Sedang Membaca
Cerita Fiona, Mahasiswa Kristen yang Kuliah di UIN Salatiga: Menghapus Prasangka, Meyakinkan Orang Tua
Nurul Hanivah
Penulis Kolom

Seorang penyayang kucing dan suka nonton film. Menekuni pekerjaan sebagai penerjemah Bahasa Inggris. Pegiat isu inklusivitas dan gender. Sedang berproses di organisasi kemahasiswaan dan GUSDURian Kebumen.

Cerita Fiona, Mahasiswa Kristen yang Kuliah di UIN Salatiga: Menghapus Prasangka, Meyakinkan Orang Tua

Fiona

Dalam sebuah obrolan santai dengan salah seorang kawan lama, kami bernostalgia dan mengenang kembali masa putih abu-abu. Hal menarik tentang kawan saya di masa itu adalah bahwa ia satu-satunya siswa beragama Kristen di kelas kami. Uniknya juga, ia hafal doa-doa pendek seperti doa makan sampai surah al-Ikhlas dan al-Fatihah. Selain itu, dia juga hafal nama 25 nabi dan rasul dalam Islam. Waktu ditanya kenapa bisa hafal, katanya ia tinggal di lingkungan yang heterogen dan sudah terbiasa berinteraksi dengan perbedaan agama dan budaya di sekitarnya.

Cara hidup demikian, yang belakangan saya pahami sebagai konsep toleransi, telah lama kami praktikkan di sekolah. Ia sudah menjadi bagian dari keseharian kami, tanpa kami pernah mendefinisikannya. Pengalaman semacam ini turut berkontribusi membentuk kesadaran saya secara pribadi tentang penerimaan dan penghargaan terhadap keberagaman, khususnya di dunia yang sedang saya jalani, yakni dunia pendidikan. Termasuk ketika menjumpai mahasiswa yang beragama Kristen berkuliah di kampus UIN. Saya rasa ini tidak banyak terjadi sehingga akan menarik jika dinarasikan.

Ini adalah cerita Fiona, mahasiswi beragama Kristen yang menempuh studi di UIN Salatiga. Fiona merupakan salah satu dari 20 awardee beasiswa hasil kerjasama Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) di Sabah Malaysia dengan kampus UIN Salatiga. Dalam wawancara penulis dengan Fiona via telpon, mahasiswa asal Malaysia ini membagikan cerita tentang asal usulnya dan kenapa ia bisa berkuliah di Indonesia.

Fiona sebenarnya berdarah Indonesia. Leluhurnya berasal dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan, wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan. Para kerabat, kakek dan neneknya masih tinggal di sana. Hingga suatu masa, ayah ibunya merantau ke Malaysia sebagai TKI. Fiona lahir dan menempuh pendidikan sampai tingkat menengah di sana. Saat akan memasuki jenjang kuliah, Fiona mendapatkan kesempatan untuk kuliah dengan beasiswa. Jalan inilah yang kemudian membawanya sampai di kampus UIN Salatiga.

Baca juga:  Gus Yahya: Ikatan Cinta itu Sudah Ada di antara Kita

Berawal dari Sebuah Prasangka

Keputusan Fiona sempat mendapatkan ganjalan dari orang tua. Sebab, statusnya yang beragama Kristen lalu masuk kampus dengan label Islam. “Awalnya orang tua tentu saja tidak yakin dan mempertanyakan keputusan saya mengingat bahwa kampus UIN merupakan kampus Islam. Kemudian saya meyakinkan bahwa meskipun kampusnya Islam tetapi juga menerima mahasiswa dari agama lain. Selain itu, kampus juga mengundang orang tua untuk berkomunikasi via zoom sehingga pada akhirnya, kedua orang tua saya menjadi yakin dan merestui keputusan saya itu,” jelasnya.

Melihat respon awal kedua orang tua Fiona, kita bisa melihat bahwa prasangka antar umat beragama masih kuat. Masih ada kekhawatiran untuk berbaur dengan orang-orang yang berbeda keyakinan karena faktor ketakutan akan goyahnya akidah atau keyakinan. Sehingga untuk meruntuhkan prasangka ini, diperlukan upaya pendekatan berupa contoh praktik baik moderasi yang sudah dilakukan.

Fiona pun menceritakan proses studinya. Baik terkait jurusan yang diambil maupun materi pembelajaran di kampus UIN Salatiga. “Pertimbangan awal memilih jurusan yang umum karena kebanyakan jurusan terkait dengan keislaman. Awalnya milih jurusan bisnis digital dan teknologi informasi, tetapi yang lolos adalah teknologi informasi. Pun setelah masuk jurusan teknologi informasi, saya juga tetap mendapatkan mata kuliah agama Islam. Namun sejak semester dua kemarin, kami yang beragama Kristen ini juga diberikan mata kuliah agama Kristen yang diampu oleh dosen dari UKSW. Sehingga, kami mendapatkan pembelajaran agama Islam dan Kristen,” terangnya.

Upaya kampus untuk menghadirkan dosen yang mengampu mata kuliah agama Kristen, mata kuliah yang sebelumnya tidak ada dalam kurikulum kampus, juga perlu diapresiasi. Ini merupakan wujud kampus memfasilitasi pemenuhan pengetahuan agama sesuai keyakinan mahasiswanya. Selain itu, kampus UIN Salatiga yang menerima mahasiswa tanpa melihat latar belakang keyakinan juga menunjukkan sikap kampus yang tidak eksklusif, bahwa hak belajar di sana tidak dibatasi oleh agama.

Baca juga:  Diaspora Santri (9): Djauhari Oratmangun: NU Berperan Signifikan dalam Diplomasi Internasional

Belajar Memaknai Toleransi yang Sesungguhnya

Setelah berhasil mendapatkan restu orang tuanya, Fiona berhadapan dengan tantangan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia. Ia menceritakan awal kedatangannya ke sini dan menjadi mahasiswa di UIN Salatiga. Awalnya, ia sempat khawatir berada di antara mayoritas mahasiswa yang beragama Islam.

“Pertama kali datang ke Jawa dan masuk kuliah, saya kaget karena ternyata hanya ada tiga orang non muslim, termasuk saya. Awalnya agak canggung juga, dilihatin karena tidak pakai kerudung sedangkan mayoritas mahasiswinya berkerudung. Saya jadi merasa aneh, tapi lama kelamaan mulai terbiasa,”terangnya.

Selain terkait dengan agama, Fiona juga mengalami culture shock dengan makanan dan budaya di Jawa yang sangat berbeda dengan negara asalnya.

Kalau makanan di Malaysia dominan asin sedangkan di sini semua manis. Selain itu juga faktor bahasa. Ingat sekali pas pertama kali masuk UIN, teman-teman ngomong bahasa Jawa jadi saya tidak mengerti mereka ngomong apa. Kalau pakai bahasa Indonesia, saya mengerti,kenangnya.

Meski sempat mengalami kesulitan untuk beradaptasi, sekarang Fiona mulai bisa menikmati kehidupannya sebagai mahasiswa di UIN Salatiga. Ia menceritakan fase-fase sulitnya untuk beradaptasi dengan kultur kampus Islam.

“Awalnya agak sulit, terutama karena kami tidak memakai kerudung. Suka ada teman-teman yang membujuk, ‘ayolah pakai kerudung’ atau ‘ayo login aja’ gitu. Awalnya saya bingung mau menanggapinya bagaimana, sempat saya terbawa perasaan juga. Tetapi sekarang sudah biasa saja, malah jadi candaan saja di antara kami,”jawabnya sembari tertawa.

Fiona juga menceritakan meski sempat kaget dengan kehadiran mahasiswa yang berbeda keyakinan, tetapi teman-temannya menyambut baik dan memperlakukannya dengan baik pula. Prasangka-prasangka yang awalnya ia khawatirkan ternyata perlahan mulai memudar. Berganti menjadi penerimaan dan sikap gotong royong dalam bingkai keberagaman.

Baca juga:  Warisan Budaya: Dari Gerimpheng Aceh Hingga Ndambu Papua

“Teman-teman sangat baik, meskipun awalnya kaget juga kok bisa saya kuliah di UIN. Sudah lebih dari saudara bagi saya karena mereka tidak pernah menjauhi kami meskipun kami beragama Kristen. Mereka terima kami dengan baik, malah mereka bilang ‘kalau ada apa-apa, bilang aja ke kami nanti kami bantu gitu,” terang Fiona.

Berefleksi dari pengalaman Fiona, seorang mahasiswa beragama Kristen yang berkuliah di kampus Islam, Fiona memaknai arti toleransi yang sebenarnya. Prasangka yang semula tertanam di benaknya, bahwa kehadirannya sebagai minoritas di kampus Islam tidak akan mewujud sebagai toleransi tetapi faktanya justru sebaliknya.

“Dulu saya berfikir kalau di UIN itu toleransinya kurang ya, misalnya membeda-bedakan kami dengan yang lain gitu. Tapi ternyata sampai sejauh ini saya kuliah semester tiga, Puji Tuhan, mereka itu baik banget. Mereka ramah-ramah semua, toleransinya bagus,”ungkapnya.

Kehadiran Fiona dan teman-teman yang beragama Kristen di kampus UIN Salatiga diterima dengan baik. Tidak ada sekat perbedaan keyakinan dan latar belakang yang menjadi penghalang bagi mereka untuk bersosialisasi dan menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa. Mahasiswa yang tujuan utamanya adalah menuntut ilmu untuk masa depannya. Menurut Fiona, ia merasa sangat nyaman dengan kehidupan di sini. Sampai saat ditanya rencananya kedepan setelah lulus, ia menyampaikan bahwa ia ingin tetap tinggal di Indonesia.

“Saya ingin tetap di Indonesia, dan bekerja di Indonesia. Lebih nyaman dan mudah hidup di sini secara administrasi. Selain itu, gelar akademik saya juga lebih relevan digunakan di Indonesia. Lagi pula, status kewarganegaraan saya juga tetap Indonesia, meskipun saya lahir dan besar di Malaysia,” pungkasnya.

Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top