
Tak peduli sepintar, secerdas, atau sesaleh apa pun seseorang—ketika dimabuk cinta, logika sering kali menjadi korban. Yang salah dibenarkan, yang merusak dirayakan. Dan yang bodoh, diminta untuk kita pahami, bahkan mengamini. Kita menyebutnya cinta. Tapi benarkah itu cinta?
Sering kali kita terjerumus dalam tindakan-tindakan irasional yang dalam kondisi normal tak akan pernah kita lakukan. Rela menggadaikan harga diri, menghancurkan relasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun, bahkan mengingkari nilai-nilai yang dulu dijaga mati-matian. Semua demi satu ilusi yang disebut sebagai cinta.
Di titik ini, cinta menjelma bukan sebagai perasaan luhur, tapi sebagai candu. Candu yang mampu membungkam suara nurani, menumpulkan daya nalar, dan membengkokkan logika. Ia menelurkan pembenaran-pembenaran absurd, yang jika diucapkan oleh orang lain akan terdengar gila, tapi bila keluar dari mulut orang yang jatuh cinta, tampak seolah sebuah kebenaran yang tak perlu diperdebatkan.
Ironisnya, masyarakat sering kali ikut larut. Kita dipaksa untuk tidak hanya memahami, tapi juga mengamini perilaku-perilaku irasional yang secara moral dan sosial jelas menyalahi tatanan. Cinta, dalam konteks ini, telah berubah dari pengalaman eksistensial menjadi tameng ideologis—pembelaan mutlak atas perilaku yang tak termaafkan. Seolah-olah, selama itu “atas nama cinta,” semua bisa dimaklumi. Ini adalah titik paling rapuh dari moralitas manusia: ketika kita tahu itu salah, tapi kita memilih diam karena merasa tak punya hak untuk mencampuri “urusan hati.”
Lalu, apakah itu cinta?
Apakah cinta memang sesakti itu? Atau justru, apakah cinta sudah terlalu sering disalahgunakan sebagai kedok untuk memuaskan ego, hasrat kepemilikan, dan trauma yang belum selesai? cinta, sebagaimana diuraikan dalam berbagai tradisi filsafat dan spiritualitas, sesungguhnya bukan sekadar emosi. Ia adalah bentuk tertinggi dari pengenalan terhadap diri sendiri melalui liyan. Dalam cinta yang sejati, kita tidak kehilangan diri, melainkan menemukan kembali siapa diri kita di hadapan yang lain. Maka ketika cinta berubah menjadi penghapusan jati diri, menjadi keterikatan yang penuh penderitaan, bisa jadi itu bukan cinta—melainkan keterikatan psikologis yang belum tersadari.
Sebagaimana diyakini oleh Ibnu Arabi, cinta sejati bukan sekadar dorongan batin atau keterikatan emosional, melainkan manifestasi paling luhur dari kerinduan Ilahi untuk dikenali melalui ciptaan-Nya. Dalam pandangan sang sufi besar, Tuhan menciptakan alam semesta karena cinta-Nya sendiri, karena Ia “ingin dikenal”—dan cinta menjadi medium pengenalan itu. Maka setiap bentuk cinta yang murni antara sesama bukanlah gerak jiwa yang tertutup pada ego, melainkan cermin dari gerak Tuhan dalam memperlihatkan Diri-Nya melalui makhluk.
Di dalam tatapan kekasih, dalam keheningan rindu, dan dalam pengorbanan yang tulus, sejatinya manusia sedang memandang pantulan dari Yang Maha Dicinta. Bukan karena kita kehilangan jati diri, melainkan karena kita sedang melampaui batas-batas ego menuju pengakuan akan yang Maha Satu dalam yang banyak. Cinta dalam makna ini bukan hanya keterhubungan personal, tapi adalah jalan metafisik—sebuah mi’raj jiwa dari keterpisahan menuju kesatuan, dari rupa menuju hakikat, dari “aku” menuju “Kita” yang ilahiah.
Ia bukan sekadar perasaan yang menyatukan dua hati, melainkan kesadaran yang menyatukan keberadaan. Dan dalam setiap perjumpaan yang penuh cinta, ada percikan dari cahaya Tuhan yang menyapa manusia dalam bentuk yang paling dekat, paling lembut, dan paling mengguncangkan: wajah yang dicinta.
Plato menyebut cinta sebagai jalan menuju keindahan yang mutlak. Ia bukan tempat berhenti, tapi jembatan menuju pemahaman yang lebih tinggi. Namun manusia modern terlalu sering berhenti di ujung yang dangkal: pada hasrat memiliki, pada ketertarikan fisik, atau pada ketakutan akan kesendirian. Akibatnya, cinta menjadi fanatisme emosional, bukan transformasi eksistensial.
Cinta yang buta adalah cinta yang belum melewati tahap refleksi. Ia masih terjebak dalam insting dan kebutuhan untuk merasa lengkap lewat orang lain. Ia menjadikan orang lain cermin, bukan sahabat perjalanan. Dan di situlah penderitaan bermula—karena cermin tidak selalu memantulkan apa yang ingin kita lihat.
Salah satu ciri cinta yang belum dewasa adalah ketakutannya pada kejujuran. Kita tahu sesuatu itu salah, namun kita memilih untuk menutup mata, karena kebenaran akan menghancurkan dunia kecil yang telah kita bangun. Maka lahirlah ilusi-ilusi: “Dia akan berubah,” “Orang lain tidak mengerti,” “Aku tahu risikonya, tapi aku mencintainya.” Sayangnya, cinta sejati tidak tumbuh dalam tanah yang penuh ilusi. Ia hanya bertahan dalam tanah kejujuran, pengorbanan sadar, dan ketulusan tanpa syarat. Dan kejujuran ini tak selalu manis—kadang ia menyakitkan, tapi justru dari luka itulah kita tumbuh.
Kita sering lupa: cinta tidak menuntut kita untuk melepaskan akal. Justru sebaliknya, cinta menantang kita untuk berpikir lebih dalam, merasa lebih dalam, dan bertindak lebih bijak. Cinta adalah ujian terbesar bagi integritas manusia. Bisakah kita mencintai tanpa melukai? Bisakah kita setia tanpa memenjara? Bisakah kita mengasihi tanpa menuntut untuk dimiliki?