Malam lailatul qadar merupakan momen spesial yang hanya dapat diraih pada bulan Ramadan. Menurut pendapat beberapa ulama’, malam yang mulia ini muncul pada sepuluh akhir bulan Ramadan. Salah satu surah yang menjelaskan tentang eksistensi malam ini adalah Q.S: al-Qadr : 1-5 :
إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَما أَدْراكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيها بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ .سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ.
Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan (Al-Quran) pada malam qadar. Dan taukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turunlah malaikat dan Ruh (jibril) dengan zin tuhanya untuk mengatur semua urusan. Sejahterahlah (malam itu) sampai terbit fajar.
Menurut Sayyid Tantawi dalam Tafsir al-Wasit (15/463), kata qadr yang dinisbatkan pada kata lail (malam) dalam ayat ini diartikan sebagai kemuliaan dan keagungan, sebagaimana ungkapan orang Arab: “li Fulan qadr ‘inda Fulan” (seseorang yang memiliki kedudukan yang mulia dan terhormat). Dengan demikian, ungkapan “lailah al-qadr” mengisyaratkan bahwa malam tersebut merupakan malam yang dipenuhi dengan kemuliaan dan keagungan.
Berdasarkan ayat ini, penulis dapat mengklasifikasi keistimewaan malam lailatul qadr menjadi tiga: Pertama, malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Kedua, para malaikat diturunkan pada malam itu. Ketiga, malam yang dipenuhi kesejahteraan. Berikut penjelasan secara terperinci mengenai dua keistimewaan malam lailatul qadar.
Keistimewaan Pertama
Para ulama berbeda pendapat mengenai keistimewaan malam ini. Ada yang berpendapat bahwa malam ini hanya terjadi sekali dan tidak akan ada lagi sesudahnya. Menurut Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari (4/263), argumentasi ulama yang berpendapat demikian didasarkan pada sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada Rasul Saw. Beliau Saw. menyatakan bahwa “innaha rufi’at” (sesungguhnya malam al-qadr telah terangkat, dalam arti sudah tidak akan datang lagi).
Namun, Ibnu Hajar tidak sepakat dengan pendapat ulama ini. Menurutnya, pendapat ini tidak dapat diterima kecuali jika yang dimaksud dengannya adalah hari pertama turunnya al-Qur’an. Sebab, mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap tahun terjadi lailatul qadar. Malam ini menjadi mulia bukan saja karena al-Qur’an turun ketika itu, tetapi malam itu sendiri memiliki kemuliaan, yang kemudian kemuliaannya bertambah dengan turunnya al-Qur’an.
Quraish Shihab juga tidak sepakat dengan pendapat ulama ini. Dalam Tafsir al-Misbah (15/425), beliau berpendapat bahwa seandainya kehadiran lailatul qadar hanya ketika turunnya al-Qur’an pertama kali, tentu Nabi Saw. tidak akan menganjurkan para umatnya untuk berusaha mendapatkannya pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa riwayat hadis.
Bahkan di dalam al-Qur’an ditemukan isyarat yang menunjukkan bahwa lailatul qadar datang secara berkesinambungan setiap tahun. Isyarat tersebut antara lain dengan penggunaan bentuk kata kerja yang berbentuk masa kini dan akan datang (mudhari’) pada kata: tanazzalu al-mala’ikatu (ayat 4) yang menunjukkan bahwa turunnya malaikat itu, bersinambung secara terus-menerus.
Kemuliaan dan nilai seribu bulan itu dapat diperoleh seseorang sebagai hasil ibadah dan pendekatan kepada Allah selama bulan Ramadan. Ibadah-ibadah yang dilakukannya secara tulus dan ikhlas itu akan dapat berbekas dalam jiwanya, sehingga pada akhirnya ia mendapatkan kedamaian, ketenangan, sehingga mengubah secara total sikap hidupnya. Keadaan demikian merupakan bukti bahwa ia telah mendapatkan lailatul qadar.
Keistimewaan Kedua
Beberapa ulama enggan menjelaskan apa makna turunnya malaikat pada malam itu. Mereka Berpendapat bahwa dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa para malaikat turun dari alam ruhani sehingga nampak oleh Nabi, terutama malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu. Kita tidak perlu menyelidiki bagaimana cara dan rahasianya, cukuplah kita beriman saja. Sebab, yang dapat diketahui manusia tentang rahasia alam ini hanya sedikit sekali.
Namun ada pula yang berpendapat bahwa arti turunnya malaikat adalah seseorang yang mendapatkan lailatul qadar dan akan semakin kuat dorongan dalam jiwanya untuk melakukan berbagai macam kebajikan pada sisa hidupnya sehingga ia merasakan kedamaian abadi. Pendapat ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, yang mengutip pendapat gurunya Muhammad ‘Abduh, yang menjelaskan dalam Tafsir al-Manar (1/223) tentang malaikat yang menurutnya sejalan dengan pendapat Imam al-Ghazali :
“Dirasakan oleh mereka yang mengamati dirinya atau membanding-bandingkan pikiran atau kehendaknya yang mempunyai dua sisi — baik dan buruk — dirasakan oleh mereka bahwa dalam batinnya terjadi pertentangan seakan-akan apa yang terlintas dalam pikiran atau kehendaknya itu sedang diajukan ke suatu sidang. Ini menerima dan itu menolak, ini berkata ‘lakukan’ dan yang itu berkata ‘jangan’. Demikian halnya sehingga pada akhirnya salah satu pihak memperoleh kemenangan. Hal seperti itu sering terjadi dalam diri setiap manusia. Kita tidak mengetahui hakikat hal tersebut tetapi tidak mustahil itulah yang dinamai oleh Allah dengan malaikat ataukah dinamai (oleh-Nya) penyebab yang menimbulkan dorongan dalam hati untuk melakukan kebajikan.”
Keistimewaan Ketiga
Kata “salam” diartikan sebagai kebebasan dari segala macam kekurangan, apapun bentuk kekurangan tersebut baik lahir maupun batin, sehingga seseorang yang hidup dalam “salam” akan terbebaskan dari penyakit, kemiskinan, kebodohan dan segala sesuatu yang termasuk dadam pengertian kekurangan lahir dan batin. Keadaan demikian merupakan pertanda bahwa seseorang itu mendapatkan kesejahteraan.
Malam lailatul qadar tersebut disifati dengan kata “salam” mengisyaratkan bahwa malam tersebut dipenuhi dengan kesejahteraan dan rasa aman secara terus menerus sampai terbit waktu fajar. Keadaan demikian ini hanya dapat diraih oleh seorang mukmin yang taat kepada Allah, yang benar-benar mampu menghidupkan malam tersebut dengan berbagai amal dan ibadah.
Wallahu A’lam