Pagi ini saya mendapat berita duka yang mengejutkan: Gus Iim, adik bungsu Gus Dur, menyusul kakaknya. Berita itu tetap mengejutkan, walau saya tahu Gus Iim sudah sakit parah. Saya malah berniat ingin menjenguk, namun pandemi Corona membuatnya tak mungkin.
Dulu saya beberapa kali bertemu dengannya, entah saat mengantar sang bidadari Amanda Damayanthi, atau saat berkunjung ke kediaman Gus Dur. Amanda memang teman dekat keduanya. Saya sendiri tidak terlalu dekat, walau sempat diberi laptop. Katanya, “Mosok MADIA nggak bisa beli laptop? Nih, pakai ini!” sembari menyerahkan laptop yang dinjinjingnya. Laptop itu lalu menjadi “properti” MADIA, organisasi di mana saya dan banyak sahabat bernaung.
Namun kami tak pernah dekat. Berbeda dengan Gus Dur, Gus Iim selalu berlaku dan bertindak penuh “misteri”. Setiap kali berdiskusi dengannya, saya kelabakan memahami arah percakapan. Ia bisa melontarkan pikiran mulai dari “dunia langitan” sampai gerakan bawah tanah, maupun informasi “A-1”. Semuanya dirangkai secara logis olehnya. Karena itu, saya sering curiga pada infornya. Tapi ternyata dia yang benar!
Misalnya malam itu, saat kami berdiskusi di rumah Amanda sembari minum wine. Jakarta sudah “merah”, dipenuhi lautan manusia yang membawa bendera PDI-P. Malam itu akan ada penetapan siapa yang menjadi Presiden, setelah pemilu paling jurdil berlangsung pasca-Orde Baru. Hasil pemilu menunjukkan PDI-P meraup suara terbanyak. Jadi jelas, untuk saya, Mega akan menjadi Presiden.
Tapi Gus Iim malah tertawa dan mengejek logika politik saya. Katanya, saya mirip para peneliti yang bicara hanya berdasarkan hasil survei, tapi tidak memahami kultur dan mekanisme kontestasi politik riil. Walau dia pengurus PDI-P, namun malam itu dia yakin Mega tak akan jadi Presiden.
“Lalu siapa, dong?” tanya saya penasaran.
“Suheng, kakak gue,” jawabnya sembari tersenyum. Dia selalu, pada kami, menyebut Gus Dur sebagai “suheng”. Saya membelalak tak percaya. Dan kami taruhan, siapa yang menang boleh menghabiskan sisa wine.
Tentu dia yang menang. Lewat kasak-kusuk “poros tengah” Amin Rais, Gus Dur diangkat jadi Presiden, sedang Mega menjadi wakilnya.
Nantinya, Gus Dur juga dilengserkan, diganti Mega. Namun saat pelengseran itu terjadi, Gus Iim tak banyak bicara. Dia hanya bilang, beban yang dipikul kakaknya terlalu berat. Persekongkolan jahat itu terlalu kuat menekannya.
“Indonesia tidak berubah hanya karena ada satu orang Presiden yang baik,” katanya. Nasihat itu selalu saya ingat sampai sekarang.
Selamat jalan ke dalam keabadian misteri, Gus. Mohon maaf, karena pandemi ini membuat saya tidak bisa mengantar perjalanan terakhir sampeyan. Tapi sekarang tidak ada lagi beban sampeyan, mulai dari penyakit sampai politik di negara ini. Beristirahatlah dalam damai. Titip salam kangen untuk Gus Dur.