“Ayok!” kata seorang taman saat mengajak beranjak dari Malioboro ke Shopping Center di Jogjakarta. Ada huruf K dalam nada ajakannya. Tidak hanya ‘ayo’, yang tanpa huruf K di akhir kata. Dalam bahasa percakapan, nada penambahan huruf K sangat lazim. Tanpa huruf K, ajakan itu terasa kurang mantap diucapkan di lidah. Kurang tegas. Masalahnya, seperti dikatakan oleh para penulis kamus, perbedaan makna antara ayok dan ayo sungguh sangat besar sekali.
Dalam bahasa Melayu, asal bahasa Indonesia, hampir pasti tidak ada lema ayo. Yang ada adalah lema ayok. Dalam kamus yang mulai ditulis sekitar awal 1872 M, Pengetahuan Bahasa Kamus Logat Melayu Johor, Pahang, Riau dan Lingga, Bapak Kamus Melayu-Melayu (!) Raja Ali Haji tidak mencantumkan lema ayo. Sebaliknya, ulama leksikograf ini sangat bersemangat menulis lema ayok, berikut kata turunan ayok seperti “berayok”, “mengayok”, “diayok”, “ayoklah”, “terayok”, dan “berayok-ayokkan”. Kita pantas mengutip sedikit berpanjang lema ayok dari kamus Raja Ali Haji (1987: 53-54):
“Ayok” adalah ia perkataan kalimah yang mencarut. Jika tiada karena hendak dijadi bahasa kuranglah patutnya disebutkan tarikh yakni dengan nyata. Dan patut disebutkan dengan kinayah yakni dengan nama sindiran yang bermakna dengan ia jua, seperti setubuh atau tidur atau berbaik dan lainnya sekira-kira boleh mengetahui orang itu akan makna ayok itu.
Syahdan adapun arti ayok itu fiil seseorang laki-laki memasukkan zakarnya kepada faraj perempuan karena berkehendakkan sedap. Sebab syahwat basyariah adalah perempuan berbaring terlentang dan laki-laki itu duduk bertinggung dan paha perempuan itu ternaik kepada paha laki-laki. Maka apabila masuk zakar laki-laki itu maka menggerakkanlah ia akan punggungnya supaya keluar masuk zakarnya didalam faraj perempuan itu.
Maka perempuan itupun merasa juga nikmat yakni sedap. Dan terkadang pula perempuan menggerakkan punggungnya karena hendak memberi nikmat pada laki-laki pula. Maka digerakkannya punggungnya itu kekiri kekanan. Atau karena ia hendak mengenakan dengan kuat-kuat tepi farajnya itu digesel oleh zakar itu, demikianlah halnya.
Dan terkadang ada pula yang baring menyerinding dan ada pula yang mendatangi dari pihak belakangnya. Dan terkadang ada pula laki-laki itu berdiri dan perempuan itu baring pada satu tempat. Dan masing-masinglah halnya mana-mana kesukaan antara keduanya.
Adapun hingganya yaitu apabila laki-laki itu sudah anzal maninya, maka berhentilah ia. Atau dinantikannya perempuan itu anzal, maka yaitu yang terlebih baik. Dan berpanjanglah bicaranya pada adab ul jimak di dalam kitab-kitab Arab dan Melayu.
Berayok, seperti kata seseorang kepada seseorang pada hal berbisik-bisik: Apa kenanya ranjang ini bergerak-gerak? Maka dijawab seorang dengan perlahan-lahan pula katanya: Encik Jantan kita tengah berayok dengan Encik Betina di atas ranjang itu. Diam-diam sahajalah kita pura-pura membuat tidur, adanya.
Dalam sejarah perkamusan Melayu-Melayu atau Indonesia-Indonesia, tidak seorang leksikograf pun yang bisa seterus terang dan sepanjang Raja Ali Haji dalam menjabarkan ayok yang mencarut nan cabul. Para leksikograf bahasa Indonesia (juga Malaysia) setelah Raja Ali Haji sungguh sangat minimalis dan tampak moralis antikecabulan.
Jika kita berpatokan pada kamus Raja Ali Haji, jelas bahwa ayok adalah lema khusus bahasa Melayu. Ayo bukan, tapi dari bahasa Jawa. Dalam Baoe-sastra Melajoe-Djawa yang diterbitkan Commissie voor de Volkslectuur (Betawi, 1915) dan banyak dipengaruhi leksikograf Belanda khususnya dari karya H. Von de Wall (1807-1873), H.C. Klinkert (1829-1913), juga J. L. Van der Toorn, leksikograf R. Sasrasoeganda sudah sewajarnya tidak memasukkan lema ajoe (ayo) dalam ejaan Ophuijsen atau ayo dalam ejaan mutakhir—sangat mungkin dia tak membaca kamus Raja Ali Haji. Tentu saja R. Sasrasoeganda mencantumkan lema ajoek (ayok), yang penjabarannya sangat pendek: “Ajoek = antjoek”. Penjelasan lema antjoek: “antjoek (kasar), ketj. [katjoendoekna karo] ampoet lan ajoek”. Sedangkan penjelasan ampoet hanya satu frasa dalam kurung: “(temboeng kasar)”, ucapan cabul.
Leksikograf W.J.S. Poerwadarminta, yang juga dari Jawa, tentu tidak mencantumkan lema ayok (ajoek) dalam Baoesastra Djawa yang terbit tahun 1939. Ayok bukan bagian dari lema bahasa Jawa, yang sejak awal abad ke-20 mempunyai pengguna bahasa Melayu paling banyak di Indonesia sampai saat ini. Tentu Poerwadarminta (1939: 5) mencantumkan lema ayo (ajo) dalam Baoesastra Djawa dengan penjelasan: “mangga k. Soemangga kl: tetemboengan mratélakaké ngadjak”, ucapan yang menyatakan ajakan.
Sejak Indonesia merdeka, setidaknya Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1952) karya Sutan Mohammad Zain dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) karya W.J.S. Poerwadarminta, sudah mencantumkan lema ayok dan ayo. Makna ayo sudah berkembang jadi “menjuruh, memerintah, mengadjak” sebagaimana sampai sekarang masih bertahan.
Namun, tampaknya sejak itu, nasib lema ayok sudah almarhum, hanya tertulis sekali dengan panjang dalam kamus Raja Ali Haji. Sebagai kata mencarut dari daerah Melayu (Riau), lema ayok menepi dalam kamus-kamus para leksikograf bahasa Indonesia yang moralis antikecabulan. Bahkan, dalam bahasa pergaulan keseharian, makna ayok bukan saja sudah tidak dipahami tapi bahkan sudah tergantikan oleh lema ayo(k). Jadilah makna ayok dan ayo adalah satu dan sama.