Mudik, kata yang populer saat mendekati Idulfitri atau Lebaran. Kata menuntaskan keinginan banyak orang untuk sejenak menengok kampung halaman. Sekian waktu, setidaknya dua tahun terjadinya wabah, mudik berubah makna. Sebab, ada kondisi yang berdasarkan peraturan-peraturan buatan pemerintah untuk mengurangi maupun membatasi perjalanan jarak jauh. Masa itu mudik masih kata yang sulit diwujudkan dalam perbuatan.
Hal yang menjadikan sebuah kebudayaan baru. Wabah mengharuskan orang sebagai subjek menafsirkan keberadaan dirinya maupun tempat tinggal. Banyak kalangan perantauan hanya berkesempatan bertemu dengan keluarga dan sanak famili melalui tatapan layar, lewat layanan pertemuan secara digital. Makna rumah bukanlah sebatas tempat, tapi daya cengkeram dan suasana yang lahir atas pertemuan itu.
Sebagai sesuatu yang menjadi budaya, istilah mudik dimasalahkan dalam bahasa. Di Intisari edisi Februari 1996, J.S. Badudu menulis “Kata ‘Mudik’ yang Menonjol Sekitar Lebaran”. Penjelasannya: “Kata mudik mengalami perluasan arti, bukan saja berarti ‘menuju ke udik (sungai)’, melainkan juga berarti ‘pergi ke udik, pergi ke pedalaman’ dan sekarang ini diartikan ‘pulang kampung’ karena kampung-kampung kita biasanya ada di pedalaman: kota ada di pesisir, di tepi pantai.”
Penjelasan yang menegaskan makna mudik terus bertransformasi. Di sisi lain, kita ingin mengerti hakikat sejati atas peristiwa kebudayaan yang telah terjadi begitu lama itu. Pada akhirnya, mudik tak sebatas memperlihatkan situasi orang-orang berbondong-bondong memilih transportasi dan menuju ke tujuan masing-masing. Ada hamparan kisah yang tersaji atas tiap rangkaian yang terjadi.
Peristiwa Kosmis
Kita ingin melakukan pendekatan lain terhadap lema mudik. Sebagai sebuah kebiasaan, kita diingatkan bahwa manusia memiliki konsep bermain. Manusia sebagai homo ludens. Mudik sebagai sebuah peristiwa tak lain adalah permainan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Permainan mengandung wawasan kosmis. Kita teringat sebuah buku Johan Huizinga, Homo Ludens: Fungsi dan Hakekat Permainan dalam Budaya (1990), yang mengajak kita masuk dan mendalami banyak hal sekitar tindakan kebudayaan yang dilakukan oleh manusia.
Kita mendapat penjelasan: “Ritus atau ‘perbuatan ritual’, menggambarkan suatu peristiwa kosmis, suatu keadaan dalam proses alami.” Kita meletakkan mudik sebagai bagian proses itu. Mudik tak lain transformasi keadaan tempat dan suasana. Ia mengajak tiap orang membangun solidaritas dan mengerti bahwa kehidupan di dunia bukanlah individualis. Melainkan dari itu sebagai struktur sosial untuk mengerti antara satu dengan lainnya.
Mudik mengajak diri melakukan permenungan di tengah hiruk pikuk menghadapi aktivitas berangkat kerja, menghadapi tumpukan tugas, kemacetan, tanggungan cicilan, dan lain-lain. Semua itu tak lain kesadaran kosmos, yang dimaknai astronom Carl Sagan sebagai segala yang ada atau pernah ada atau akan ada. Tiap diri diajak merenung pada tiga waktu: masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang.
Rumah dan Kerinduan
D. Zawawi Imron pernah menulis pulang kampung sebagai peristiwa di era modern yang berurusan dengan rumah. Penjelasan terdapat dalam bukunya, Sate Rohani dari Madura: Kisah-Kisah Religius Orang Jelata (2001): “Pulang kampung untuk mengobati saya yang keras akibat rutinitas kerja sehari-hari di kota metropolitan.” Penjelasan menyiratkan akan kebutuhan penyembuhan atas kejenuhan dan mencari daya semangat baru.
Perjalanan itu membawa tiap orang memahami rumah. Rumah adalah sejarah panjang yang menjadi dimensi keberadaan manusia. Berdasarkan sejarah evolusi, pemahaman makna akan rumah telah berubah sejak zaman revolusi pertanian. Ann Druyan dalam buku Kosmos: Aneka Ragam Dunia (2020) mencatat: dulu artinya adalah di mana pun kita berada di Bumi dan sekarang artinya tempat tertentu di planet ini.
Pada tahun ini, orang-orang memiliki kesempatan kembali menjalankan kebudayaan mudik, setelah sekian waktu pertemuan terhenti pada ruang digital. Mereka memendam rasa rindu akan berbagai dimensi, yakni rumah, orang tua, sanak famili, teman sebaya, dan ingatan lain yang menghidupkan dirinya. Pulang adalah pilihan terbaik untuk mencari oase di tengah ketegangan dan kesemrawutan yang terjadi dalam hari-hari di kehidupannya. Mudik mengontemplasikan asal usul kehidupan.
Mereka itu menjalankan peran dan tugas sebagai agen kebudayaan. Keberanian dan solidaritas yang menjadikannya bertindak. Tak masalah menghadapi kemacetan di jalan. Tidak peduli akan berhadapan sejumput pertanyaan klise ketika bertemu dengan orang lama setelah sekian waktu tak bersua. Tak peduli juga ketika berkunjung ke tempat saudara, membuka kaleng roti isinya rempeyek maupun rengginang. Ada konsekuensi atas penuntasan kerinduan terhadap rumah.
Sebab, itu tidak lain adalah bagian interaksi untuk bersama-sama mengatur ritme dan algoritme dalam hidup. Mereka akan saling berbagi untuk terus mengeja dan menafsirkan kehidupan di dunia ini. Mudik, pulang kampung, hingga momentum Lebaran pada akhirnya harus dimaknai sebagai langkah untuk teguh dalam berbagi dan berbuat kebaikan, menguatkan antara satu dengan lainnya, dan selalu wawas diri.[]