Pada masa lalu, orang-orang membaca buku tentang shalat susunan A Hassan dan M Natsir. Dua buku memiliki corak berbeda dalam mengajak orang-orang memaknai shalat. Natsir mengaku menggarap buku agar kaum muda-terpelajar mau shalat. Mereka terlenan dengan modernitas, terpuka dan fasih bahasa Belanda, dan merasa tata kehidupan di dunia tak perlu serius dalam agama. Buku-buku mengenai shalat terus terbit. Para pembaca pun menginginkan tafsir-tafsir mendalam, selain mengikuti penjelasan tentang “keajaiban”, “misteri”, atau “khasiat” shalat dalam bahasa-bahasa mengejutkan oleh para penulis ingin buku-buku laris bercap best seller.
Buku baru bermutu disusun Haidar Bagir berjudul Buat Apa Shalat? Dulu, Haidar Bagir biasa menulis buku berlumuran filsafat dan tasawuf. Pada masa wabah, ia mempersembahkan buku tentang shalat. Masa demi masa, pembahasan shalat tak rampung-rampung. Para ulama tak bosan-bosan menulis buku dan menjelaskan dalam khotbah-khotbah. Kita pun diajari shalat bila rajin ke masjid saat masih bocah atau mengikuti pelajaran agama di sekolah. Shalat itu kewajiban tapi kita masih saja merasa belum “wajib” mengisahkan shalat, sebelum sampai ke pengalaman dan pemaknaan mengesankan.
Setahunan, kita menanggungkan wabah berakibat ada perubahan dalam cara shalat berjemaah di masjid. Perubahan paling tampak adalah saf. Orang-orang mulai memberi jarak dalam saf menuruti petunjuk-petunjuk pemerintah. Sekian orang merasa ada “keanehan” tapi maklum ada situasi darurat terlalu sulit dijelaskan. Keinginan mengunjungi masjid tak mudah seperti masa lalu. Ada ketentuan-ketentuan demi kesehatan dan keselamatan bersama. Pada suatu kasus, orang-orang kadang tak diperkenankan ke masjid dulu bila ketahuan ada penularan. Shalat di masjid mungkin dirindukan dibarengi percakapan-percakapan bersama teman dan tetangga.
Pada 1995, Iman Budhi Santosa menggubah puisi tak biasa. Pembaca sering menikmati puisi-puisi gubahan Iman Budhi Santosa bertaut alam dan “biografi” para tokoh dengan segala profesi sederhana. Dulu, ia bersama Emha Ainun Nadjib dan teman-teman sianu berpuisi kepada Umbu Landu Paranggi. Emha Ainun Nadjib tekun menggubah puisi religius dan rimbun protes. Tahun-tahun berlalu, Iman Budhi Santosa turut menggubah puisi religius. Kita memilih puisi berjudul “Dalam Saf”, puisi mengingatkan kenikmatan shalat dan pemaknaan.
Kita membaca: Masuklah dengan cinta, serupa biji/ mengisi buah, air merapatkan celah/ Tak ada tinggi rendah/ segaris di depan Allah/ tinggal imam, suara hati kalian/ melakat satu tak terbelah. Kita mengandaikan bait itu mendapat penjelasan panjang saat kita bersama Iman Budhi Santosa shalat di masjid. Percakapan setelah shalat dalam ketenangan dan kebersamaan. Kita tak perlu mendengar teriak, menghindari tuduhan-tuduhan mempertentangakan sekian mazhab. Orang pernah bertemu dan bercakap bisa mengerti cara bertutur dan pengaruh pilihan diksi Iman Budhi Santosa. Ia bukan penceramah tapi bercakap bersama kita: bukan bersaing paling mengerti.
Puisi bisa dikutip bagi orang-orang saat berkhotbah di pengajian. Puisi boleh juga diingat saat merindukan kebersamaan di masjid atau mengenang Iman Budhi Santosa sudah pamit duluan dari kita dan dunia. Puisi wajib terpilih bila ada orang menggarap bunga rampai puisi keislaman. Puisi penting dikutip dalam esai-esai keagamaan agar terbaca puitis, tak kaku dalam penjelasan. Iman Budhi Santosa melanjutkan: Sebelum berdiri meninggalkan kanan kiri/ semua berbagi salam, menyambung ikatan/ janji sekerabat (selesai shalat)/ memagari masjid/ dengan iman/ dan hayat. Puisi dengan kelembutan bagi pembaca mengalami shalat dalam pengertian bersama sesama di saf. Kita bisa mencari lagi dan mengumpulkan puluhan atau ratusan puisi bertema shalat gubahan para pujangga di Indonesia, berharap ada kemengertian bersahaja. Begitu.