Sedang Membaca
Revolusi Sepak Bola Iran
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Revolusi Sepak Bola Iran

Revolusi Sepak Bola Iran

Saat rezim Reza berkuasa, lahan-lahan masjid disulap menjadi lapangan bola. Sebaliknya ketika kaum revolusioner berhasil menumbangkan rezim, lapangan sepak bola dijadikan tempat sembahyang Jumat.

Sepak bola bukanlah sekadar olah raga. Ia bisa menjadi alat untuk meneroka sejarah modernisasi suatu bangsa. Saya ingin mengajukan satu kisah bagaimana “kulit bundar” diperlakukan di sebuah negeri Muslim: Iran.

Ya, sejarah Iran modern bisa dilukiskan sebagai sejarah sepak bola.

Bermula pasca Perang Dunia I dengan Syah Reza Agung, Raja Segala Raja, Bayang-bayang Sang Kuasa, Wakil Tuhan dan Pusat Semesta, serta pendiri dinasti Pahlevi.

Dia dilahirkan 16 Maret 1878 Alasht, Mazanderan, Iran. Reza Khan wafat di negeri orang, 26 Juli 1944, Johannesburg, Afrika Selatan.

Khan bukanlah anak istana. Abahnya seorang tentara berpangkat kolonel bernama Abbas Ali Khan. Khan dibawa oleh ibunya ke Teheran setelah abahnya wafat.

Khan muda mengikuti jejak orangtuanya. Dia menjadi serdadu, tapi udik dan separuh buta huruf. Nama Reza Khan melambung karena memimpin segerombolan orang Cossack, hasil latihan Rusia.

Namun, di mata Inggris, yang menguras kolam-kolam minyak Iran dan mencoba memerintah negeri secara diam-diam, Reza Khan adalah pion yang sempurna, seseorang yang tak punya ambisi politik dan terbiasa untuk menerima perintah.

Pada 1921, Jenderal Sir Edmund Ironside (1880- 1959) yang berdinas di Teheran dengan rendah hati, pernah bertanya dan separoh menyarankan, ”Tuan Reza, tidakkah Anda ingin merebut kekuasaan?”.

Pemerintahan lama, menurut selera Jenderal Ironside, terlampau nasionalis dan tidak bisa diandalkan.

Dengan restu Inggris, kudeta Reza hanyalah fait accompli belaka. Empat tahun kemudian, Reza menerima ganjaran puncak atas kerjasamanya. Reza Khan resmi menjadi Syah atau Iran 15 Desember 1925. Reza pun memperoleh gelar yang panjang, serta hak-hak istimewa istana.

Tidak lama kemudian, Rezan Khan yang sudah mutlak menjadi seorang penguasa itu meminta serdadu Inggris berkemas meninggalkan Iran, pulang ke kampungnya di Eropa.

Ini lompatan yang sungguh jauh bagi seorang bocah udik. Namun, sebagaimana dibuktikan oleh Inggris, Reza ternyata bukan sekadar pion, seperti yang diduga sebelumnya. Ia memakai militer sebagai alat untuk menata ulang masyarakat Parsi seturut citra masyarakat Prusia: sebuah negara modern untuk menandingi Eropa.

Baca juga:  Beramadan di Iran, Yuk!

Menurut wartawan Franklin Foer, penulis buku Memahami Dunia Lewat Sepak Bola: Kajian Tak Lazim tentang Sosial-Politik Globalisasi (Marjin Kiri, 2017), seperti tokoh lain yang diteladaninya, pencetus modernisasi Turki Kemal Ataturk, Syah Reza membangun jalan dan rel kereta api, serta meninggalkan praktik-praktik tradisional.

Peran mullah diperkecil dan kerudung dilarang. Ia tetapkan agar kaum lelaki membuang jubah mereka dan mengenakan pakaian Barat sepantasnya.

Untuk membuat sebuah bangsa yang modern, ia ingin menciptakan orang Iran modern yang mengerti nilai-nilai kebersihan, persaingan yang jantan, serta kerjasama. Ia menjadi penyokong antusias pendidikan jasmani, mengagumi senam Jerman yang ia wajibkan dalam kurikulum sekolah. Reformasi Reza khas dari seseorang yang dididik Barat.

Sepak bola dengan segera menjadi olah raga pilihan rezim ini. Ia memerintahkan angkatan bersenjata bertanding, bahkan di desa-desa yang belum mengenal sepatu khas Eropa.

“Pada medio 1920-an”, tulis sejarawan Brenda Elsey dalam Football and the Boundaries of History: Critical Studies in Soccer (Palgrave, 2017),  “sepak bola telah menjadi lambang modernisasi Iran, dan olah raga ini pun dengan cepat disokong oleh eselon tertinggi kenegaraan.”

Sama seperti Syah Reza sendiri, sepak bola memperoleh dukungan dari Inggris. Kaum elite Iran mempelajari olah raga ini di berbagai sekolah zending yang dikelola oleh warga asing. Dan penduduk Iran mempelajari sepak bola dengan berdiri di garis pinggir mengamati pegawai-pegawai Anglo-Persian Oil Company bertanding.

Ide modernisasi umumnya, dan sepak bola khususnya, menghadirkan guncangan pada sistem kultur Islam. Sekalipun Syah Reza menindas kaum ulama, mereka toh terus melancarkan perlawanan kladestin (gerakan bawah tanah).

Di dusun-dusun, mullah memerintahkan agar orang Iran yang bermain sepak bola dirajam batu. Alasannya, dengan bermain dalam seragam celana pendek ala Inggris, orang-orang Iran ini melanggar syariat yang menetapkan agar kaum laki-laki menutupi kaki mereka dari pusar hingga lutut.

Baca juga:  Spiritualitas Resolusi Jihad (4): Pekikan Takbir

Namun cara-cara kuno tak kuat bertahan melawan modernisasi yang didukung oleh kekuatan negara. Rezim Syah Reza menyita lahan-lahan masjid dan menyulapnya menjadi lapangan bola. Antusiasme negara pada olah raga ini kian menggelora seiring waktu.

Alih-alih Syah Reza yang bertungkus lumus mencintai sepak bola karena pelbagai alasan yang teoretis, putranya menggilai bola dengan semangat seorang pecandu sejati. Putera Mahkota Muhammad Reza Pahlevi, lahir di Teheran, Iran, 26 Oktober 1919, bermain bola di sekolah Rosey, Swiss. Sepulangnya ke tanah air, ia bermain sebagai penyerang di sekolah perwira yang dimasukinya.

Ketika Inggris memaksa Syah Reza menyerahkan takhtanya kepada putra mudanya tanggal 16 September 1941, setelah ia dengan tololnya menjalin hubungan baik dengan Nazi, mereka sebenarnya sedang memahkotai fanatikus bola paling edan senegeri itu.

Sekalipun Iran berada jauh, baik dari front Asia maupun Eropa, modernitas yang digempurkan Pahlevi mengalami kemunduran telak akibat diskolasi ekonomi Perang Dunia II. Dalam kondisi negeri yang melemah, pengaruh asing jadi semakin kentara (baik Inggris maupun Amerika Serikat), dan berujung pada kudeta hasil rekayasa Central Intelligence Agency (CIA) pada 1953 yang menumbangkan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh yang terpilih secara demokratis.

Di kota-kota besar, cendekiawan sosialis serta ulama-ulama tradisional mulai unjuk gigi. Urusan-urusan penting kenegaraan membebani pikiran syah (semakna dengan kata raja) baru ini. Namun demikian, sebagai penggemar setia sepak bola, ia tidak bisa menolerir kekalahan yang dialami tim nasional Iran pada 1950an. Ia mulai mengucurkan sumber daya demi menciptakan sebuah tim yang hebat.

Dalam dasawarsa kedua pemerintahannya, kerja kerasnya terbayar. Sebagai bagian dari program rezim untuk menggenjot pertumbuhan dan modernisasi, kota-kota industri baru berisi oleh jutaan migran dari udik. Para pendatang ini, yang untuk pertama kalinya terbebas dari kerja tani yang tidak kenal henti 24 jam sehari dan 7 hari sepekan, mulai mengisi waktu luang mereka dengan sepak bola. Orang-orang urban baru yang tidak bisa memperoleh tiket ke stadion, menonton sepak bola dari televisi–media yang jadi kian massal pada akhir ‘60an.

Baca juga:  Sadio Mane Membuktikan Bahwa Dakwah Bukan Hanya Jadi Imam Masjid

Namun, popularitas sepak bola di Iran baru benar-benar melejit sesudah pertandingan melawan Israel pada awal pecahnya perang 1967. Tidak seperti sebagian besar negara Muslim, aliansi Iran dengan negara Yahudi itu bertahan melewati gejolak akhir ‘60an (Israel kerap sukses besar dalam menjalin hubungan dengan sekutu-sekutu non-Arab di pinggiran dunia Muslim). Berkat aliansi ini, Iran tidak mengikuti langkah negara-negara Muslim lainnya yang bahkan menolak bertanding atletik dengan orang Israel.

Rezim syah punya banyak cacat, terutama brutalitasnya dalam membungkam para oposan. Namun kegagalan terbesarnya adalah program modernisasi syah. Ia dorong negeri itu terlampau keras, terlalu cepat untuk menjadi urban dan industrial. Berabad-abad tradisi kehidupan Parsi dicabut dan dibongkar hanya dalam waktu satu generasi yang penuh transformasi menggelinjang.

Ketika kaum revolusioner menggulingkan syah pada 1979 (seperti abahnya, Pahlevi menghembuskan nafas terakhir di negeri orang, tepatnya Kairo, Mesir, 27 Juli 1980) mereka berupaya keras untuk membalik olah raga yang menjadi simbol program modernisasi ini. Mereka sita lapangan sepak bola di Universitas Teheran, membalas penyitaan yang dilakukan oleh Syah Reza, dan memakainya sebagai tempat sembahyang Jumat saat Revolusi Islam menggelora di Iran.

Mereka menasionalisasi klub-klub bola, mengubah Taj menjadi Esteghal (Kemerdekaan) dan Persepolis menjadi Piroozi (Kemenangan). Koran-koran dan pamflet-pamflet mereka, kaum puritan asketis menegaskan bahwa mereka menganggap sepak bola itu bejat.

Arkian, meski barangkali sepak bola memang menggambarkan tantangan tak terhindarkan oleh globalisasi kepada Iran, tetapi cerita utuhnya tidak persis begitu. Sepak bola tetap digemari di banyak negara Muslim, tanpa harus ada radikalisme perlawanan.

Kini yang membedakannya adalah revolusi bola ini membangkitkan gelora nasionalis dan membelokkannya untuk menentang negara. Komitmen orang Iran akan Islam sama besarnya seperti komitmen orang Iran akan Iran itu sendiri. Dan kedua hal ihwal itu tidaklah senantiasa sama.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top