Ratusan orang berkumpul di areal lahan pertanian tanaman Jali di Desa Losari, Grabag, Kabupaten Magelang. Di siang yang terik itu, mereka menggelar tradisi Wiwitan Jali. Sengatan matahari yang panas tidak mengurangi semangat warga ikuti acara Wiwitan panen Jali.
Tradisi wiwitan biasanya digelar sebelum masa panen tiba. Atau dengan kata lain, saat Wiwitan Jali digelar, artinya panen raya segera dimulai. Jemaah atau peserta ritual tradisi ini tidak hanya datang masyarakat Magelang, dari Temanggung bahkan ada yang dari Kabupaten Semarang. Di tengah arus modernisasi yang merangsek hingga ke pelosok kampung melalui ponsel, tradisi ini masih terlihat hidup dan sakral. Mereka, para petani melakoninya dengan penuh hikmat, guyub, dan gembira.
Ritual diawali dengan memetik Jali oleh para tokoh agama. Lantas mereka berjalan ke area persawahan. Suara tetabuhan tradisional mengiringi langkah mereka. Rasa optimisme menyeruak dari pemandangan jalan kaki yang semarak dengan iringan musik tradisional.
Prosesi selanjutnya, Jali yang dipetik tersebut kemudian diterima para tokoh masyarakat setempat dan disucikan dengan air kelapa muda. Tidak lama setelah prosesi menyucian, semua yang hadir hanyut dalam doa bersama yang dipimpin tokoh agama Islam, Budha, dan tokoh beragama Katholik. Tokoh agama berdoa disesuaikan yang hadir. Guyub, rukun, damai, dan menyenangkan hadir di tengah-tengah mereka.
Kini, acara yang lebih menyenangkan segera tiba, yakni makan bersama jenang Jali dengan pincuk (tempat jenang yang terbuat dari daun pisang. Lembaran daun pisang dibentuk sedemikian rupa hingga terbentuk seperti mangkuk). Makan bersama adalah kegiatan khas ritual apa pun di Nusantara. Kebersamaan makin terasa, semua orang menyatu dalam makanan yang sama, masyarakat biasa, petani, tokoh agama, aparat desa, laki-laki, perempuan, berjilbab, tidak berjilbab, bersarung, bercelana, anak-anak, orang tua.
Inilah tradisi yang sempurna, yang ada di kampung, yang beraneka ragam, baik agama, ataupun sosial ekonominynya. Mereka bukan hanya petani, tapi juga pedagang. Ungkapan rasa syukur yang dianugerahi Tuhan jelas. Tapi lebih dari itu, ritual ini dilakoni sebagai “sistem sosial” masyarakat untuk “berjumpa” sesama warga masyarakat, sesama penduduk.
Oh iya, saking asyiknya bercewrita ritual di atas, sampai saya lupa mengenalkan apa itu Jali.
Jali adalah sejenis tumbuhan biji- bijian dari suku padi-padian (Coix Lacryma Jobi tergolong dalam famili Poacae) dan sejenis tanaman pangan jagung yang kini dijadikan sebagai bahan makanan pengganti nasi.
Jali dalam sebuah penelitian ilmiah bisa dijadikan bahan pangan lokal non beras dan non terigu. Jali dikenal sebagai pengganti nasi yang dibuat sebagai jenang Jali.
Proses membuat jenang Jali cukup mudah. Biji Jali ditumbuk terus sampai halus hingga menjadi tepung kemudian tepung Jali direndam semalam. Pagi harinya tepung yang direndam semalam tersebut dimasak hingga menjadi jenang Jali.
Budidaya Jali memang belum sepopuler seperti tanaman pertanian lainnya, namun di desa ini Jali mulai dikembangkan dengan memanfaatkan lahan kosong. Lahan kosong inilah yang kemudian dijadikan sebagai lahan pertanian Jali. Lahan pertanian yang dijadikan sebagai lahan pertanian Jali tidak luas hanya 2000 meter persegi milik R.Suwigyo ini menghabiskan bibit 1,5 kilogram bibit Jali.
Jali yang ditanam dilahan pertanian milik R.Suwigyo tersebut baru bisa dipanen setelah 6-7 bulan kemudian dengan proses pengolahan sama dengan padi menggunakan Selepan.
Tanaman Jali mulai dibudidayakan awalnya dari daerah Rejosari, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, namun komunitas petani yang berasal dari Losari banyak yang ikut budidaya tanaman Jali hingga akhirnya Losari kini menjadi central tanaman Jali di Magelang.