Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) PBNU, Nyai Hj Badriyah Fayumi menegaskan sejatinya asas perkawinan dalam Islam adalah monogami, karena monogami lebih dekat pada keadilan. Sementara poligami adalah pintu darurat dari ketidakadilan sosial yang mungkin terjadi, yang hanya dengan itu kemaslahatan bisa terwujud.
“Tapi dengan poligami menyebabkan ketidakadilan, atau ketidakadilan baru maka tentu saja bukan poligami seperti ini yang ada disyariat Islam,” kata Nyai Hj Badriyah Fayumi dalam tayangan tayangan Poligami dalam Perspektif Islam, Hukum Positif dan Realitas Sosial, diakses Rabu (30/6).
Pada Pesantren Digital yang diadakan Majelis Telkomsel Taqwa (MTT) tersebut, Nyai Badriyah Fayumi menceritakan Rasulullah Muhammad SAW sendiri mempraktikkan pernikahan monogami selama 27 tahun dengan Siti Khadijah. Sementara pernikahan poligami Nabi Muhammad dengan Ummahatul Mukminin hanya berlangsung selama sembilan tahun.
Karena itu menurutnya, “Kalau bicara sunnah, monogami Rasulullah lebih panjang daripada poligami. Sehingga tidak tepat kalau ada yang mengatakan poligami sebagai sunah Nabi. Ini kalau melihat konteks sosial.”
Bahkan, lanjut Nyai Badriyah, Rasulullah sendiri juga melarang menantunya, Sayidina Ali mempologami putri Nabi, Fatimah ra. “Nabi melarang Ali sampai tiga kali. Rasulullah mengatakan, ‘Fatimah bagian dari darah dagingku. Siapa yang menyakitinya maka menyakitiku. Dengan hadist ini Rasulullah secara ekplisit mengatakan poligami tidak mengenakan atau menyakiti perempuan,” tutur Pengasuh Pesantren Mahasina Darul Qur’an Wal Hadits, Kota Bekasi, Jawa Barat ini.
Larangan poligami oleh Rasulullah, juga berlaku pada suami dari putri-putri Nabi lainnya, Zainab, Rukayah, Umi Kulsum. Sayidina Usman, suami Rukayah dikenal sebagai pria yang yang penyayang dan lemah lembut. Sampai ketika Rukayah sakit, Usman juga yang merawatnya. Saat Rukayah meninggal, Rasul berkata, seandainya ia memiliki anak perempuan yang lainnya akan dinikahkan dengan Usman. Usman juga terkenal kaya dan dermawan. Artinya, ia mampu untuk poligami, namun Rasulullah tidak menganjurkannya.
Mestinya, kata Nyai Badriyah, konteks seperti inilah yang digunakan dalam memahami agama. Adanya satu ayat, harus dipahami setelah dan sebelumnya ayat itu. Namun, banyak juga pihak yang membaca ayat 3 Surat Annisa yang menyebutkan nikahilah dua, tiga, atau empat perempuan, sebagai perintah atau sunah berpoligami. Mereka tidak membaca ayat sebelum dan sesudah itu.
Sebelum ayat 3 tersebut, misalnya adalah perintah untuk melindungi anak yatim. Kemudian ayat 129 surat yang sama menegaskan “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
“Yang ingin berlaku adil pun belum tentu mampu. Apalagi yang berniat poligami dengan niat tidak ingin berlaku adil,” kata Nyai Badriyah Fayumi.
Hindari intimidasi
Nyai Badriyah Fayumi mengatakan menjadi berlebihan adanya ungkapan ‘Perempuan yang tidak mau dipoligami haram baginya mencium bau surga’. Menurutnya ungkapan tersebut tidak ada dalam hadist sahih.
Karenanya wajar saja jika perempuan yang tidak menyetujui poligami, kemudian meminta cerai. Jika keduanya memilih cerai gara-gara poligami, ada penderitaan ada ketidakdilan, lalu keduanya bercerai maka Allah akan mengkayakan masing-masing.
Bahwa perempuan yang dipoligami kemudian mendapatkan atau diberi kasih sayang oleh Allah dengan surga, itu bukan karena poligaminya, tapi karena kesabarannya. Banyak juga orang yang mungkin dipoligami karena tidak ada pilihan lain, lalu menjalani dengan sabar, tentu saja rahmat Allah akan dikirimkan padanya.
“Ketika dia merasa sabar atas penderitaan di dunia dengan mendapat penderitaan, maka di surga mendapat kasih sayang atau rahmat Allah. Ini mirip dengan hadist ‘Di akhirat Nabi diperlihatkan orang miskin yang lebih cepat masuk surga karena hisabnya sebentar. Orang miskin karena kesabarannya, yang luar biasa di dunia dan pahala atas kesabaran itu tanpa batasan,” katanya.
Karenanya wajar saja jika perempuan yang tidak menyetujui poligami, kemudian meminta cerai. Jika ada penderitaan atau ketidakadilan dari pernikahan poligami, kemudian keduanya bercerai, Allah telah berjanji akan mengkayakan masing-masing.
Perspektif hukum positif
Dari sisi hukum positif, Nyai Badriyah Fayumu menyebut Pasal 3 dan 44 UU Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut, disebutkan pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (ayat 1). Lalu, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan (ayat 2).
Selanjutnya pada Pasal 4 ayat 1 disebutkan, Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Adapun pada ayat 2 berbunyi Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a.isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b.isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Alumnus S1 Tafsir Universitas Al-Azhar Cairo itu mengatakan dari pasal ini, hukum positif yang berlaku di Indonesia sesuai dengan syariat Islam. Tetapi, “Kalau syaratnya karena bosan, sama sekali tidak bisa seperti itu,” ujarnya.
Ia juga tidak sependapat dengan alasan daripada zina lebih baik poligami. “Kan sudah punya istri. Daripada berzina ya lebih baik tidak berzina. Masa daripada berzina lebih baik poligami? Itu perbandingan yang tidak apple to apple. Karena apa artinya Allah meminta laki-laki dan perempuan untuk menjaga pandangan, untuk menjaga farji (kalau masih berzina),” kata penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Ia menyambung, jika seorang lelaki sudah punya keluarga, dan keluarganya baik, dan ketika poligami berpotensi menimbulkan ketidakmaslahatan, sangat keliru jika seseorang memaksakan poligami.