Mendengarkan salah satu ceramah Gus Baha’ tentang cara mengenal Allah, seakan mengingat masa kecil saya yang ingin kenal Allah. Begitu sulitnya saat itu saya mengenal Allah meskipun guru saya di madrasah ibtidaiyyah mengenalkan Allah lewat sifat wajibNya dengan model syair, dari sifat wujud, qidam, baqo’, sampai mutakalliman.
Dengan sekian keterangan, misalnya: wujud artinya ada. Allah bersifat wujud artinya Allah itu ada. Wujudnya adanya Allah adalah wujudnya semesta alam ini. Sesuatu yang wujud harus ada yang mewujudkannya. Dzat yang mewujudkan semesta alam ini di dalam khazanah Islam disebut Allah. Makanya, awal ayat yang diturunkan Allah adalah, bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Artinya, di situlah awal periode Islam masih disebut rabb (Tuhan), lalu periode selanjutnya dikenal dengan sebutan Allah, misalnya: dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang.
Gus Baha punya cara tersendiri dalam mengenal Allah, salah satunya dengan membandingkan dengan sesembahan lain. Misalnya, ketika ada yang menuhankan Nabi Isa dan ibunya (Siti Maryam), lalu Al-Qur’an memberi komentar kepada keduanya dengan ungkapan QS. Al Maidah: 75:
مَّاٱلۡمَسِيحُٱبۡنُ مَرۡيَمَ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُ وَأُمُّهُۥ صِدِّيقَةٞۖ كَانَا يَأۡكُلَانِ ٱلطَّعَامَۗٱنظُرۡ كَيۡفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ ٱلۡأٓيَٰتِ ثُمَّ ٱنظُرۡ أَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ ٧٥
Artinya: Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).
Dari surat al-Maidah: 75 ini menjelaskan dengan sangat sederhana namun memiliki kekuatan melemahkan argumentasi (i’jaz) yakni, Nabi Isa dan Maryam oleh Allah disifati dengan keduanya makan. Artinya, kalau Nabi Isa dan Maryam tidak makan, mereka berdua ada kemungkinan lemas atau lebih parah, mati. Karena sumber energinya berasal dari makanan. Dan ini tentu sama dengan manusia lainnya yang bila tidak makan, maka lemas/mati. Karenanya, salah satu sifat wajib Allah yang lain adalah mukholafatu lil hawadis (Allah berbeda dengan makhluknya).
Gus Sabrang (Noe) menjelaskan lebih jauh tentang salah satu bedanya manusia (makhluk) dengan Allah (kholiq) adalah manusia mengalami limitisasi (keterbatasan) sedangkan Allah tidak. Manusia sesakti apapun, seperti Fir’aun, Gajah Mada, Prabu Siliwangi, Ken Arok termasuk para nabi, ternyata akhirnya mati juga (limitasi). Sedangkan Allah, sejak sebelum semesta ini dicipta, dan sampai akhir dunia (kiamat) Allah tetap bersifat qodim (abadi). Allah tidak mengalami rusak/limitasi.
Dulu saya pernah senang dengan pusaka seperti keris, akik, dan rajah. Tetapi sejak mengerti bahwa yang memiliki pusaka itu juga mati dan hidupnya terlihat kurang bermanfaat di masyarakat, saya pun beralih lebih senang mengamalkan wirid-wirid yang diijazahkan para kiai. Misalnya, membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir, dan bila sudah khatam, kembali ke awal lagi. Membaca sholawat dimana pun dan kapan pun, utamanya selesai sholat. Membaca wirid, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan hauqolah. Belajar ilmu sebagai penerang kehidupan. Mengamalkan dengan mengajarkan kepada mereka yang belum bisa, seperti: mengajarkan Al-Quran kepada anak PAUD dan MI/SD. Di situ saya merasakan kekuatan ilmu dan spiritualitas, tanpa harus merasa sakti tidak tedas bacokan pedang. Sampai pada prinsip menjemput mati dalam ridho ilahi.
Menemukan Allah dapat terjadi dimana-mana, apalagi bila Allah telah membuka hati seseorang. Misalnya, karena dimudahkan Allah dalam mencari rezeki, akhirnya tiap kali melihat ada seseorang di pasar tradisional menjual pisang atau sirkaya, ia tidak menawar. Mengapa? Mencari lama 2 ribu perak saja harus menunggu dari jam 07.00 sampai jam 10.00. Sedangkan seseorang yang ditakdir mudah dalam mendapat rezeki, hanya bicara 45 menit saja, ia mendapat upah 1 juta.
Belum lagi melihat nikmat sehat dan waras. Tiap kali berkunjung ke rumah sakit, di sana banyak orang yang sakit. Apakah karena faktor usia atau pun kecelakaan. Misalnya, ada seseorang yang kakinya diamputasi karena kecelakaan. Hidung diuap karena sesak, sulit bernafas. Dari sini seseorang yang sehat dan waras dapat berjalan ke mana-mana, tubuh tidak merasakan sakit, dan ketika makan dan minum, merasakan nikmat. Inilah sehat dan waras sebagai dasar melakukan segala aktivitas. Karena itu, para kiai sering mengutip hadis yang artinya, banyak manusia lupa atas dua nikmat, yakni nikmat sehat dan nikmat sempat. Seseorang kalau sudah kehilangan kesehatan, apapun rasanya tidak enak. Dan bila diberi kesempatan dapat ibadah, seperti: sholat, ngaji, tahajjud, dhuha, sedekah, dan lain-lain. adalah nikmat sempat yang kadang terlupakan.
Akhirnya, Allah sangat nyata, dengan mengenal makhluknya. Rasa syukur ditakdir menjadi muslim dan mukmin. Nikmat hidup dapat menyaksikan kejamalan dan kejalalan Allah. Wallahhu a’lam.