Mendiskusikan Jalaluddin Rumi (W.1273 M) dan tradisi mistiknya adalah pekerjaan yang tidak saja membutuhkan ijtihad intelektual, tetapi juga kesabaran batin. Hal ini disebabkan karena buah pena Rumi bukan semata-mata karya teoritis yang mudah dilacak melalui pendekatan intelek tetapi ia merupakan ekspresi batin yang sangat puitis-simbolik.
Kedalaman mistiknya walaupun sudah tertekstualisasikan, tetap saja mengandung misteri dan tak tersentuh oleh kekuatan nalar. Rumi sendiri menyadarinya bahwa pengalaman batinnya tidak mungkin tertembus oleh pandangan orang biasa: “Setiap orang adalah sahabat bagiku dalam hal pendapat. Namun siapapun tidak akan mampu menyelami rahasia-rahasiaku”.
Itulah sebabnya, “The Great Comentator of Rumi”, William C. Chittick, di dalam tulisan-tulisannya membiarkan Rumi berbicara sendiri. Sebab menurut pengakuannya, “jika orang berusaha untuk mensistematisasikannya, hal itu dikhawatirkan akan menyebabkan ketersesatan”. Pengagum Rumi lain seperti Annimarie Schimmel memerlukan waktu hampir 40 tahun untuk bisa menyelami mistik Rumi.
Memasuki larik-larik puisi Rumi seakan memasuki dunia yang indah, penuh kejutan-kejutan, yang terkadang berseberangan dengan logika umum. Tetapi justru keunikan dan keaslian imajinatif Rumi inilah yang membawa keutuhan puisi-puisinya kedalam penjiwaan pembacanya. Rumi menjadi simbol kepiawaian kata. Ketangkasannya menyelipkan ayat al-Qur’an dan Hadis ke dalam puisinya, keahliannya menyisipkan perkataan-perkataan kaum Sufi kedalam kidung-kidung indahnya, sulit dicari tandingnya.
Sebagaimana tradisi mistik yang ditekuni para sufi sebelumnya, Rumi juga melakukan jihad spiritualnya dengan banyak mengungkapkan tema-tema sufistik. Sekali waktu ia berbicara tentang kesatuan bersama Tuhan (Unity of God, Wahdah al-Wujud), ia berbicara juga tentang hati sebagai cermin manusia. Tetapi ia berbicara terutama tentang cinta.
Dari sekian banyak ajaran-ajarannya, Rumi tidak pernah menyusunnya secara sistematis sebagaimana para sufi sebelumnya atau sesudahnya. Sebagai perbandingan, Ibn Arabi, sufi yang mendahuluinya sekaligus sebagai gurunya, diantara karya-karyanya seperti, Fushus al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyah adalah dua karya monumental Ibn Arabi yang disusun secara sistematis. Misalnya juga, sufi dan filosof Mulla Shadra dengan karyanya yang terkenal, al-Hikmah al-Muta’aliyah, juga disusun secara sistematis.
Akan tetapi, sungguhpun tidak sistematis karya-karya tasawuf lainnya, karya-karya Rumi tidak mengurangi kedalaman kualitas isinya. Hampir seluruh tema-tema tasawuf yang pernah dibicarakan oleh tokoh sebelumnya, juga ia bicarakan. Tiga tema besar seperti Tuhan, manusia dan alam sebagai Trilogi Metafisika, tidak luput dari perenungannya.
Dalam membicarakan tiga tema ini yang juga telah dimaklumi dalam diskursus Kalam dan Filsafat, Rumi mengacu pada sumber-sumber inti yaitu al-Qur’an, Sunnah dan ajaran-ajaran para sufi sebelumnya dengan menjadikan Tauhid dan cinta sebagai basis dari seluruh ajarannya.
Diantara karya-karya Rumi yang popular adalah: pertama, Diwan-I Syams-I Tabrizi yang memuat lebih dari 40.000 syair. Kedua, Matsnawi (untaian sajak dua baris), terdiri dari enam buku persajakan yang bersifat didaktis yang memuat syair-syair panjang dari 3810 hingga 4915 syair. Karya ini mempresentasikan karya pribadi yang disusun secara sistematis. Matsnawi menurut Willian C. Chittick mempresentasikan rasa spiritual yang dalam tentang berbagai dimensi kehidupan dan latihan-latihan rohani. Lebih dari itu, ia mampu menghantarkan orang untuk duduk dan merenung tentang makna kehidupan.
Ketiga, Fihi Ma Fihi, diedit oleh Badi’uzzaman Furuzanfar, Teheran: Amir Kabir, 1348 SH/1969, diterjemahkan oleh Arthur J, Abrerry menjadi Discours of Rumi, London Murray, 1961. Jerman: Von Allem und Vom Einin, diterjemahkan oleh Annimarie Schimmel, Minich: Deiderichs, 1988. Disamping ketiga karyanya itu, ada beberapa karya lainnya seperti Majlis-I Sab’ah (tujuh pertemuan), Makatib (surat-surat).
Syahdan, dari sisi sumber ajaran tasawufnya, Rumi tidaklah berbeda dengan para pemikir Islam pada umumnya. Hanya saja ia memiliki keunikan-keunikannya sendiri yang jarang ditemukan pada sufi sebelumnya. Di atas disinggung bahwa Rumi menjadikan al-Qur’an, Sunnah, dan ajaran sufi sebelumnya sebgai sumber inspirasinya. Sedangkan alat yang ia pakai untuk memahami realitas adalah dengan pendekatan intuitif.
Pendekatan ini tidaklah aneh bagi seorang sufi. Pendekatan rasional dan empiris bagi Rumi tidak akan pernah mampu menembus realitas yang tidak tampak, justru yang tak tampaklah yang merupakan sumber dari segala sumber. Menurut Rumi, upaya para filosof dan pengagum empirisme dalam menemukan realitas boleh dibilang sia-sia. Nada sinis Rumi terhadap filosof misalnya: “para filosof boleh bangga dengan seribu satu macam ilmu pengetahuan, tetapi tentang dirinya sendiri, mereka tidak tahu apa-apa”. Demikian juga terhadap pendekatan empirik, ia berkata: “bagi mereka yang tidak dapat melihat unta di atas menara, bagaimana mereka dapat melihat jarum di mulut unta”.
Nada sinisme Rumi terhadap para filosof dan pengagum pendekatan empirik tidaklah dalam konteks penggagalan dua kredibilitas; akal dan indera, tetapi sedang menunjukkan kekuatan masing-masing dalam memahami Realitas. Tentu saja Rumi mengakui keberadaan akal sebagai alat pencari kebenaran. Hanya saja ia membagi akal kepada dua kategori; Akal Parsial (dengan a kecil) dan Akal Universal (dengan A besar). Akal Parsial, sebagaimana yang kita nilai adalah akal yang harus dicari melalui belajar. Sedangkan Akal Universal adalah akal pemberian, dan ini hanya dimiliki oleh Nabi dan orang-orang suci.
Dengan demikian, dari segi sumber dan metodologi, Rumi mengajak para pembaca untuk menyelami realitas dengan sumber dan media yang valid dan meyakinkan. Di samping sumber dan metodologi, Rumi juga menjadikan “cinta” sebagai tema sentral di hampir seluruh karyanya. Tema cinta inilah yang kemudian menjadi cirri paling menonjol dalam tasawufnya.