
Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam penanggalan Islam yang memiliki makna dan keistimewaan tersendiri bagi umat muslim di seluruh dunia. Beberapa keutamaan bulan Muharram, di antaranya, pertama, sebagai salah satu dari empat bulan Islam yang mulia, atau disebut bulan haram atau bulan suci.
Bulan haram lainnya adalah bulan Dzulhijjah, bulan Rajab, serta bulan Dzulqa’dah. Pada bulan-bulan ini, umat Islam dilarang melakukan peperangan dan diperintahkan untuk melakukan amalan baik. Bagi kaum Syiah, Muharram merupakan bulan ratapan (syahr al-nihayah) atas kematian Husein bin Ali pada 10 Muharram 61 H (Solikhi, 2010:23).
Kedua, bulan Muharram juga disebut Syahrullah al-Asham yang berarti bulan Allah yang sunyi karena larangan berperang. Mungkin juga hal inilah yang mendasari Iran untuk melakukan genjatan senjata melawan Israel. Oleh karena itu, disarankan juga pada bulan mulia ini untuk berpuasa. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baiknya puasa setelah Ramadhan adalah pada bulan Allah yaitu, Muharram,” (HR. Muslim)
Ketiga, saat bulan Muharram, setiap amalan yang dilakukan pahalanya akan dilipatgandakan. Sebaliknya, keburukan yang dilakukan balasannya juga akan dilipatgandakan. Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan sebagai berikut, “Allah SWT mengkhususkan empat bulan haram dari 12 bulan yang ada, bahkan menjadikannya mulia dan istimewa, juga melipatgandakan perbuatan dosa disamping melipatgandakan perbuatan baik.” Oleh karena itu, alangkah baiknya pada bulan Muharram diisi dengan kebaikan-kebaikan serta menjauhi semua larangan-larangan-Nya.
Keempat, hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram merupakan hari yang penuh keberkahan. Oleh karena itu, disunnahkan untuk melaksanakan puasa Asyura tepat pada 10 Muharram dan puasa Tasu’a pada 9 Muharram. Adapun keutamaan puasa atau shaum tersebut sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits dari Abu Qatadah, bahwa shaum tersebut dapat menghapus dosa setahun yang lalu (HR Muslim 2/819).
Kelima, bulan Muharram juga disebut bulannya para nabi, karena sejumlah peristiwa bersejarah terjadi di bulan Muharram. Di antaranya, diterimanya taubat Nabi Adam setelah diturunkan dari surga; diturunkannya Nabi Nuh AS dari kapal setelah banjir bandang; diselamatkannya Nabi Ibrahim AS dari pembakaran api raja Namrud; diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa AS; dikeluarkannya Nabi Yusuf AS dari penjara; disembuhkannya kebutaan Nabi Ya’qub AS’ disembuhkannya Nabi Ayyub AS dari sakit kulit berkepanjangan; dikeluarkannya Nabi Yunus AS dari perut ikan Nun; diselamatkannya Bani Israil dengan terbelahnya laut merah yang menenggelamkan Raja Fir’aun; diberinya Nabi Sulaiman AS kekuasaan berupa kerajaan; diangkatnya Nabi Isa AS ke langit saat akan disalib oleh kaum yang durhaka; dan diampuninya kesalahan yang telah lewat dan yang akan datang dari Nabi Muhammad SAW.
Dengan keistimewaan bulan Muharram tersebut, memunculkan berbagai tradisi perayaan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya pada tanggal 10 Muharram atau Hari Asyura. Salah satunya lewat sajian khas yang hanya muncul setahun sekali. Menariknya, setiap hidangan punya cerita dan makna yang mendalam. Berikut adalah beragam makanan khas daerah di bulan Muharram yang sarat akan makna.
Bubur Asyura
Bubur Asyura merupakan salah satu makanan paling identik dengan peringatan 10 Muharram. Kuliner khas ini dapat dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Nama bubur Asyura sendiri berasal dari kata “Asyura” yang merujuk pada hari ke-10 bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Bagi masyarakat Jawa, bubur Asyura umumnya dikenal dengan sebutan bubur Suro atau bubur Suran.
Bubur Asyura atau bubur Suro merupakan bubur gurih yang terbuat dari beras, santan, dan rempah-rempah. Biasanya disajikan bersama tujuh lauk seperti pindang, tempe, tahu, abon, dan lainnya. Angka tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu. Tujuh dalam bahasa bahasa Jawa bisa juga disebut pitu, pitu yang berarti pitulungan atau pertolongan dari Tuhan (cnnindonesia.com, 10/8/2021). Sedangkan kacang-kacangan melambangkan kesuburan dan keberuntungan, sedangkan rempah-rempah mencerminkan kekayaan rasa dan budaya.
Sementara itu bubur Asyura khas Banjar biasanya dibuat dari 41 jenis bahan yang sudah menjadi tradisi seperti kangkung, jagung manis, wortel, kentang, daun pucuk waluh, kacang Panjang dan beberapa bahan lainnya. Kacang panjang dalam hal ini menggambarkan umur panjang dan kelapa sebagai lambang keberkahan (rri.co.id, 23/6/2025). Dan berbagai macam bahan dalam pembuatannya melambangkan keberagaman serta persatuan.
Sejatinya tradisi makan bubur Asyura tidak hanya menjadi bentuk perayaan tahun baru Islam tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat kebersamaan masyarakat, karena biasanya bubur ini dimasak dan dimakan secara bersama-sama.
Bubur Putiq
Ritual Bubur Putiq (bubur putih) merupakan sebuah sajian tradisi masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok pada hari Asyura. Bubur Putiq awalnya mengambil pelajaran dari kisah Nabi Nuh AS dan umatnya yang selamat dari banjir besar. Saat berlabuh di bukit Zuhdi, Nabi Nuh beserta umatnya kehabisan bekal. Mereka menemukan makanan berupa umbi-umbian dan biji-bijian. Namun demikian, jumlah makanan tersebut tak mencukupi dengan banyak umat yang selamat pada saat itu. Oleh karena itu, Nabi membuat bubur agar semua bisa menikmatinya.
Ritual bubur Putiq ini dimaknai masyarakat suku Sasak sebagai pengingat awal mula asal manusia, yaitu terbentuk dari air mani seperti yang terdapat dalam firman Allah dalam al-Quran, surat At Thariq. Dengan mengingat proses penciptaan, manusia tentunya tidak bersikap sombong dan menjadi “Tuhan” baru di muka bumi (ntbpos.com, 8/8/2022).
Bella Pitunrupa
Bella Pitunrupa (bubur tujuh rupa) merupakan sajian khas masyarakat di Bugis Makassar, Sulawesi Selatan di setiap tanggal 10 Muharam. Bubur ini menjadi tradisi makanan yang sudah ada sejak zaman kerajaan.
Sesuai namanya, hidangan ini memiliki tujuh bahan dasar hasil bumi seperti jagung, pisang, nangka, beras ketan putih, beras biasa, kacang hijau serta labu. Ketujuh bahan baku bubur tersebut merupakan hasil pertanian yang hasil atau buahnya berada di atas permukaan tanah. Hal ini memiliki makna tersendiri bagi warga. Tujuh merupakan simbol jumlah hari dalam hitungan sepekan serta buah yang tumbuh di atas permukaan sebagai simbol kemakmuran dan limpahan rezeki sepanjang tahun (kompas.com, 24/11/2012).
Bella Pitunrupa menurut kepercayaan Bugis juga merupakan bentuk rasa syukur atas rezeki yang diperoleh setahun terakhir, serta harapan agar selalu diberkahi selama setahun ke depan. Ritual ini juga tak lepas dari rasa syukur terhadap kemenangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran agama Islam.
Jenang Sengkolo
Secara historis, jenang sengkolo bukan sekadar sajian kuliner biasa, melainkan memiliki filosofi yang kuat dalam budaya Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Jawa.
Jenang sengkolo merupakan hidangan tradisional masyarakat Jawa saat merayakan hari Asyura. Jenang sengkolo adalah sajian bubur jenang yang berasal dari beras ketan dengan campuran santan kelapa yang disajikan dengan dua warna, putih dan coklat (merah). Bubur ketan yang berwarna coklat karena dicampur dengan gula merah atau gula aren. Bagian bubur yang dicampur gula dan yang berwarna putih akan disajikan bersama.
Bubur sengkolo melambangkan kehidupan manusia di dunia. Dikutip dari Dini Damayanti yang mempublikasikan penelitiannya pada 2019, warna coklat atau merah dari pewarna gula merah pada jenang sengkolo diibaratkan sebagi indung telur atau simbol bibit ibu. Sementara, jenang sengkolo yang tanpa campuran apapun diibaratkan sebagai sperma atau simbol bibit dari ayah. Dengan demikian, jenang sengkolo memiliki makna sebagai peran kedua orangtua dalam kehidupan seorang anak. Orangtua menjadi perantara seseorang untuk memulai kehidupan di dunia. Ketika bubur merah dan putih disatukan dalam satu wadah, disimbolkan sebagai penyatuan dan hadirnya manusia baru.
Di samping itu, jenang sengkolo bagi masyarakat Jawa juga dipercaya memiliki kekuatan sebagai penolak bala atau menghindari seseorang dari masalah buruk atau kesialan. Jenang sengkolo dalam bahasa Jawa (dikutip dari detik.com, 5/7/2024) bermakna “ngilangno barang sing olo”. Istilah tersebut apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti menghilangkan sesuatu atau perkara yang buruk.
Kemudian kata sengkolo diambil dari kata “murwakala” yang bermakna menghilangkan bala. Secara kultural, filosofi jenang sengkolo dapat dimaknai sebagai sebuah upaya yang dilakukan agar dapat melindungi masyarakat dari bencana maupun kejadian buruk yang bisa saja terjadi pada wilayah tersebut. Untuk itu, iringan doa saat membuat dan menyajikan jenang sengkolo mencerminkan harapan akan keberkahan dan keselamatan.
Tumpeng
Sajian tumpeng juga identik dengan perayaan Hari Asyura. Penyebutan ‘tumpeng’ berasal bahasa Jawa “yen metu kudu mempeng,” yang artinya jika hidup harus dengan kesungguhan.
Tumpeng merupakan simbol hubungan Tuhan dengan manusia, dan manusia dengan manusia. Puncak tumpeng yang berbentuk kerucut merepresentasikan konsep ketuhanan. Oleh karena itu, filosofi tumpeng dianggap sebagai sajian sakral tanda wujud syukur kepada Sang Pencipta.
Dengan mengenal berbagai sajian khas daerah di Indonesia dalam menyambut Hari Asyura, tentunya masyarakat tidak hanya diingatkan akan sejarah penting Islam dan nilai-nilai yang dikandungnya, tetapi juga mampu mempertahankan tradisi budaya yang sarat makna filosofis. Wallahhu a’lam.