Lahir di Birmingham, 31 Maret 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan Bahasa Arab dan Terjemah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Potret Perjuangan Ulama (4): Hidup Bersama Buku

Buku ulama

Bagi para ulama, buku telah menjadi separuh jiwa mereka. Kecintaan mereka terhadap buku sangatlah dalam, bahkan dikatakan bahwa bagi mereka “الكتب تحل محل الروح” atau dengan kata lain, “buku telah mendapatkan ruang khusus tersendiri di dalam hidup mereka.”

Karenanya, kehilangan dan rusaknya buku akan sangat menyayat hati mereka, seperti yang dialami oleh Imam Abu Ali al-Farisi, saat itu terjadi kebakaran hebat di kota Baghdad. Seluruh bukunya lenyap hangus terbakar, padahal seluruhnya ia catat dengan tulisan tangannya sendiri.

Galau dan gundah gulana ia rasakan, tak ada yang berani berbicara dengannya setelah kejadian tersebut, sampai akhirnya ia mulai angkat bicara, “Sudah dua bulan ini aku tak berbicara dengan siapa pun, aku memutuskan untuk menyendiri agar pikiranku bisa jernih kembali, dan aku jujur, selama itu diriku sangat kusut seperti orang kebingungan.”

Kemudian ia pun mengeluarkan sebait syair:

و فقد الكتاب كفقد الصواب
فيا هول من قد أضاع الكتب

” Kehilangan buku sama halnya seperti kehilangan akal sehat, maka sungguh miris bagi mereka yang kehilangan bukunya.”

Imam al-Ghazali pernah membagikan kisahnya yang dalam kitab “طبقات الشافعية الكبرى” karya Taajuddin as-Subki.

Dikisahkan, pada suatu rihlahnya, Imam al-Ghazali dihadang oleh sekawanan preman yang saat itu langsung merampas semua barang bawaannya. Al-Ghazali tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa pasrah. Setelah kawanan preman itu pergi, ia mulai kalut marut dan menangis sedih, karena salah satu barang yang dibawa oleh mereka adalah kitab-kitabnya.

Baca juga:  Mengenal Para Mufasir Indonesia

Akhirnya, penulis Ihya Ulumiddin ini memutuskan untuk membuntuti kawanan preman itu. Sayangnya salah seorang preman itu sadar dan segera menarik Imam al-Ghazali sembari mengancam, “Pergilah kamu, kalau tidak kamu akan mati!”

Imam Ghazali menimpali sembari memohon, “Aku hanya minta kalian untuk mengembalikan buku-bukuku, aku sudah melakukan rihlah dan hijrah ke berbagai tempat untuk bisa mendengar dan menguasai ilmu tersebut.”

Mendengar permohonan orang yang dirampasnya, pemimpin kawanan tersebut tertawa dan menjawab, “Bagaimana bisa kamu mengklaim dirimu menguasai ilmu tersebut, tapi ketika buku ini kuambil, dirimu bukanlah apa-apa dan mengemis-ngemis kepadaku untuk mengembalikan bukumu.”

Jawaban ini sungguh menusuk hati Imam Ghazali. Ia tak kuasa menahan tangisnya. Setelah kejadian tersebut ia bertekad untuk menghafal apapun yang ia dengar dan tulis. Benar saja, dalam tiga tahun ia telah hafal seluruh buku yang waktu itu dirampas oleh para kawanan preman itu.

Para ulama tidak pernah perhitungan pada hal yang berkaitan dengan buku. Dalam kitab “فوات الفويات” Ibnu Syakir memaparkan kisah Syekh Jamaluddin al-Qifthi, bahwa semasa hidupnya Syekh Jamaluddin telah mengumpulkan buku dari berbagai tempat, dan tidak ada yang lebih ia cintai di dunia ini selain buku. Menjelang akhir hidupnya ia mewasiatkan seluruh bukunya untuk para penduduk Aleppo, yang mana jika dikalkulasi sekitar 50.000 Dinar. Syekh Abdul Fattah juga menambahkan bahwa hari ini 50.000 Dinar setara dengan sepuluh juta Riyal Saudi, atau mungkin lebih.

Baca juga:  Kiai Ghazalie Masroeri yang Saya Kenal: dari Perkara Tidur hingga Terima Uang

Kisah lainnya datang dari syekh Ahmad bin Qosim yang terkenal dengan sebutan al-Hajjar. Pada suatu hari ia melewati suatu maktabah yang menjual kitab-kitab, matanya tertuju pada satu buku, tapi pada saat itu ia tidak punya uang sepeser pun, hanya pakaian yang menempel di tubuhnya. Kemudian ia memutuskan untuk melepas bajunya tersebut dan menjualnya, agar bisa membeli buku yang ia incar.

Terakhir, Syekh Muhammad Sulaiman menuliskan dalam kitabnya berjudul Min Akhlaqil ‘Ulama  (من أخلاق العلماء) bahwa Imam Yahya bin Mu’in kala itu mendapatkan warisan dari ayahnya berupa uang sebesar satu juta dirham, sungguh uang yang bukan sedikit. Tapi tak diduga, yang ia lakukan pada uang itu adalah menginfakkan seluruhnya untuk keperluan para penuntut ilmu khususnya hadis. Tak ada yang tersisa dari warisan tersebut kecuali sepasang sendal yang ia pakai pada saat itu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top