Sedang Membaca
Obituari: Iman Budhi Santoso dan Sedikit Kisah
Aguk Irawan MN
Penulis Kolom

santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma'had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).

Obituari: Iman Budhi Santoso dan Sedikit Kisah

Fb Img 1607656189696

MELARANG

-Kepada Iman Budhi Santosa

Ingin segara kutinggalkan puisi
tapi kau melarangku saat angin
dan gerimis menyibak bibit
daundaun jati.

Kairo, 2004
(Buku Antologi Puisi Liku Luka, Ombak, 2005)

“Saya berteman dan menjadi saudara dengan Mas Iman Budhi Santosa (IBS) ini lebih dari lima puluh tahun. Selama itu kami belum pernah disakiti, atau dibuat tidak nyaman dengan almarhum. Persahabatannya tulus. Semua teman-teman disini saya kira menyaksikan sendiri. Prilakunya sangat puitis dan puisi-puisinya itulah prilakunya. Beda dengan saya, yang menulis puisi hanya puisi-puisian.”

Ungkap Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) di depaan pusara IBS, sesaat setelah jasad IBS dikebumikan di pemakaman Seniman GiriSapto, sore, 10 Desember 2020.

“Almarhum orang yang berani memilih hidup sangat sederhana atau miskin. Beda ya memilih miskin dengan kondisi miskin. Padahal sejak tahun 1970an, almarhum punya potensi kaya, sebab almarhum selain tipe pekerja keras, juga menguasai ilmu perkebunan dan perhutanan, tetapi ‘potensi’ kaya itu ia tinggalkan dengan tegar. Almarhum memilih hidup asketis di kontrakan kecil dan menjalani laku puitisnya sampai jiwanya mutmainnah. Almarhum tidak meninggalkan tahta, wanita dan harta
berarti yang bisa diwariskan, kecuali karya-karyanya yang insya Allah menjadi jariyahnya,” demikian kurang lebih tutur Cak Nun selanjutnya.

Apa yang dikatakan Cak Nun itu saya kira tidak berlebihan. Begitu kata “Semua teman-teman di sini saya kira menyaksikan sendiri” Kepala saya lalu menoleh kiri dan kanan.

Di tengah pandemi yang kian mengkhawatirkan ini, teryanta tidak
menghalangi mereka untuk memberi penghormatan terakhir pada IBS, banyak di antara mereka tokoh masyarakat, budayawan senior, para usataz dan kiai, sastrawan kelas nasional sampai anak muda generasi melenial beda generasi memadati prosesi pemakamannya. Ini bisa menjadi bukti bahwa IBS memang banyak dicintai oleh berbagai kalangan, tidak hanya karena karya-karya sastra dan budayanya, tetapi karena ketulusan persahabatannya.

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (3): Kiai As’ad Berdakwah untuk Preman dan Kaum Pinggiran

Kemudian secara pribadi saya memutar kenangan kebersamaan dengan IBS. Banyak kenangan tentu. Tetapi tidak mungkin saya menceritakan banyak hal di sini. Tetapi, begitu, profesi berkebunnya disebut. Memutar peristiwa yang terjadi bulan Agustus tahun 2000. Saat itu, saya yang hanya mahasiswa-gembel, entah begitu saja merasa akrab dengan IBS.

Setelah pertemuan tak sengaja di sekretariat LKiS dan Sanggar Eska. Pertemuan selanjutnya, saya diminta datang di tempat berkebunnya di Jalan Wates, Gamping. Singkat cerita, saat itu saya mengeluh kepada IBS dan merasa putus asa belajar menulis sastra, karena hasil belajar itu tak kunjung dimuat media.

Kemudian di tengah perkebunan yang asrti itu, IBS mengurai filosofi kehidupan dari tanaman. “Kamu jangan terus berkhayal enak menjadi putik, atau bunga yang semerbak, indah dan mewangi, tanpa lebih dulu berpikir bagaimana pedihnya menjadi akar, yang setiap saat susah payah mencari serbuk dan air, dengan berbagai resiko, sehingga tanaman bisa sehat, berputik dan berbunga.” Begitu kira-kira yang bisa saya ingat saat itu, dan “petuah” IBS agar terus mau menjadi akar ini terus menggema di dalam diri saya, terutama disaat kondisi sulit.

Tak lama dari pertemuan itu, alhamdulillah esai-Esai, cerpen dan puisi saya pun sesekali bisa menembus koran, terutama di Kedaulatan Rakyat, Republika, Kompas, Jawa Pos dan Media Indonesia. Seperti biasa, pada pagi buta, orang pertama yang membawa koran itu ke tempat saya “gelandang” waktu itu di LKiS adalah IBS.

Baca juga:  Membaca Kembali Pemakzulan Gus Dur

Hubungan thalabil ilmi kepada IBS ini terus berlanjut, ada momen-momen bagi saya begitu penting emosional, di antaranya kami pernah bersama dengan IBS, dipercaya satu meja menjadi juri lomba menulis puisi dan fiksi mulai tingkat Profensi sampai Nasional. Bersama pada tiga antologi buku proses kreatif sastrawan Yogyakarta yang diterbitkan oleh Balai Bahasa DIY; buku satu dengan katagori sastrawan-esais budaya, dua sastrawan-penyair dan buku tiga, sastrawan-novelis. Selain itu IBS juga pernah meminta kepada saya untuk menerjemahkan beberapa puisinya kedalam bahasa Arab, yang waktu itu untuk keperluan Festival Sastra di Dubai 2005.

Hal lain yang menarik, meskipun IBS punya nama “besar” di kalangan komunitas budaya, ia selalu ringan tangan untuk datang dan berbagi ilmu kepada siapa pun, di gubuk kami Baitul Kilmah ia tergolong sering mengunjungi kami.

Kembali kepada perkataan Cak Nun di pemakaman tersebut, bahwa IBS yang ia kenal tahun puluhan tahun adalah pribadi yang tegar, tidak pernah berkeluh kesah pada hal-hal yang serius, tidak pernah marah diluar kewajaran, tidak pernah membicarakan sedikit pun aib orang, dan belum pernah menyinggung kebaikan atau jasa-jasanya. Ini yang membuat IBS layak disebut santri, kiai dan mungkin ulama. Kenapa?

Sebab sekarang banyak yang alim, tapi tidak ulama, yaitu mereka yang terlalu banyak membicarakan kebaikan dan jasa-jasanya sendiri, sampai-sampai apa saja yang baik diklaim oleh kelompoknya.

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (2): Humor Kiai As’ad dan Syahadat Seorang non Muslim

Di sini IBS memang tampak sesuatu yang berbeda: tauladannya adalah keheningan laku, bukan aksesoris yang mewah, serban dan jubah, juga bukan sebaris dalil yang gaduh dan angkuh. Ia mewarisi darah kesatria Jawa dulu, sebagaimana yang tersirat dalam Serat Wedatama, bahwa kepanditaaan (pengetahuan, kearifan dan kebenaran) itu adalah tindakan dari kepertapaannya, bukan aksesoris luar: ia, mirip konsep Gelassenheit-nya Heidegger. Ia rela menderita, kehilangan, luka, bahkan pedih dan patah hati, karena pasrah kepada Yang Maha Agung, legawa nelangsa srah ing Bathara. Sikap ini memandang Tuhan tak ada dalam aksesoris luar, melainkan dalam ketenteraman yang suci dan tersembunyi.

Jadi IBS adalah manusia “Jawa” yang bisa dibayangkan sebagai sesuatu yang hampir sepenuhnya bertentangan dengan sebuah identitas sosial kekinian. (”anggung anggubel sarengat”). Berikut ini adalah daftar karya-karya sastranya: Tiga Bayangan (puisi antologi; 1970), Ranjang Tiga Bunga (novel; 1975), Bayang Kertapati (novel; 1976), Dunia Semata Wayang (puisi; 1996) Kalimantang (kumpulan cerita pendek; 2003), Matahari-Matahari Kecil (puisi; 2004), Perempuan Panggung (novel; 2007), Ziara Tanah Jawa (puisi; 2013), dan Sesanti Tedhak Siti (geguritan; 2015).

IBS juga menerbitkan buku-buku teks tentang pertanian dan budaya Jawa, juga kumpulan esainya. Beberapa karyanya dikompilasikan dalam antologi. Selamat Jalan Guru! Kami tak bisa membalas apapun, hanya turut serta memikul kerandamu dari mobil Ambulance ke tempat damaimu…

Bantul, ujung pagi, 11 Desember 2020

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top