya pernah harus menyampaikan pesan KB (keluarga berencana). Karena kalau tidak, nanti tidak ada yang nanggap. Ini berarti Ki dalang harus membawakan pesan-pesan baru. Zaman dahulu keluarga tidak mementingkan masalah jumlah anak, tapi zaman sekarang dalang-dalang dititipi pesan KB.
Proses untuk mengubah sejumlah nilai dalam masyarakat melalui medium wayang sebenarnya merupakan bagian dari proses modernisasi. Terjadi proses tawar-menawar dan tarik-menarik antara nilai-nilai yang harus dilestarikan dan nilai mana yang harus diubah. Tetapi kalau terlalu banyak yang diubah, terlalu fundamental atau mendasar yang diubahnya, maka hal tersebut akan terasa palsu. Misalnya, kalau seorang dalang melakukan padhetan (cerita panjang yang dipadatkan), lalu tiga perempat jalan ceritanya menjelaskan KB, maka orang akan bertanya: ini padhetan macam apa? Sehingga, ada batas-batas yang tidak bisa dilanggar, yang harus dilestarikan agar supaya tetap terasa wayang.
Titipan sponsor ini yang terkadang seringkali mengganggu, karena tidak semua dalang itu sama, dan tidak semua sponsor itu sama. Ada sponsor yang tidak mempermasalahkan pertunjukan meski hanya disebut sedikit saja. Dalang bisa menyebut sedikit pesan sponsor dalam adegan Ponakawan. Hal yang seperti ini tidak menjadi masalah. Namun ketika adegan Arjuna, tiba-tiba dia ngomong KB akan terasa aneh, karena dia paling anti KB. Atau jika tiba-tiba Arjuna bicara tentang kewiraan, karena permintaan dari TNI, itu yang terasa lucu karena kewiraan zaman ksatria dahulu berbeda dengan kewiraan zaman sekarang.
Karena itu, dalam wayang terjadi penyaringan juga terhadap cara nilai-nilai itu mengalami perubahan. Semakin cara yang dipakai itu vulgar dan serampangan maka kredibilitas dalang akan berkurang. Maka dalang itu menjadi figur yang sangat terkenal dan diterima masyarakat karena kemampuannya untuk memproyeksikan perubahan tetapi tetap setia kepada pakem. Di sinilah kita melihat wayang sebagai proses penularan nilai dari satu ke lain generasi.