Sedang Membaca
Epistemologi ilmu ẖudhūri dan ẖushūli
Abqari
Penulis Kolom

Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Antasari, jurusan Ilmu Tasawuf. Sālīk di perantara sufi modern, pengkaji mistisisme islam; tasawuf.

Epistemologi ilmu ẖudhūri dan ẖushūli

Husul

Dalam bukunya yang berjudul The principles of epistemology in Islamic philosophy: knowledge by presence, Mehdi Ha’iri Yazdi menjelaskan bahwa ilmu hudhūri merupakan pengetahuan yang dihadirkan atau diperoleh langsung dari Tuhan melalui latihan (riyadhāh) rohani dengan tahap akhir dari ilmu ini ialah kesatuan eksistensial mutlak dengan yang Esa, sedangkan ilmu hushūli merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara konsep atau konseptualisasi, baik lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (‘aql).

Dalam epsitemologi terdapat berbagai dalam pembagian ilmu itu sendiri, salah satu diantaranya ialah permbagian terhadap ilmu hudhuri dan ilmu hushuli. ilmu hudhûrî merupakan ilmu yang diperoleh tanpa adanya perantara, seperti halnya langsung diberikan oleh Allah (‘ilm ladūnī), adapun perantara tersebut berupa materi dalam bentuk dan konsep wujud yang nyata. Sedangkan ilmu hushûlî ialah ilmu yang didiperoleh melalui perantara yang bersifat materi, sedangkan dalam wujud non-materi, konsep ilmu hushûlî tidak mampu menggapainya.

Dalam ilmu hudhûrî dijelaskan bahwa ilmu itu sendiri yang hadir dalam diri kita melalui latihan serta esensi ilmu tersebut dari Tuhan. Namun proses kehadiran ilmu ini tetap dalam wilayah eksistensi diri, bahkan menjadi bagian dari eksistensinya. Oleh karena itu, sebagaimana ‘ekstensitas‘ tidak pernah terpisah dari keberadaan materi, ilmu hudhûrî juga tidak terpisah dari wujud diri. Dalam ilmu hushûlî, ilmu kita yang substansial adalah konsep yang ada dalam benak kita sedangkan entitas yang ada di luar adalah ilmu kita yang hanya bersifat aksidental. Ilmu yang bersifat substansial hanya bisa ditangkap dengan ilmu hudhûrî. Ilmu hushûlî bisa dikaji dalam berbagai aspek, tapi pembahasan yang sangat urgen untuk dibahas adalah berkenaan dengan immaterialitas ilmu tersebut.

Adapun kriteria yang membedakan diantara keduanya yaitu ‘memiliki  perantara’ dan ‘tanpa perantara’. Ilmu pengetahuan yang hadir tersebut terkadang berhubungan langsung dengan objek tanpa perantara, realitas wujud tersebut hadir pada jiwa kita. Terkadang realitas wujud eksternal tidak diketahui secara langsung tapi melalui perantara yang menggambarkan realitas eksternal yang secara istilah disebut dengan ‘bentuk’ atau‘ konsepsi wujud mental (dzihn).

Salah satu misdâq (denotasi) ilmu hudhûrî adalah pengetahuan manusia tentang wujud dirinya sendiri. Pengetahuan ini tidak mungkin diingkari, bahkan kaum shopis pun meyakini bahwa “ukuran dari segala sesuatu adalah manusia”. Jadi, tidak mungkin ada orang yang mengingkari pengetahuan dirinya tentang keberadaan dirinya sendiri.

Baca juga:  Pesantren, Ilmu Hikmah, dan Perdukunan(3): Mendiskusikan Paradigma Ilmu Hikmah dan Perdukunan

Mehdi Ha’iri Yazdi menjelaskan bahwasanya Ilmu hudhuri merupakan bagian dari pengetahuan irfani “pengetahuan yang dihadirkan yang tentu berbeda dengan pengetahuan yang dicari melalui pengetahuan rasional atau yang biasa disebut dengan ‘ilmu hushuli. Seyyed Hossein Nasr menyebutkan bahwa Mehdi H Yazdi mampu menjelaskan perluasan pemikiran dari seorang Suhrawardi dan Mulla Shadra serta membedakan dengan cermat antara pengetahuan yang didasarkan pada konsep dalam pikiran mengenai sesuatu yang sebenarnya tidak hadir dalam pikiran, dengan pengetahuan yang didasarkan pada sesuatu yang hadir dengan sendirinya dan eksistensinya tak terpisahkan dari sumber pengetahuan itu sendiri. Menurutnya, seorang Mehdi Ha’iri Yazdi mampu dengan piawai membahas makna yang lebih dalam dari ilmu hudhuri terkait pengetahuan diri, pengetahuan Tuhan tentang dunia, dan keberadaan dunia sebagai “pengetahuan kehadiran’ oleh Tuhan.

Dalam  kajian  tentang  sumber pengetahuan, Suhrawardi membaginya ke dalam dua bagian, yakni pengetahuan hushuli dan hudhuri. Menurut Suhrawardi, ada dua sarana untuk bisa sampai pada pengetahuan hushuli: pertama dengan memaksimalkan fungsi indriawi atau observasi empiris. Artinya, melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indriawi  (mahsusat), sesuai dengan pembenaran indriawi.

Kedua, melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spiritual (metafisik, ma’qulat) secara silogisme, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui pada hal-hal yang belum diketahui. Sedangkan pengetahuan hudhuri, atau biasa juga disebut pengetahuan dengan kehadiran, hanya bisa diperoleh melalui observasi ruhani. Pengetahuan hudhuri  ini  bersumber  dari  sang  pemberi  pengetahuan tertinggi berdasarkan mukasyafah dan illuminasi.

Menurut Mulla Shadra, secara umum tahapan dalam memperoleh pengetahuan tersebut dengan 2 metode, yaitu hushuli dan hudhuri. Metode hushuli adalah suatu metode mendapatkan ilmu pengetahuan melalui upaya yang disengaja, berdasarkan kemampuan yang dipakai oleh manusia. Metode ini menurutnya terbagi dalam 2 macam, yaitu wahyu (naqly) serta akal (‘aqly). Adapun yang dimaksud dengan metode hudhuri adakah suatu proses dalam memperoleh ilmu dengan melakukan proses perenungan serta penghayatan secara mendalam terhadap suatu obyek, sehingga pengetahuan tersebut hadir dalam kesadaran tanpa abstraksi yang sifatnya rasional. Dalah pengertian lain, metode ini berusaha mendalami proses bagaimana hati (qalb) disandarkan pada obyek (ma’qul). Konsep hudhuri Mulla Shadra berupa proses kemampuan manusia dalam memperoleh totalitas wujud melalui proses mukasyāfah serta musyāhadah dengan situasi sadar bahwa manusia memperoleh pengetahuan tersebut berupa cahaya yang datang dari Tuhan.

Baca juga:  Menghayati Kidung Kematian Rumi

Setelah sampai pada tingkatan tertentu tahapan spiritual tersebut, seseorang akan memperoleh siraman pengetahuan yang datang langsung dari Tuhan secara iluminatif atau ketersingkapan (kasyaf) hingga pada tahap tertentu dia akan sampai pada kondisi musyâhadah yang berujung kepada tingkatan tertinggi yaitu ittihâd. Al-Qusyairi menjelaskan bahwa kondisi kasyf merupakan pencapaian atas kesadaran hati terhadap suatu kebenaran, musyâhadah yang merupakan kesaksian hati pada hakikat kebenaran tersebut, hingga pada tinggkap ittihâd yakni proses bersatunya hati (diri) dengan hakikat.

Dalam kajian filsafat oleh Mehdi H. Hairi Yazdi, persoalan-persoalan tersebut bisa digambarkan seperti suatu kondisi ketika seseorang mampu sampai pada tingkatan spiritual tertentu, dia akan memperoleh realitas kesadaran diri yang sifatnya mutlak hingga dengan kesadaran tersebut ia mampu merasakan secara nampak akan realitas diri sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui dengan proses tersebut. Namun, hakikat kesadaran serta hakikat yang disadari menurutnya bukan objek eksternal, keduanya merupakan suatu eksistensi sama sehingga objek yang diperoleh serta didapatkan ialah kesadaran terkait proses mengetahui itu sendiri.

Dalam pandangan epistemologis, pengetahuan irfani tidak didapatkan melalui representasi melalui indera serta data, bahkan objek eksternal tak mampu berfungsi ketika proses terbentuknya gagasan pengetahuan tersebut. Pengetahuan ini justru terbentuk melalui proses yang disebut dengan unifikasi eksistensial oleh Mehdi Heiri Yazdi sebagai proses pengetahuan melalui ilmu huduri atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge), atau jika dalam pemikiran Wittgenstein (1889–1951 M) disebut dengan teori permainan bahasa (language game) secara tegasnya mendalam bahwa pengetahuan irfani juga merupakan bagian dari bahasa atau ‘wujud’ itu sendiri.

Baca juga:  Ngaji Rumi: Doa yang Menyegarkan Jiwa

Dialog yang berlangsung dalam mimpi ini menjadi penopang teori  pengetahuan-dengan-kehadiran ‘ilm al-hudhuri dan sekaligus sebagai dasar untuk menetapkan peringkat para filsuf. Dari dialog tersebut dapatlah disimpulkan  bahwa pengetahuan, dalam perspektif Suhrawardi, adalah persepsi seseorang melalui kesadaran akan kehadiran dirinya. Pengenalan diri ini pula yang dalam tradisi sufi, menjadi kata kunci untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Ha’iri Yazdi, istilah  kehadiran atau kesadaran dengan-kehadiran ini sering muncul dalam karya-karya Plotinus dan uraian-uraian pengikut Neo-Platonis. Melalui  pengetahuan diri, orang akan sampai pada pengetahuan tentang Tuhan.

Suhrawardi menolak teori peripatetik dan menyatakan bahwa teori tersebut  tidak mampu memberikan pengetahuan yang sejati. Suhrawardi menganggap bahwa teori peripatetik gagal membangun teori pengetahuan yang mapan, yang dapat mendatangkan pengetahuan yang sebenar nya. Kelemahan yang menonjol terdapat pada metode definisi, persepsi indra, dan logika. Dengan melihat kelemahan dan kerapuhan teori Hushuli model peripatetik, Suhrawardi kemudian menawarkan solusi dengan suatu teori yang diyakini dapat mendatangkan pengetahuan sejati yang disebut ilmu hudhuri (al-’ilm al-hudhuri; ittishali, syuhudi), yaitu pengetahuan dengan kehadiran, sejenis penyinaran langsung dari sumber cahaya (‘isyraq hudhuri) dan menempatkan jiwa manusia sebagai penerima  cahaya. Komponen yang sangat mendasar dalam proses ‘ilm al-hudhuri adalah penyingkapan (mukāsyafah) dan penyaksian (musyāhadah). Konsep ilmu hudhuri ini dipelopori Suhrawardi sebagai salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan sejati  setelah ia tidak puas dengan metode epistemologi peripatetik. Jadi, dengan caranya sendiri Suhrawardi menunjukkan sisi kelemahan metode peripatetik untuk menopang pendiriannya.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top