Tarekat sebagai komunitas persaudaraan kaum muslimin yang berlandaskan spiritualitas Islam (tasawuf) sejak awal hingga perkembangannya di abad ke-13 dan 14, kemudian lagi di abad ke-17 dan 18, selalu memantik persoalan di antara para ulama, terutama ulama hadis dan fikih dengan para ulama tasawuf sendiri.
Para ulama syariat yang berorientasi pada dimensi lahir seringkali sulit menerima aspek-aspek kebatinan yang menjadi kecenderungan pengamalan beragama ahli tarekat. Mereka melihat banyak penyimpangan terjadi, tidak saja dalam hal yang bersifat amaliah, bahkan dalam hal tafsir atas Alquran sebagai sumber utama amaliah agama itu sendiri, yang dijadikan sandaran bagi sebagian ahli tarekat.
Seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah (dalam Fazlur Rahman) kesalahan kadang timbul karena menganggap sesuatu yang tidak sah (sahih) sebagai sesuatu yang sah menurut hukum karena (salah) penafsiran.
Jika kita melihat posisi Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikatakan oleh beberapa sejarawan Islam sebagai orang yang berafiliasi ke dalam tarekat Qadiriyah, kita bisa mengasumsikan kritik-kritiknya sebagai otokritik atas keberadaan tarekat yang menjamur, yang menurutnya mulai mengalami ketidaktentuan dan secara perlahan berkembang menjadi tidak terkontrol.
Ia menyebut sisi negatif dari “neo-fikih”, “neo-kalam”, dan “neo-tasawuf” yang tergelincir ke arah bid’ah yang mengakibatkan perpecahan di kalangan umat Islam, yang saling mengkafirkan satu sama lain. Yang lebih parah lagi menurut Ibnu Taimiyah, bagian dari kebenaran telah ditinggalkan sedangkan bagian dari kesalahan diambil, dan antara kebenaran dan kebatilan dicampuradukkan.
Salah satu doktrin tasawuf yang banyak dijadikan pegangan oleh sebagian ahli tarekat, yang banyak dikritik oleh ulama hadis dan fikih terlepas dari mereka juga bertarekat atau tidak, adalah wahdatul wujud. Doktrin atau paham ini menurut beberapa ilmuan Islam paling banyak disalahpahami.
Pada awal abad ke-17, Ahmad Sirhinidi—salah seorang ulama ahli tarekat yang berafiliasi ke Naqsyabandiah—menyerang praktek-praktek tarekat sinkretik di India di bawah pengaruh kuat ajaran-ajaran Ibnu ‘Arabi itu. Ahmad Sirhindi dalam usahanya yang intens berusaha menempatkan doktin tasawuf (tarekat) di bawah kendali hukum syariat yang benar.
Kurang lebih demikian pula yang terjadi di nusantara yang dilakukan oleh Syekh Nuruddin al-Raniri di Aceh terhadap para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, yang dicap al-Raniri sebagai panteis dan sesat.
Di sisi lain bukannya tidak ada pembelaan dari para ulama ahli tarekat sendiri. Yang mengemuka di abad ke-18, saat Abdurrauf al-Sinkili (sebelum mengarang Tanbihul Masyi) meminta fatwa dari Ibrahim al-Kurani, keduanya berafiliasi ke dalam Tarekat Syattariyah, atas pertentangan yang disebabkan paham wahdatul wujud.
Al-Kurani lalu mengarang Ithafudz Dzaki, sebagai penjelasan bahwa paham wahdatul wujud tidak bertentangan dengan akidah Islam yang benar dan syari’at yang dijalankan Rasul saw dan para sahabat hingga para tabi’in. Otoritas al-Kurani sebagai ahli kalam, hadis dan (ilmu) kebahasaan, dianggap sebagian besar ulama pada zamannya mampu menjembatani pertentangan ini. Meski demikian, tidak sedikit kritik diarahkan kepadanya.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap ajaran dan praktek tarekat, sebagian ilmuan berpendapat bahwa kesinambungannya dalam dinamika sosial ke-Islam-an dengan segala persoalannya, ini menunjukkan sifat kelenturan tarekat. Baik dalam kesediaannya “membersihkan” diri dari segala “penyimpangan”, maupun kesungguhannya menjalankan ajaran-ajaran para guru sufi yang merupakan pewaris Nabi.
Dan tak dapat dipungkiri peran ahli tarekat itu dalam membela agama baik dari rongrongan para penguasa otoriter, maupun dari serangan-serangan (peperangan) dari Timur dan Barat, dan bagaimana mereka menarik manusia dari beragam latar belakang agama dan budaya ke dalam ajaran Islam yang menjadi warisan Nabi saw dan para ulama yang benar.
Fungsi Guru dalam Tarekat
Syekh atau guru, seperti kata Abubakar Aceh, mempunyai kedudukan yang penting dalam tarekat. Syekh tidak saja merupakan seorang pemimpin yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan sehari-hari, agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam dan terjerumus ke dalam maksiat (berbuat dosa besar dan kecil) yang segera harus ditegurnya, tetapi juga merupakan pemimpin kerohanian yang tinggi sekali kedudukannya secara spiritual.
Kata Syekh Amin al-Kurdi dalam Tanwirul Qulub, (seorang) syekh yang menjadi guru dalam tarekat ini (Naqsyabandiyah) akan berupaya mendisiplinkan murid dengan menambahkan rasa cinta kepadanya. Seorang mursyid adalah pewaris Nabi saw. Dengan kondisi-kondisi ruhaninya yang khusus ia “memberikan” keterpikatan ruhani (jadzbah), memancarkan cahaya-cahaya ketuhanan ke hati para pencari Tuhan Yang Mahabenar (al-Haqq).
Syekh Ragip al-Jerrahi (Robert Frager), mengatakan bahwa praktek tasawuf adalah obat dan syekh (guru) adalah dokternya. Seperti para guru pada umumnya, para syekh menyampaikan apa yang telah mereka pelajari.
Sebagai pembimbing spiritual, mereka harus cermat dan memiliki pengetahuan mengenai para darwis (murid) mereka, dan terlatih di dalam memberikan bimbingan yang benar pada saat yang tepat.
Seperti seorang pelatih olahraga yang mampu mengantar seorang atlet mencapai tingkat yang melampaui kemampuan sang pelatih, maka para syekh dapat mengarahkan murid melampaui tingkat spiritual mereka sendiri. Syekh Ragip juga mengutip perkataan gurunya (Syekh Mozaffer), walaupun syekh seringkali disimbolkan sebagai matahari dan para darwis sebagai planet-planet, syekh layaknya cermin atau pemancar, melalui dirinya cahaya dan rahmat yang mengalir (memancar) yang bersumber dari Allah.
Ada banyak lagi perumpamaan guru bagi seorang murid yang merepresentasikan fungsi kehadirannya dalam sebuah tarekat, perannya dan kewajiban-kewajibannya terhadap murid. Pada dasarnya, hubungan guru-murid yang penuh adab dan saling terikat ini ingin mencontohkan bagaimana peran Rasul saw terhadap para sahabatnya.
Kadang adapula dituliskan tentang adab murid terhadap guru mursyid dalam aturan-aturan yang ketat, yang bagi orang awam dan berpikiran bebas terkesan mengekang dan bersifat feodalistik. Yang demikian bukanlah sebuah hal yang negatif, kecuali ia merupakan pengajaran kepada para salik bagaimana menempatkan hatinya selalu dalam kerendah-hatian.
Jika kepada guru yang memberikan pengetahuan dan pemahaman spiritual saja seorang pencari kebenaran tidak mampu merendahkan dirinya sedemikian rupa, bagaimana mungkin ia bisa menerima kebenaran. Seperti halnya para penentang Rasul saw dari kalangan Quraisy, yang merasa diri sama tinggi dan derajatnya. Dan bagaimana bisa, mereka sampai kepada Allah tanpa kesombongan, seperti halnya iblis yang mempertanyakan perintah-Nya.
Peran Tarekat terhadap Masyarakat
Tidak sedikit ahli yang menganggap pengaruh positif yang ditularkan oleh kelompok-kelompok tarekat, baik ke dalam, pada orang Islam sendiri, maupun keluar kepada orang-orang yang awalnya skeptis dan menganggap buruk agama Islam. Banyak peneliti dari Barat, yang tentu saja bukan beragama Islam, tertarik kepada Islam melalui (ajaran-ajaran) tarekat lalu akhirnya memeluk Islam.
Menurut Martin van Bruinessen ada satu ciri yang tak boleh diabaikan dalam pembahasan mengenai tarekat dan politik. Biasanya murid yang telah dibaiat ke dalam tarekat tertentu akan tetap menjaga hubungan khusus dengan gurunya dan juga dengan sesama murid.
Jika tempat tinggal guru tidak terlalu jauh, para murid secara teratur ikut zikir bersama dan cenderung lebih banyak bergaul sesama “ikhwan” daripada orang lain. Seorang syekh besar biasanya punya beberapa orang wakil (khalifah, badal), dan melalui mereka memimpin puluhan ribu murid yang tersebar secara luas. Jaringan para syekh dengan wakil-wakil mereka merupakan suatu organisasi informal yang kadangkala sangat berpengaruh.
Seperti juga disebutkan melalui teori guru sufi dalam hal kedatangan awal Islam ke nusantara, bahwa pengaruh-pengaruh para syekh ini sangat berjasa dalam islamisasi yang lebih massif dan meluas. Pengaruh mereka juga dirasakan di dalam istana-istana para raja. Dengan pendekatan yang persuasif-akomodatif, terutama terhadap kepercayaan pra-Islam di nusantara, mereka mendapat dukungan dari para penguasa untuk meluaskan dakwah Islam. Sebaliknya, secara moral dan spiritual mereka juga memberikan dukungan kepada para penguasa yang mendukung mereka.
Dalam kasus-kasus seperti di Jawa (pasca Majapahit), Sumatera, dan kerajaan-kerajaan Melayu umumnya di Asia Tenggara, peran para guru sufi ini dirasakan tidak hanya sebatas hubungan pengajaran agama secara formal, tapi juga dukungan politik dalam menguatkan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam awal di nusantara.
Hubungan yang saling menguatkan antara para syekh tarekat (guru sufi) dan para penguasa ini terus berkesinambungan hingga ke masa-masa berikutnya. Bahkan, mereka terlibat dalam beberapa peperangan melawan kolonialisasi.
Dalam kasus Tarekat Khalwatiyah di Banten, misalnya, sangat besar peran Syekh Yusuf al-Makassari yang merupakan penasehat Sultan Ageng Tirtayasa dalam mengerahkan para prajurit Bugis di kesultanan Banten untuk turut serta dan menguatkan tentara dan armada Banten di dalam peperangan terhadap Belanda.
Begitu juga peran Syekh Abdussamad, syekh Tarekat Sammaniyah, dan murid-muridnya dalam peperangan masyarakat Palembang melawan kolonialisasi Belanda yang berusaha menaklukkan kota mereka pada tahun 1819. Demikian juga Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan dalam perang ‘Beratip Be’amal’.
Dalam contoh yang lain, ajaran-ajaran para syekh tarekat ini juga membentuk suatu kekerabatan yang kuat, dan pengembangannya di beberapa kerajaan Islam di nusantara membentuk strata sosial tertentu. Seperti dinyatakan Van Bruinessen, di kerajaan Buton, ajaran tasawuf mengenai martabat tujuh telah dipakai sebagai legitimasi sistem politik kerajaan.
Proses emanasi (tajalli) diidentikkan dengan stratifikasi masyarakat. Menurut teori sufi martabat tujuh, pada tiga tahap pertama proses tajalli Tuhan bersifat tanzih (transendental, secara mutlak berbeda dari sifat-sifat alam), sedangkan empat tahap berikut (dengan sifat tasybih, immanen) merupakan manifestasi-Nya dalam alam semesta. Di Buton, tiga golongan bangsawan (yang dulu, agaknya, dianggap berasal dari dewata) diserupakan dengan tiga tahap tanzih itu, sedangkan empat tahap tasybih diidentikkan dengan empat lapisan masyarakat: raja, bangsawan, orang awam, dan budak.
Kurang lebih begitu pula peran tarekat Naqsyabandiah dan tarekat Sammaniyah di Lombok dan Sumbawa dalam membentuk tatanan sosial masyarakat ke dalam struktur yang kokoh, meski kini sudah tidak sedemikian lagi, namun pengaruhnya masih bisa dirasakan dalam kelompok-kelompok masyarakat terkait.
Fenomena demikian terus berkesinambungan hingga kini, di Mesir dan beberapa negara Afrika, Turki, Asia Tengah dan Asia Tenggara. Tidak kurang dari peran tarekat Alawiyah (melalui peran Habib Umar bin Hafidz dari Hadramaut dan murid-muridnya), tarekat Naqsyabandiyah Haqqani (melalui Syekh Nazhim Haqqani dan Syekh Hisyam Kabbani), dan lain-lain, dapat menarik minat yang lebih besar. Tidak hanya para imigran di negeri Eropa dan Amerika, tapi juga pelajar-pelajar dan kalangan profesional setempat. Setidaknya komunitas-komunitas tarekat ini dapat memberikan perimbangan atas stigmatisasi Barat terhadap Islam radikal yang memperburuk citra Islam di mata Barat.
Ajaran mereka tentang cinta kasih dan Islam yang menyejukkan serta menentramkan bisa masuk ke dalam jantung peradaban Barat yang materialistik. Memberikan kepada mereka yang kering jiwanya, sentuhan yang lebih dalam melalui nilai-nilai individual dan kemanusiaan serta mempertalikan mereka ke dalam rasa persaudaraan yang bersifat universal.