Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan hidup mati bangsa ini. Kemerdekaan bukanlah hadiah yang diberikan secara cuma-cuma dari penjajah. Bendera merah putih yang dikibarkan di hari kemerdekaan Indonesia ditegakkan dengan ribuan nyawa para syuhada’, tetasan darah para pejuang, dan goresan bambu runcing “Kiai Subhi” kaum pesantren.
Di antara pasukan yang berjuang tanggal 10 November di Surabaya terdapat kempok umat Islam yang tergabung dalam pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Yang mana kedua pasukan ini lahir dari lembaga yang dipimpin Hadratussyaikh, Hizbullah lahir dari Masyumi, sedangkan Sabilillah lahir dari NU.
Yusuf Hasyim menilai bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari peranan umat Islam yang tergabung dalam pasukan Hizbullah, Sabilillah dan Gerakan Parakan, beliau menjadi saksi historis tentang itu. Apalagi saat Republik ini diancam terjajah kembali, para ulama lantas menggemakan seruan resolusi jihad untuk melawan penjajah yang ingin menguasai kembali bangsa Indonesia setelah dua bulan memproklamirkan kemerdekaannya. Kemerdekaan bangsa ini tentu amat disyukuri oleh kaum pesantren, karena usaha lahir-batin yang telah diperjuangkan selama telah membuahkan hasil. Maka ketika negara ini terancam terjajah lagi, para ulama di bawah kepemimpinan Hadratussyaikh merumuskan resolusi jihad, seruan berani mati mempertahankan kemerdekaan RI.
Dalam pandangan KH. M. Yusuf Hasyim, sebagaimana yang beliau sampaikan dalam Majalah Tebuireng tahun 1986, beliau menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari penjajah Jepang, tetapi merupakan jerih payah perjuangan bangsa Indonesia itu sendiri. Pada awalnya, ada tiga kekuatan yang merupakan induk dari lahirnya militer di Indonesia.
Pertama, PETA (Pembela Tanah Air) yang merupakan paduan antara golongan Nasionalisme dan Islam. hal ini bisa dilihat dari pataka PETA tersebut, yang mencerminkan symbol Islam, yakni gambar bulan sabit. Disamping, memang, seluruh anggota PETA sendiri adalah umat Islam, hanya beberapa orang saja yang non Islam, karena seleksi yang kurang ketat. Mengapa? Yang non Islam punya hubungan dengan kolonial Belanda.
Kedua PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipelopori oleh Bung Karno, untuk golongan Nasionalis. Sedangkan kekuatan Ketiga adalah HIZBULLAH, sebuah kekuatan terbesar dari golongan Islam. tiga kekuatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemerdekaan Indonesia, terutama peranan golongan Islam dalam berbagai sector. Bahwa Hizbullah merupakan kekuatan Isalm terbesar saat itu, adalah saksi sejarah, betapa Islam selalu membela negara dan berkaitan secara nasional.
Sebagai argumen yang menguatkan pernyataan di atas, KH. Yusuf Hasyim menjelaskan ada 3 (tiga) faktor yang membuktikan adanya keterlibatan umat Islam dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang harusnya dicatat dalam sejarah perjalanan bangsa ini.
Pertama, Umat Islam terlibat langsung dalam menyiapkan kekuatan militer Indonesia saat itu, yakni dalam PETA dan PUTERA serta HIZBULLAH. Yakni dengan suatu keyakinan kemerdekaan ini harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu butuh kekuatan yang integral.
Kedua, Tokoh-tokoh Islam adalah yang sangat berperan dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945, sebagai dasar negara Indonesia. Nama-nama seperti KHA. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, dan nama-nama lainnya.
Ketiga, disaat Republik Indonesia ini terancam, dikepung dengan pendaratan Tentara Belanda di kota-kota besar Indonesia, Para Ulama berkumpul dan mencetuskan suatu resolusi yang sangat penting dalam sejarah Resolusi Djidah: Yang berisi Fatwa Jihad (perang) melawan penjajah dengan radius 90 Km, Fardlu Ain (wajib) bagi mereka yang bertempat tinggal berjarak 94 Km dari tempat musuh.
Resolusi iihad disebut oleh KH. Yusuf Hasyim terdengar seluruh pelosok tanah air, begitu juga gerakan Parakan, di mana para prajurit dan rakyat berbondong-bondong ke rumah Kiai Subchi, Parakan, Magelang, Jawa Tengah. Para pejuang dengan membawa bambo runcing untuk meminta tenaga dalam. Bahkan lebih dari itu, di berbagai lapisan masyarakat punya kepercayaan bahwa kiai mampu mengisi tenaga dalam, sehingga mereka pun berbondong-bondong ke tempat para kyai di daerahnya. Kiai Subchi memang menyepuh bambu runcing para pejuang dan laskar santri dari berbagai daerah, baik yang berasal dari Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Hal menjadi wajar, karena Kiai Subchi memang telah terbiasa menyepuh bambu runcing, ribuan tentara Hizbullah, Sabilillah maupun Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan Bung Karno, rumah Kiai Subchi tidak pernah sepi dari kegiatan penyepuhan bambu runcingnya dengan doa. Banyak tokoh nasional yang pernah sowan ke kediaman Kiai Subchi, salah satunya adalah Jenderal Soedirman dan anak buahnya dan KH. A. Wahid Hasyim. Pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang bendak berjuang di medan tempur di Surabaya, Semarang, dan Ambarawa, sebelum berangkat, mereka menyempatkan pergi ke Kawedanan Parakan.
Maka benar saja, ketika tentara sekutu (NICA) hendak kembali merebut Indonesia, setelah Jepang kalah perang dengan Amerika, maka Nahdlatul Ulama segera mengumpulkan konsul-konsulnya di Jawa dan Madura guna menentukan sikap terhadap NICA yang hendak menggantikan kedudukan Jepang. Nah, bertempat di Surabaya, Bubutan kantor PBNU, Resolusi Djihad 21-22 Oktober 1945, itu digemakan. Para pejuang yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah langsung bergerak, para santri yang berada dalam radius 94 KM ikut bergerak. Mereka yang berada di luar radius diminta untuk turut berjuang dengan memberikan support secara materiel maupun non materiel.
Sejak resolusi jihad disebarkan, pondok-pondok pesantren telah berubah pula menjadi pusat militer dan markas tentara Hizbullah dan Sabilillah. Hingga beberapa hari berikutnya, Revolusi Jihad Hadtarussyakh telah menggerakkan kaum pesantren dan menajdi komando mobilisasi massa, hingga meletus pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya, yang sebelumnya telah didahului dengan berbagai pertempuran di sana-sini. Ribuan santri dan pejuang lainnya yang tergerak oleh resolusi jihad ini menandakan kebesaran dan karisma sosok Kiai Hasyim di mata umat Islam Indonesia.
Ucapannya selalu dipatuhi oleh kalangan santri. Beliau sangat dihormati oleh umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Maka sungguh pantaslah gelar Hadratussyaikh (sang maha guru) dan Rais Akbar (pemimpin yang paling agung) disandang oleh Kiai Hasyim.
Seain itu, Resolusi jihad ini juga memiliki arti penting lainnya, bukan saja karena resolusi jihad menjadi spirit juang para penjuang hingga tercetuslah pertempuran 10 November, tetapi juga menandakan betapa kontribusi para ulama dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Hal inilah yang disampaikan Kuntowijoyo dalam Majalah Tebuireng tahun 1986, ia mengatakan: “satu-satunya yang bisa menjangkau masyarakat bawah adalah para Ulama serta organisasi-organisasi sosial.
Para Kyai dan Ulama itu peranannya menjadi sangat menentukan, karena dalam rangka memobilisasi massa. Sebab massa yang ada di bawah itu, hanya bisa bergerak kalau digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mereka yang ada disekitarnya”. Demikian tegas Guru Besar Sejarawan Universitas Gadjah Mada ini.
Didorong semangat jihad yang digelorakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari melalui Resolusi Jihad NU serta kesadaran agar terlepas dari belenggu penjajahan untuk masa depan anak-anak dan cucu-cucu di Indonesia, Kiai Subchi memberikan bekal berupa doa kepada barisan Hizbullah dan Sabilillah. Tentara Allah itu berbaris dengan bambu runcingnya dan masing-masing mereka ‘diberkahi’ doa Kiai Subchi.
Pertempuran di Surabaya berkecamuk dahsyat, memakan banyak korban, baik dari pihak musuh maupun pihak bangsa Indonesia. Namun pihak yang paling besar memakan korban adalah Inggris, hal ini diakui oleh pihak Inggris sendiri, dan tercatat di Museum London. Sehingga wajar jika peristiwa puncaknya adalah 10 November 1945 itu disebut sebagai hari Pahlawan, karena banyaknya korban yang jatuh meninggal menjadi Syuhada’.
Yusuf Hasyim juga menilai pasukan Hizbullah mempunyai peran tersendiri dalam pertempuran di Surabaya kala itu. Ketika pasukan sekutu mendarat di Surabaya, maka disambutlah dengan semangat juang oleh para Ulama dan prajurit-prajurit, dan arek-arek Suroboyo. Para Ulama dengan segenap jajaran pasukan Hizbullah yang bermarkas di Jalan Kepanjen No. 5, yang ketika itu pasukan-pasukan di bagi: Surabaya Utara, Surabaya Tengah, Surabaya Barat, Surabaya Selatan, dan Surabaya Timur. Tetapi waktu itu Markas Tertinggi (MT) dan Divisi (Sunan Ampel) belum berdiri. Tetapi pasukan Hizbullah di seluruh Jawa Timur ikut ambil bagian.
Yang disayangkan oleh KH. Yusuf Hasyim adalah banyaknya para pejuang Islam mulai tahun 1945-1949 yang gugur di medan perang. Sebagiaan besar dari mereka tidak diketahui identitasnya, nama para pejuang banyak yang tidak terdaftar, karena belum administrasi antara tahun-tahun tersebut belum tertata rapi. Maka hanya sebagian saja dari pasukan Hizbullah yang mendapatkan penghargaan. Kiai Yusuf Hasyim lantas meminta kepada pemerintah agar mendata ulang pasukan Hizbullah yang gugur antara tahun 1945-1949 agar diberikan tanda penghargaan kepada keluarganya.