Muhammad Zakki
Penulis Kolom

Santri Pondok Pesantren Al Fithrah.

Gaya Hidup Santri (4): Tirakat

Whatsapp Image 2021 10 05 At 22.30.08

Bumi masih belum sepenuhnya pulih dari berbagai macam musibah yang melandanya. Allah Swt. mengutus makhluknya yang tak kasat mata untuk membuktikan kekuatan iman umat manusia. Laju perekonomian juga melemah disebabkan pembatasan gerak sosial dan transaksi antar manusia. Kebutuhan hidup dirasa semakin sulit didapatkan, karena banyak orang diharuskan tetap di rumah bekerjanya.

Kesempatan ini sudah selayaknya dimanfaatkan untuk lebih mengintrospeksi diri. Berapa banyak waktu yang telah terlewatkan dengan tanpa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Himbauan untuk tetap di rumah masing-masing ini menjadi kesempatan yang baik untuk mengajak-ajak kepada keluarga mendedikasikan diri dalam beribadah. Apalagi sekarang hampir memasuki bulan Maulud di mana era baru dimulai sejak kelahiran Rasulullah Saw. pada 15 abad yang lalu.

Kejadian demi kejadian sekarang ini tentu menuntut kita untuk kembali berpegang teguh pada tali agama Islam yang kokoh dan sempurna. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari kehidupan yang sedemikian kacau ini, kecuali meninggalkannya dalam keadaan khusnul khotimah. Dalam hal ini kita perlu bernaung dalam tuntunan seorang guru, terlebih di lingkungan pesantren. Disebutkan dalam Al-Muntakhabat bahwa Syaikh Abul Abas al-Mursy berkata:

كُلُّ مَنْ لَا يَكُوْنُ لَهُ فِيْ هَذَا الطَّرِيْقِ شَيْخٌ لَا يَفْرَحُ بِهِ , وَلَوْ كَانَ وَافِرَ الْعَقْلِ مُنْقَادَ النَّفْسِ وَ اقْتَصَرَ عَلَى مَا يَلْقَى اِلَيْهِ شَيْخُ التَّعْلِيْمِ فَقَطْ , لَا يَكْمَلُ كَمَالَ مَنْ تَقَيَّدَ بِالشَّيْخِ الْمُرَبِّي , لِأَنَّ النَّفْسَ أَبَدًا كَثِيْفَةُ الْحِجَابِ عَظِيْمَةُ الْإِشْرَاكِ مِنْ بَقَاءِ شَيْئٍ مِنَ الرُّعُوْنَاتِ فِيْهَا , وَلَا يَزُوْلُ عَنْهَا ذَلِكَ بِالْكُلِّيَّةِ إِلَّا بِالْإِنْقِيَادِ لِلْغَيْرِ وَالدُّخُوْلِ تَحْتَ الْحُكْمِ وَالْقَهْرِ حَسْبَمَا ذَكَرَ الشَّيْخُ اَبُوْ عَبْدِ اللهِ بْنُ عِبَادَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.

“Setiap orang yang tidak memiliki guru pembimbing dalam perjalanan hidup ini, maka ia tidak akan pernah merasakan keberuntungan. Andai kata pun ia memiliki kecerdasan sempurna dan dapat mengendalikan nafsunya, serta ia menganggap cukup dengan hanya belajar keilmuan saja, maka ia tidak akan mendapatkan kesempurnaan sebagaimana yang diperoleh oleh mereka yang memiliki guru pembimbing dan penuntun dalam beribadah (al-syaikh al-murabby) atau yang masyhur dikenal dengan mursyid, karena nafsu selamanya terhalangi oleh hijab yang tebal disebabkan oleh kegelapan dan kebodohan, yang hanya akan dapat hilang dengan cara mengikuti ketetapan, pengaturan dan penanganan guru pembimbing, sebagaimana telah dijelaskan oleh Syekh Abu Abdillah bin Ibad.”

Baca juga:  Ummu Kulsum, Sang Bintang Timur

Kapasitas guru mursyid –begitu juga para kiai di pesantren- sebagai sosok yang berpengalaman dalam menjalani laku ibadah sering kali disalahartikan oleh orang kebanyakan. Mereka menganggap ajaran dan amalannya sebagai sesuatu yang berlebihan. Padahal latihan semacam ini memiliki banyak kemanfaatan.

Syaikh Abdul Wahab al-Sya’roni berkata: “Ada empat pokok penyusun (rukun) dalam perjalanan menuju kesempurnaan, yakni lapar, mempersedikit berbicara, memperbanyak berjaga ketika malam dan menuntut diri untuk menyepi. Ketika seseorang telah mampu mencapai lapar, maka secara otomatis tiga rukun lainnya akan terrealisasi dengan sendirinya. Ketika seseorang lapar, maka ia akan sedikit bicara, sering terjaga pada malam harinya dan membatasi aktivitas dengan kerumunan manusia lainnya.”

Kenyataan yang sering terjadi dalam praktik berpuasa selama ini. Kebanyakan kita hanya pindah jadwal makan saja, dari yang awalnya tiga kali sehari menjadi dua kali. Sementara porsi makan tetap sama seperti hari biasanya dan bahkan terkesan lebih istimewa. Cukuplah ungkapan para ulama shufi berikut sebagai nasehat bagi kita: “Barang siapa menuruti hawa nafsunya, maka hilanglah kemurniannya.”

Hal ini sesuai dengan sabda nabi yang menyatakan bahwa pahala puasa adalah hak preogratif Allah SWT. Tidak ada hitungan pasti berapa nilai pahala yang didapati orang yang puasa. Seberapa kesungguhan niatnya dalam berpuasa akan turut mempengaruhi besar balasannya. Tak heran jika ada sebagian orang yang aktivitas berpuasanya malah menimbulkan bahaya bagi kesehatannya.

Baca juga:  Metode Ngaji Sorogan dan Filosofi Gentong

Untuk mensiasati ketimpangan dalam ibadah puasa yang seperti ini, Al-Sya’roni dalam Mizan-nya menyatakan: “Tidak diperkenankan bagi seseorang untuk memakan sesuatu apapun yang bernyawa.” Pernyataan ini kemudian oleh KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy dan mungkin banyak kiai di pesantren lainnya untuk melegalkan tarak sebagai amaliah yang harus dilalui oleh para santrinya.

Kiai Asrori mewajibkan semua para santri di pesantrennya untuk mutih atau tarak istilah populernya, yakni menghindari memakan sesuatu yang mengandung nyawa, seperti hewan-hewanan, susu ataupun telurnya. Intinya adalah memutus mata rantai nafsu dalam tubuhnya. Hal ini diberlakukan bagi santri laki-laki mulai tanggal 21 Sya’ban hingga penghujung Ramadhan, sedangkan murid tarekat perempuan menjalaninya pada bulan Ramadhan saja. Secara ekonomis, ritual mutih ini juga berguna untuk menghemat pengeluaran dana, apalagi ketika dalam masa-masa sulit karena pandemi seperti sekarang ini.

Disebabkan adanya pantangan untuk mematuhi aturan kiai dalam hal memakan makanan yang berupa biji-bijian saja, maka seorang santri tidak akan merasa kekenyangan. Konsekuensinya, jika ia tidak kekenyangan, maka fokus aktivitasnya tidak terganggu oleh urusan jasmani, seperti mengantuk ataupun kebutuhan kamar mandi, sehingga kewajiban ibadahnya terpenuhi dengan baik, serta tidak lagi disibukkan untuk mengonsumsi variasi menu-menu makanan lainnya.

Karena porsi makannya hanya nasi dan garam serta olahan dedaunan, maka ia akan mudah merasa lapar, dan sebab lapar ibadah tidak terganggu oleh hal-hal lain. Hawa nafsunya terbatasi. Keberperanan setan dalam tubuh melemah seiring melemahnya peredaran darah disebabkan lapar tadi. Maka, ia pun berhak mendapat dua hal yang telah dijanjikan oleh Allah SWT, yakni kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan di akhirat kelak, berupa balasan surga Babur Royyan, disebabkan kesungguhannya dalam berpuasa dan mengisi waktu-waktunya dengan ibadah terbaik.

Baca juga:  Arebbe: Hadiah untuk Orang yang Meninggal

Selain tarak, ada beberapa amaliah khas selama Ramadhan yang telah dipraktikkan dan diajarkan oleh Kiai Asrori, seperti sholawat Habibil Mahbub, Thibbil Qulub dan Qad Dlaqat serta bacaan-bacaan yang telah termaktub dalam kitab Al-Nafahat.  Hal semacam ini tentunya juga memiliki perbedaan jenis di pesantren-pesantren lainnya.

Tujuan adanya tirakat ini tidak lain adalah tidak ada kebahagiaan yang bisa diperoleh dengan tanpa biaya. Untuk mendapatkan surga harus ada pengorbanan yang dilakukan. “Jer Basuki Mawa Bea” demikian bunyi dalam logo Provinsi Jawa Timur. Tak heran jika ada ungkapan “Santri iku kalah rupo menang dungo, kalah duit menang wirid, kalah pangkat menang tirakat, kalah kabeh mondok maneh.

Semoga kita digolongkan sebagai orang-orang yang memperoleh kebahagiaan dan tercatat sebagai golongan orang-orang yang mendapatkan ridho para kiai sebab melaksanakan ajarannya. Amiiin.

Referensi:

Ahmad Asrori Al-Ishaqi, Al-Muntakhabat fi Rabitah al-Qalbiyah wa Silah al-Ruhiyah

Ahmad Asrori Al-Ishaqi, An-Nafahat fi maa yata’alaqu bi al-Tarawih wa al-Witr wa al-Tasbih wa al-Hajat

Abdul Wahab Al-Sya’rani, Al-Anwar al-Qudsiyah

Abdul Wahab Al-Sya’rani, Mizan al-Kubra

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top