Banten pernah memegang peran penting peradaban Nusantara, khususnya sejak dirintisnya jalur baru kemaritiman lewat Laut Jawa pasca jatuhnya Malaka di tangan Portugis. Pedagang dan pelancong luar negeri hampir dipastikan transit di Kota Praja Banten (Surosowan), hingga kota ini menjelma menjadi kota metropolitan selevel Amsterdam.
Pemilihan dan pembangunan Surosowan sebagai ibukota dilakukan dengan tirakat. Pancaniti yang merupakan nama awal kota Surosowan adalah simbol spiritualisme. Dalam tradisi Sunda, Pancaniti berarti 5 tahapan ilmu: (1) Niti Harti yakni memahami dan mengerti; (2) Niti Surti yakni menghayati, memaknai dan mengkaji; (3) Niti bakti yaitu menara niat untuk mengabdi; (4) Niti bukti yakni mengamalkan dan membuktikan; dan (5) Niti sejati atau menemukan hakekat. Jadi, Pancaniti ibarat master plan kota unggulan (al-madinah al-fadilah) yang dirintis sejak Sultan Maulana Hasanuddin.
Rancangan kota praja ini diteruskan Sultan Maulana Yusuf, sultan kedua yang juga seorang sufi. Beliau mulai membangun tembok yang mengelilingi kota, berikut kanal-kanal sebagai jalur transportasi sekaligus berfungsi sebagai irigasi. Uniknya beliau sendiri memilih tinggal di Pesantren Kasunyatan (tempat nantinya beliau disemayamkan) yang berada di luar kawasan kota praja.
Konon, beliau menuruti wasiat Sultan Maulana Hasanuddin bahwa tanah Pancaniti sebagai kota praja tidak boleh diwariskan. Hal ini diperkuat ketika adik ipar beliau dari Jepara, Raden Abdullah b. Pati Unus (suami Ratu Raras binti Maulana Hasanuddin) berkeinginan menggantikan posisi beliau sebagai sultan karena waktu itu Maulana Yusuf berbaring sakit selama setahun. Keinginan anak angkat Ratu Kalinyamat Jepara ini ditolak dengan pertimbangan bahwa kota praja Surosowan bukanlah harta warisan.
Kota praja Surosowan adalah “tanah milik bersama” yang dibangun dan dikembangkan bersama-sama. Di dalam kota didiami sultan dan keluarganya dan etnis lain seperti Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Lampung, dsb. Termasuk bangsa lain yang beragama Islam seperti Arab, Turki, Gujarat, Keling, China Keling, dan China Islam. Sedangkan bangsa Eropa, seperti Belanda, Prancis, Inggris, dan Denmark diberi hak menempati lahan di luar tembok Surosowan. Walaupun demikian sultan membangunkan jalan-jalan dan kanal-kanal sebagai akses penghubungan sesama penduduk Banten.
Untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, sultan membuat “undang-undang bumi”. Salah satunya berisi aturan tidak boleh berkendara di dalam kawasan kota. Barangsiapa melanggarnya maka dijatuhi hukuman denda: Paling rendah menyetorkan batu karang untuk pembangunan kawasan kota dan paling tinggi dikenakan membayar denda uang.
Dalam catatan Miksic, kota praja Surosowan mengalami perkembangan yang pesat dengan komponen-komponen arsitektur berkelas dunia dan perkampungan bertembok yang dikelilingi kanal-kanal. Di dalam kota juga terdapat pasar induk Karangantu, yang memperdagangkan komiditas lokal dan luar negeri.
Sementara menurut Houtman, luas kota praja Surosowan sama dengan luas kota Amsterdam. Pembangunan dan perluasan kota terus dilakukan oleh sultan-sultan Banten dan bangsa asing yang patuh terhadap sultan.