Sedang Membaca
Kiai Fadhol Senori: Ulama Jawa yang Mengharumkan Dunia Islam (1)
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Kiai Fadhol Senori: Ulama Jawa yang Mengharumkan Dunia Islam (1)

Kiai Fadhol Senori

OJO isin dadi wong Jowo, delok toh Mbah Fadhol Senori. Ora tahu ngaji ning Arab, tapi geneyo koq iso ‘alim ngalahno sing ning Arab. Alime koyok ngono, karangane kitab pirang-pirang.” (Jangan malu menjadi orang Jawa, lihatlah Mbah Fadhol, beliau tidak pernah sekalipun belajar di Arab, tapi kealimannya mengalahkan mereka yang belajar di Arab. Betapa alimnya Beliau, karangan kitab beliau pun sangat banyak).”

Kalimat bernuansa sindiran tersebut, lazim disampaikan Mbah Maimun Zubair manakala kerap memuji sang guru ketika mengampu kajian ilmu dalam tausiyahnya di Pesantren Sarang atau di mana saja.

Indonesia memang tak pernah kekurangan ulama yang memiliki karya luar biasa dan diakui dunia. Setiap dekade, selalu muncul ulama-ulama yang menjadi bintang zaman, meskipun tidak terlalu dikenal semasa hidupnya. Salah satunya adalah Syaikh Abul Fadhol Senori, atau lazim dikenal dengan panggilan Mbah Fadhol.

Nama kiai satu ini memang tak terlalu dikenal saat masih hidup, namun ketika sudah wafat, namanya melambung tinggi. Seiring dengan kitab-kitab karangannya yang dipakai sebagai kurikulum dasar di seluruh pesantren NU se-Indonesia.

Tatkala membaca kitab karyanya, para ulama akan terpukau dengan keindahan sastra, susunan kata, serta gaya bahasa yang mudah dicerna. Seolah-olah karya itu ditulis oleh ulama besar berkebangsaan Arab asli.

Ahmad Abul Fadhol lahir pada 1917 M di Sedan, Rembang, Jawa Tengah, dari pasangan KH. Abdus Syakur bin Muhsin bin Saman bin Mbah Serut dan Nyai Sumiah binti Kiai Ibrahim. Kala itu, Kiai Abdus Syakur adalah ulama yang ternama karena kecerdasannya.

Dilihat dari nasab ayah, Kiai Fadhol bukanlah keturunan orang sembarangan. Kakeknya dari jalur ayah, yang bernama Kiai Muhsin, adalah ulama dari Karangmangu, Sarang, yang merupakan putra dari Mbah Saman bin Yaman—seorang pejuang dari pasukan Pangeran Diponegoro yang gigih melawan VoC. Ada pun neneknya dari jalur ayah yang bernama Mbah Denok, berasal dari keturunan pengusaha Kesultanan Surakarta, Raden Diloyo.

Mbah Denok juga merupakan ulama perempuan yang alim dan zuhud. Ia tipikal perempuan setia dan berbhakti pada suami. Berdasarkan cerita dari beberapa sumber, Mbah Denok sangat menginginkan putra yang soleh. Ketika sedang hamil, ia tidak sengaja menumpahkan sebagian beras yang sedang dicuci. Seketika itu, beras yang tumpah berubah menjadi emas. Kemudian Mbah Denok berkata,

“Ya Allah, saya tidak meminta harta benda, saya hanya minta putra yang alim.”

Ternyata Allah mengabulkan doa tersebut dan menganugerahinya putra-putri yang soleh dan solehah: Kiai Abdus Syakur, Kiai Chair, dan Nyai Sarah—yang kelak diperistri oleh Raden Yusuf Mangkudirjo, Putra Bupati Jepara masa itu.

Pada usia yang masih belia, Kiai Abdus Syakur mengikuti pamannya mencari ilmu ke Haramain selama dua belas tahun lamanya. Di sana, ia berguru kepada berbagai macam ulama terkemuka, di antaranya kepada Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Zaini Dahlan, Syekh Mukri dan juga pengarang kitab I’anah ath-Thalibin, Sayyid Bakri Syatha’. Ia juga bersahabat baik dengan cucu muallif tersebut yang bernama Sayyid Hamzah Syatha’. Selain di Makkah, Kiai Abdus Syakur juga pernah mengenyam pendidikan agama kepada KH. Ahmad Sholeh Langitan, Kiai Sholeh Darat Semarang, dan Syekh Kafrawi Tuban.

Baca juga:  Ulama Banjar (32): KH. Abdul Muthalib bin H. Mardiah

Sekembalinya ke tanah air, ia dinikahkan dengan Nyai Sumiah di Sedan, Rembang, putri Kiai Ibrahim, dan mukim di sana. Keduanya dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama Abul Khair dan Abul Fadhol. Selanjutnya, ia mendirikan lembaga pendidikan pesantren dan mengajar santri-santrinya. Di antara santrinya itu, ada yang bernama Kiai Juned yang akan menjadi besannya kelak.

Kiai Abdus Syakur memiliki strategi pengajaran yang mangkus dan sangat tegas. Yakni kewajiban seluruh santri menulis ulang materi belajar yang sudah disampaikannya. Kiai Abdus Syakur menerapkan metode hafalan serta menulis kitab atau memberi makna pada kitab kepada santri-santrinya. Hal ini berlaku pula bagi Fadhol yang ikut-ikutan ngaji meski masih sangat kecil.

Alhasil para santri Kiai Syakur memiliki penguasaan kitab yang rinci dan mendalam. Pendidikan yang diterapkan Kiai Abdus Syakur kepada putranya juga turut memengaruhi dalam proses belajar. Kiai Abdus Syakur sangat ketat sekali dalam memantau putranya mempelajari Islam, sehingga Kiai Abul Fadhol Senori lebih cepat dalam memahami berbagai disiplin ilmu dan cepat dalam menghafal.

Proses Nyantri

Fadhol kecil memiliki tingkah laku yang njengkeli. Tingkah polahnya begitu liar, usil, kenes, dan menggemaskan. Saban ada tamu ayahnya yang hadir, minuman dan makanan yang disuguhkan pasti sudah dicicipi satu persatu oleh Fadhol. Para tamu pun, kebanyakan tergolong orang soleh, santri, dan kiai, malah senang dan mendoakan Fadhol kelak menjadi ulama besar.

Benar saja, pada usia enam tahun ia sudah mahir membuat syair Arab tanpa belajar. Sambil bermain di pinggir sungai, ia melantunkan syair karangannya sendiri. Tiga tahun berselang, ia sudah hafal Alquran dalam tempo dua bulan saja. Padahal rata-rata orang menghafal Alquran membutuhkan waktu tiga sampai lima tahunan.

Santri Fadhol memang memiliki hafalan yang sangat tajam. Betapa tidak, 15 juz yang awal dihafal dalam tempo satu bulan, setiap satu juz dibaca tiga kali dalam satu kali duduk dan langsung hafal. Lalu 15 juz yang akhir juga ditempuh satu bulan dengan metode setengah juz dibaca tiga kali dan langsung hafal.

Sepertinya ia juga punya kemampuan poliglot yang tak terlalu ditekuni. Sewaktu kecil ia seringkali bermain di depan pemukiman Belanda. Dari situ pula ia belajar bahasa Belanda secara otodidak dan mahir berbicara bahasa asing itu, dengan para penuturnya.

Baca juga:  Ulama Banjar (186): Prof. Dr. H. Syaifuddin Sabda, M.Ag

Fadhol mulai mendaras kitab kuning sejak kecil. Ia bahkan diwajibkan oleh ayahnya menghafal beberapa kitab, seperti Aqidatul al-Awwam, Nadzam Ibnu ‘Imad, Tarsyikh, Maqshud, al-Imrithi, al-Fiyah Ibn Malik, al-Jurumiyah, Jauharul al-Maknun, Uqudu al-Juman dan Nadzam Jam’u al-Jawami’.

Alhasil ketika berusia 11 tahun, Fadhol sudah mampu mengajar sekaligus menulis kitab. Ketika khatam Uqudul Juman, gaya dan tata bahasa karangannya menjadi sarat warna dan bernilai sastra tinggi. Pada usia itu pula, setelah ayahnya selesai membaca kitab di hadapan para santri, Fadhol ikut-ikutan membaca kitab yang sama sambil menerangkan isinya. Ajaib, keterangan yang disampaikan Fadhol kala itu persis seperti keterangan yang disampaikan ayahnya.

Suatu kali Kiai Syakur menjelaskan makna suatu syair Arab yang sulit kepada para tamunya, namun mereka nampak kesusahan menangkap penjelasan tersebut. Seketika itulah Fadhol turut memberi penjelasan yang runtut dan jelas, sehingga akhirnya mereka pun mafhum. Itulah bukti ketajaman ingatan dan kecerdasan Fadhol yang di atas rata-rata dan diakui oleh khalayak.

Semangat Kiai Abul Fadhol dalam belajar sungguh luarbiasa. Setelah ayahandanya wafat, ia meneruskan rihlah ilmiah ke Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh Hadratussyekh Hasyim Asy’ari.

Sebelum berangkat ke Tebuireng, Mbah Fadhol menjual semua peninggalan ayahnya; rumah, dua hektare tanah, sawah, kebun, maupun peninggalan yang lain. Setiba di Jombang, hasil dari penjualan semua harta peninggalan ayahnya itu, diberikan semua kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Tersisa sedikit hanya untuk bekal makan selama tiga tahun, kopi dua cangkir, dan pisang goreng dua biji.

Mungkin karena keberkahan pengabdian itulah, hanya dalam kurun setahun, Kiai Hasyim Asy’ari sudah menganggap Kiai Abul Fadhol mampu menguasai ilmunya dengan baik. Sah jadi santri kinasih. Maka diberikanlah 41 ijazah sanad periwayatan kitab Hadits seperti Shahih Bukhari – Muslim yang diriwayatkan Kiai Hasyim Asy’ari dari Syekh Mahfudz at-Termasi.

Tertulis dalam ijazahnya, beliau menyelesaikan risalah sanad tersebut dari KH. M. Hasyim Asy’ari pada Senin akhir Shafar, 1361 H. Terdapat juga keterangan bahwa risalah tersebut disahkan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari—dengan sanad tersambung kepada Syaikh Mahfudz Termas, dari Syaikh Abi Bakar Syatha, dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, dari Syaikh Usman ibn Hasan al-Dimyathi.

Catatan 41 ijazah tersebut terdapat pada manuskirp yang masih disimpan rapi oleh putranya—KH. Abdul Mafakhir, termasuk banyak ijazah lain di luar studi Hadits.

Wajar bila ia beroleh sanjungan hangat dari kakaknya sendiri, “Saya (Kiai Abul Khair) dan Abul Fadhol hanya belajar kepada ayah kami. Akan tetapi, dalam masalah ini, Abul Fadhol kecerdasannya mengungguli saya. Sebab cepatnya menghafal dan menguasai berbagai disiplin keilmuan seperti sharaf, nahwu, balaghah, manthiq, muqawwalat, ilmu tafsir, ilmu hadis nabawi, arudh, dan khafiyah.”

Baca juga:  Titik Temu Pemikiran Ekonomi Adam Smith dengan Ibnu Khaldun

Sepulang dari mondok di Tebuireng, Abul Fadhol hanya memiliki sepeda onthel dan dua pasang pakaian, itu pun sudah sobek dan sarat tambalan. Padahal Beliau adalah orang yang sangat alim, hafal Al-Qur’an, dan banyak karangan Kitab.

Suatu ketika, K.H. Hasyim Asy’ari mengirimkan surat untuknya, agar menghadap ke Tebuireng, dan seketika itu pun ia berangkat dengan menggunakan onthelnya tanpa membawa bekal sedikit pun. Begitu takdzimnya Beliau terhadap gurunya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.

Selepas nyantri di Tebuireng, Kiai Fadhol dinikahkan dengan perempuan asal Senori bernama Syari’ati binti Kiai Joned dan tinggal di sana dengan mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberi nama Darul Ulum pada medio 1960-an. Dahulu, Senori adalah daerah Abangan. Kemudian datanglah Kiai Kusno dari Kendal bersama putranya Kiai Juned yang membabat alas daerah tersebut dan kemudian diteruskan oleh menantunya, Kiai Fadhol.

Selama masa-masa pertama Darul Ulum diasuh Mbah Fadhol, kebanyakan murid yang belajar di sana adalah santri kalong. Mereka hanya mengaji kepadanya, tanpa menginap di asrama. Barulah pada era 1990-an, Darul Ulum menerapkan peraturan yang lebih ketat. Ada lebih banyak pula kegiatan yang diselenggarakan. KH Maimun Zubair bahkan sudah menjadi santrinya sejak Darul Ulum belum berdiri. Tokoh Pondok Pesantren al-Anwar Sarang itu rutin mengikuti pengajian di rumah Mbah Fadhol. Metode yang dilaluinya ialah sistem sorogan, baik sebelum maupun sesudah pesantren di Senori berdiri.

Sebagai seorang pengasuh pesantren, Mbah Fadhol juga memberikan dampak yang sangat baik di tengah masyarakat. Siapa pun yang ingin mengaji di Darul Ulum, tidak akan dipungut biaya. Dengan begitu, pihak orang tua dari para santri tidak akan terbebani perekonomiannya. Ia pun kerap mengadakan pengajian untuk masyarakat umum, khususnya setiap malam Selasa. Beberapa materi yang diajarkannya bersumber dari kitab Ihya Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali.

Tidak hanya mengabdi lewat pesantren, Mbah Fadhol juga menjalani aktivas dakwahnya bersama Nahdlatul Ulama (NU). Selama di NU, Beliau pernah mengemban amanah sebagai rais syuriah NU Cabang Tuban. Tidak hanya itu, saat usianya sudah sepuh, posisi mustasyar NU pernah diembannya. Masa tugas itu berlangsung hingga sang alim meninggal dunia.

Bersama Nyai Syari’ati, Kiai Fadhol dianugerahi tujuh orang anak: Abdul Jalil, Muayyad, Shofiyuddin, Nashirul Mahasin, Khoridatul Anisah, Abdul Mafakhir, Lum’atud Duror.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top