Di era saat ini, kita kerap kali disuguhi berbagai potongan-potongan video yang bersumber dari CCTV, screenshot WhatsApp, dan lain-lain, yang bisa jadi dianggap sebagai sebuah kebenaran bagi banyak orang karena bersumber dari kenyataan empirik di lapangan.
Orang bisa dengan cepat mencurigai seseorang mencuri dengan melihat tayangan gerak gerik seseorang lewat CCTV, orang dapat menyimpulkan perselingkuhan hanya lewat screenshot obrolan WhatsApp yang nampaknya romantis, orang dengan mudah mengklaim orang lain sesat karena sebuah potongan tayangan ibadah yang caranya berbeda dari kebanyakan orang. Dan tidak menutup kemungkinan, kita ini justru bagian dari orang-orang yang berpikir dangkal, yaitu orang orang yang dengan sangat mudah percaya dengan fakta-fakta empirik yang disajikan oleh media sosial saat ini.
Para filsuf meski dilahirkan pada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, namun jejak jejak pemikirannya hingga kini layak untuk dibaca kembali kemudian menjadi bahan renungan. Salah satu filsuf yang popular dan dianggap sebagai bapak filsafat modern adalah Rene Descartes.
Descartes memperkenalkan pada kita bagaimana mencari sebuah kebenaran. Kebenaran tidak cukup dengan percaya pada fakta-fakta empiris, namun fakta-fakta empiris ini perlu diverivikasi dengan rasionalitas, akal budi. Mengapa kita perlu mempertanyakan lagi fakta-fakta empiris? Padahal yang empirik adalah kenyataan yang sebenarnya terjadi di lapangan? Jawabnya adalah karena bukti-bukti empiris kerap kali menipu kita sebab Indra kita terbatas. Indra kita tidak bisa dijadikan sesuatu sumber tunggal kebenaran. Disamping itu, bisa jadi kebenaran yang selama ini bertahun tahun kita yakini, ternyata belum tentu benar. Dalam buku Filsafat untuk Umum (2003) Bambang dan Radea Yuli, melukiskan situasi saat itu:
Pada saat itu ilmu pengetahuan alam saat itu telah berkembang pesat, Galileo menyatakan bahwa bukan bumi pusat dunia, namun mataharilah pusat dunia, Galileo tak sekedar percaya pada kebenaran lama, ia melakukan eksperimen dan hasilnya adalah kebenaran baru yang cukup meresahkan pemelihara kebenaran saat itu. Lewat eksperimennya Galileo menemukan kesimpulan bahwa indera kita sangat menipu. Akal budilah yang menunjukan kita kepada kebenaran. Dengan kata lain, meskipun matahari bergerak melintasi langit dari timur ke barat, sebenarnya ia tidak bergerak seperti itu. Akal bumi menunjukan bahwa bumi lah yang bergerak dan justru matahari itu diam.
Situasi itulah yang nampaknya memicu Descartes untuk mengembangkan metode skeptis, menyangsikan segala sesuatu. Menurut Descartes, kita perlu mempertanyakan, kita perlu skeptis, meragukan. Descartes menyatakan dalam bukunya ,Meditations On First Philosophy, ‘doubt is the origin of wisdom’,keraguan adalah asal mula dari kebijaksanaan. Meragukan justru awal mula dari tersingkapnya sebuah kebenaran. Descartes ingin mengajak kita untuk skeptis, meragu kepada apapun, jangan mudah percaya. Segalanya perlu diteliti ulang.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana cara menganalisis kebenaran? Lebih lanjut dalam bukunya Meditations On First Philosophy, Descartes memperkenalkan kita pada analogi “apel busuk”, yaitu ketika seseorang ingin menyingkirkan apel busuk dari tumpukan sekeranjang apel agar apel-apel segar tidak tertular busuk. Tidak cukup sekiranya kita hanya mencomot apel-apel yang busuk tersebut, Descartes punya cara yang lebih ekstrim agar lebih berhati-hati dan teliti. Pertama-tama “suntak”, tumpahkan semua apel-apel yang ada dalam keranjang tersebut.
Kemudian pilah-pilah dengan teliti satu persatu mana apel yang busuk dan mana apel yang masih segar. Dengan seperti itu, kita akan benar-benar mendapatkan apel yang segar. Pun dengan kebenaran. Ragukan semua kebenaran baik yang bersumber dari pengetahuan tradisional maupun kesan indrawi. Setelah itu cek satu persatu dengan teliti, sehingga kebenaran itu menjadi “clear and distinct”.
Skeptis, meragukan sesuatu atau segala sesuatu, bagi sebagian orang mungkin adalah cara yang tidak tepat. Menysangsikan keberadaan Tuhan misalnya, kerap dianggap sebagai perbuatan yang “haram”. Namun dengan meragu justru Descartes ingin mengajak kita untuk berpikir. Mengsangsikan Tuhan artinya juga memikirkan Tuhan. Hidup untuk berpikir. Dengan berpikir itu malah menunjukan bahwa kita ada, kita hidup, dan kita sehat, sebagaimana dalam jargonnya yang terkenal, cogito ergo sum, “aku berpikir maka aku ada”.
Berpikir menunjukkan eksistensi kita, keberadaan kita. Socrates pernah bilang, “hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani”. Kalau kita malas berpikir, malas mempertanyakan hidup, apatis pada situasi sosial di lingkungan kita berada itu justru menandakan bahwa kita tidak benar benar hidup. Karena hidup itu menyala. Menyalakan sinar pada pribadi kita, menyinari sekitar kita, memberikan kontribusi pada lingkungan dimana kita tinggal dimulai dengan berpikir. Sebagaimana dalam falsafah jawa “ urip iku urup”.