Sedang Membaca
Selawat Habib Syekh Dihadiri NU, Muhammadiyah, hingga Katolik
Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Selawat Habib Syekh Dihadiri NU, Muhammadiyah, hingga Katolik

  • Ribuan warga dari berbagai elemen yang menghadiri selawat Habib Syech tidak datang dari kalangan umat muslim saja, seperti dari ormas Islam ada NU, Muhammadiyah, hingga Syiah, tapi juga Kristen, Katolik, dan Hindu.

Jumat sore (17/5/2019), saya memandu acara bincang-bincang santai jelang buka puasa tentang Habib Syekh. Tamu spesial kami, James Edmonds. Ia kandidadat doktor di Arizona State University, Amerika.

Pemburu Barokah: Majelis Habib Syekh da Perubahan Lanskap Islam Indonesia, begitu tema acara yang diselenggarakan atas kerjasama Lakpedam PWNU DIY, AIFIS (American Institute of Indonesian Studies), dan ISAIS UIN Sunan Kalijaga ini. Acara digelar di Yogyakarta.  

James Edmonds, melibatkan diri secara partisipatoris selama tiga tahun; bertemu langsung dengan Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf, wawancara, dan mengikuti acara-acara “panggung” ke hampir semua daerah, dalam dan luar negeri, sebanyak 100 kali lebih.

Jumlah ini menurut James Edmonds, tidak seberapa, jika melihat pengalaman Habib Syekh pertama kali dalam berdakwah lewat selawat yang dihadiri oleh masyarakat luas sejak 1999, dan sampai sekarang telah mencapai 3.600 kali.

Karena waktu yang terbatas, James Edmonds memang kurang detail menyampaikan hasil risetnya itu, tetapi ada beberapa poin yang penting digarisbawahi. James Edmonds mengungkap bahwa popularitas Habib Syekh bukan semata-mata ia keturunan “Arab”, meski memiliki silsilah dari Rasulullah, tetapi sangat kompleks, dan di antaranya, karena kemauannya melakukan semacam akulturasi budaya Arab dengan tradisi Jawa, seperti yang tampak fasih berbicara bahasa Jawa, baik keseharian maupun lantunan selawat.

Baca juga:  Pastor Desmond Tutu dan Dukungan bagi Kemerdekaan Palestina

Selawat Habib Syekh sebagai bagian dari apa yang oleh Julia Day Howell disebut urban sufism, sangat fenomenal, bahkan merubah wajah keislaman Indonesia yang jika dicermati dengan seksama, awal tahun 2000, didominasi oleh wacana kajian Islam kritis, namun kini justru wacana tasawuf menjadi perbincangan luas di berbagai forum, termasuk di medsos.

Setiap gelaran selawat Habib Syekh, menurut kesaksian James Edmonds, dihadiri oleh ribuan warga dari berbagai elemen, tidak hanya dari kalangan umat muslim, tapi juga Kristen, Katolik, dan Hindu; dari ormas Islam ada NU, Muhammadiyah, hingga Syiah.

James Edmons menelusuri pula motivasi seseorang mengikuti acara selawat bersama Habib Syekh, yaitu karena ajakan teman, membuat hati tenang, memeroleh berkah, dan syafaat.

Lalu, sampailah pada cerita pamungkas James Edmonds tentang pengalamannya sering ikut mendampingi Habib Syekh, sehingga ia pernah beberapa kali, menerima amplop alias salam tempel dari jamaah yang hadir.

Seketika saya todong dengan pertanyaan, “Apakah amplop itu Anda terima?”

“Ya jelas, sebab itu bagian dari berkah,” jawab James Edmonds sambil tertawa serentak hahahaha bersama audiens yang hadir.

Muncul lagi pertanyaan, apakah Habib Syekh seorang mursyid sebagaimana dalam tarekat? Jawaban James Edmonds sebenarnya mau bilang “tidak/bukan”, tapi sebelum terucap ungkapan itu, ada yang aneh. James Edmonds yang sejak awal berbicara menggunakan bahasa Indonesia, tiba-tiba diam beberapa menit, seolah kehabisan kosa kata, sampai saya bilang, “in english,” ia jawab, bukan soal bahasa.

Baca juga:  Santri Membaca Zaman (2): Tuhan yang Berpikir

“Apa yang Anda pikirkan?” tanya saya.

“Saya bingung, sulit dijelaskan dengan kata-kata,” jawabnya.

Wah, bule ini jangan-jangan mengalami fana atau dalam tradisi pesantren lazim dikenal jadzab, hehehehe.

Oiya, terakhir tutup dengan pertanyaan, apakah sebagai peneliti Anda merasa sebagai outsider?

“Awalnya saya begitu, tapi semakin lama berinteraksi dengan Habib Syekh dan Syekhermania, saya kok merasa sebagai insider ya?” kata James Edmonds.

Jawaban  tentang posisinya sebagai insider itu, bagi saya keren. Ia tidak merasa menjadi orang luar, meski non-muslim. Sebuah pengalaman yang penting direfleksikan dalam praktik riset bidang antropologi dan sosial-humaniora pada umumnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top