La tarhal min kaunin ila kaunin, fa-takuna ka-himar al-raha yasiru, wa-l-ladzi irtahala ilaihi huwa-l-ladzi irtahala ‘anhu, wa-lakin irhal min al-akwani ila al-mukawwini, wa-anna ila rabbika al-muntaha.
Janganlah engkau pergi untuk meninggalkan sesuatu di dunia ini (kawn) untuk menggapai sesuatu yang lain, sehingga engkau akan mirip keledai penggiling gandum yang berputar-putar. Sesuatu yang engkau tuju sejatinya adalah sesuatu yang engkau tinggalkan juga pada saat yang sama. Melainkan, tinggalkan segala sesuatu untuk menggapai Tuhan yang mengadakan segala sesuatu itu. Sebab, segalanya akan kembali kepada Tuhanmu.
Wa-ndzur ila qaulihi shalla-l-Lahu ‘alaihi wa sallam: fa-man kanat hijratuhu ila-l-Lahi wa rasulihi fahijratuhu ila-l-Lahi wa rasulih. Wa man kanat hijratuhu ila dunya yushibuha aw imra’atin yatazawwajuha, fa-hijratuhu ila ma hajara ilaihi. Fa-fham qawlahu ‘alaihi al-shalatu wa al-salam: fa-hijratuhu ila ma hajara ilaihi, wa-ta’ammal hadza al-amra in-kunta dza fahmin
Simaklah apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad (saw): Barangsiapa berhijrah untuk Tuhan dan rasul-Nya, maka hijrahnya akan mencapai Tuhan dan rasul-Nya pula.
Sebaliknya, sesiapa yang berhijrah untuk tujuan duniawi atau untuk mempersunting seorang perempuan, maka hirahnya akan mencapai sebatas apa yang ia tuju itu. Camkan sabda Nabi (as) itu: Hijrahnya akan mencapai sebatas apa yang ia tuju itu. Pikirkanlah hal ini, jika engkau benar-benar memiliki kemampuan memahami.
Pengertian Umum
Dalam kehidupan seorang beriman, konsep hijrah memiliki pengertian yang penting. Seorang yang beriman pada dasarnya telah melakukan suatu “hijrah spiritual”. Hijrah ialah pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Hijrah adalah meninggalkan sesuatu yang lama menuju kepada sesuatu yang baru. Seorang yang beriman melakukan hijrah, sebab ia masuk kepada suatu kehidupan baru, kehidupan yang berpusat pada Tuhan, meninggalkan kehidupan lama yang berpusat pada materi, pada hal-hal yang kasat mata.
Pada bagian ini, Syekh Ibnu Ataillah mengajarkan kepada kita pengertian hijrah yang lain. Hijrah yang sesugguhnya bagi seorang beriman bukanlah pindah dari obyek dunia yang satu menuju obyek yang lain. Sebab, jika kita yang kita lakukan, kita hanya melakukan hijrah palsu.
Sebab, berapapun banyaknya jumlah hijrah yang kita lakukan, selama kita masih berputar-putar pada obyek-obyek yang duniawi, kita hanya berpusing-pusing di sana. Kita hanya seperti keledai penggiling gandum yan berputar-putar mengitari alat penggiling. Ia kelihatan bergerak, tetapi hanya di tempat. Tidak bergeser ke mana-mana.
Jika kita benar-benar ingin melakukan hijrah yang sungguhan, maka hijrahlah, tinggalkanlah dunia, untuk kemudian berpaling dan memusatkan diri pada Tuhan saja. Hanya dengan demikian kita bisa keluar dari lingkaran setan. Selama kita terjebak dalam kehiduapn material saja, kita akan berpusing-pusing di sana, terpenjara oleh pusarannya, dan akhirnya kita akan menemui jalan buntu.
Seseorang yang menjadikan kehidupan material sebagai satu-satunya tujuan dalam hidupnya, ia berlaku seperti sebuah keledai yang berputar-putar mengelilingi poros penggiling.
Dia terjebak dalam sebuah lingkaran setan yang tak ada ujung pangkalnya. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah kelaur dari lingkaran itu dan mencari orientasi yang lebih besar, lebih luas, lebih hakiki, yaitu orientasi yang berpusat pada Tuhan.
Jika kita membatasi wawasan hidup kita pada objek-objek material sahaja, seraya mengabaikan kehidupan rohaniah, kita sudah pasti akan menemui jalan buntu. Untuk sementara mungkin hal-hal yang bersifa duniawi bisa memberikan kepuasan sesaat kepada kita. Tetapi dalam jangka panjang, kita akan mengalami disorientasi, kehilangan arah, kebingungan, dan akhirnya kita akan mengalami kesensaraan rohani.
Sebuah peradaban yang hanya terserap dalam tujuan-tujuan materialistis, dan mengabaikan aspek-aspek rohaniah, sudah tentu akan menjumpai jalan buntu. Peradaban material tentu saja penting, tetapi ia hanya diperlukan hingga tingkat tertentu saja.
Pada akhirnya, sebuah peradaban memerlukan wawasan yang melampaui hal-hal yang non-material. Ia memerlukan wawasan rohani.
Pengertian Khusus
Kata Syekh Ibnu Ajibah: Seseorang yang hijrah dari objek duniawi yang satu menuju ke objek yang lain, dia pada dasarnya hanyalah melakukan hijrah dari as-siwa, sesuatu yang selain Tuhan, menuju kepada as-siwa atau sesuatu selain Tuhan yang lain. Dia tak benar-benar melakukan hijrah.
Hijrah yang sesungguhnya ia al-hijratu ila-l-Lah, hijrah menuju Tuhan.
Apa yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Ataillah ini jangan kita bayangkan sebagai sebuah ajaran yang “elitis” yang hanya relevan untuk para orang-orang yang ingin menjalani kehidupan sufi saja. Jika Anda memiliki persepsi semacam ini, Anda jelas salah. Ajaran ini bukanlah semata-mata ajaran sufisme, tetapi ajaran yang relavan dalam kehidupan sehari-hari kita.
Ajaran tentang “hijrah menuju Tuhan” bukan sesuatu yang sulit dijangkau dalam praktek sehari-hari. Ini ajaran yang sebenarnya sangat praktis. Inti kebijaksanaan Syekh Ibnu Ataillah ini sebetulnya hendak mengajari kita satu hal sederhana dalam hidup: apapun yang kita lakukan dalam hidup ini, apapun profesi yang kita kerjakan untuk mendukung kehidupan duniawi kita, tak seharusnya kita membiarkan diri terserap pada apa yang kita kerjakan itu, seolah-oleh hidup kita hanya untuk mengejar tujuan-tujuan yang semata-mata material dan bendawi.
Bila kita melakukan itu, kita bukan berhijrah kepada Tuhan, tetapi berhijrah kepada objek-objek duniawi. Dengan membiarkan diri kita terserap sepenuhnya dalam hal-hal yang sifatnya duniawi, wawasan kehidupan kita akan menjadi sempit. Pada satu titik kita pasti akan mengalami jalan buntu. Tanda-tanda kebuntuan itu terlihat saat kita mengalami kegundahan rohani, ketidaknyamanan batin, merasa ada sesuatu yang kurang meskipun kelimpahan material telah kita capai.
Pelajaran yang bisa kita petik dari sini: Manusia tidak hidup hanya dengan sepotong roti saja, melainkan dari firman kebenaran. Manusia tidak hanya hidup dengan dunia saja, melainkan hanya dengan akhiratlah kehidupan dia menjadi abadi dan sejati. Dan hanya kehidupan yang abadi yang mendatangkan kebahagiaan pada manusia.
Sebab manusia diciptakan dalam citra Tuhan. Dalam diri manusia ada unsur ketuhanan yang merindukan keabadian. Dunia tak menjanjikan keabadian, seberapa besar pun kenikmatan yang kita peroleh dari sana.
Kepuasan duniawi ada batas yang tak bisa terlampaui. Pada saat batas itu sudah tercapai, kita butuh sesuatu yang lain di luar yang bendawi, yang duniawi. Kita butuh yang ukhrawi, yang abadi.