Mendengar nama seorang budayawan, seniman sekaligus juga seorang ulama dari daerah Rembang, Jawa Tengah yang khas dengan puisi-puisi balsam. Puisi yang panas di telinga, tetapi ketika dibutuhkan bisa melegakan urat-urat nadi yang sedang panas. Urat-urat nadi yang sedang terkilir dan panas tentunya bisa dirasakan oleh seluruh kaum Indonesia. Melalui permasalahan yang rumit sampai kecil. Bahkan permasalahan yang sudah buntu jalan keluarnya sehingga bisa dilarikan ke lapangan untuk melihat keadaan lalu memejamkan mata, diam bertafakur.
Setiap skala permasalahan ini selalu membikin manusia menjadi tanda rahmat bagi dirinya sendiri. Tentu dengan adanya masalah, manusia mau untuk menggunakan akalnya bergerak. Tanpa masalah mungkin manusia santai-santai saja sambil memandang dirinya sedang berada di atas awan terbang dengan kebahagiaannya. Puisi balsam Gus Mus tentu menjadi sebuah pengobatan alternatif bagi orang yang lupa pada nasihat dan apa yang telah terlontar keluar dari mulut.
Kita undur kembali waktu mengenang seorang penyair yang jenaka sekaligus serius. Penyair kesayangan Harun Al-Rasyid yang bait-bait doanya abadi dalam sepanjang zaman. Melalui bait-bait permintaan maaf, untuk memaafkan diri sendiri tanpa meminta surga. Terlintas kata “surga”, pasti semua orang mengharapkan tempat yang indah dan penuh imajinasi yang enak. Berbeda dengan penyair yang bernama Abu Nawas, dengan judul bait-bait doa-nya yang diberi nama I’tiraf, semua manusia akan bersedih menundukkan kepalanya melagukan bait-bait yang merdu tersebut. Itu yang disebut dengan bait-bait ketulusan. Tanpa bait-bait yang tulus itu, Abu Nawas tidak mungkin sanggup menundukkan semua hati umat muslim dengan I’tiraf. Setiap kali dilagukan di surau, rumah, dan saat sendiri pun, Abu Nawas selalu hadir kembali dengan permintaan memaafkan dirinya yang tulus tanpa pamrih. Tidak juga surga, tidak juga neraka, yang diminta hanyalah memaafkan diri sendiri.
Memafkan diri sendiri memang sangat wajib bagi setiap manusia. Tanpa itu, manusia sulit berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan keadaan, waktu, serta kehadiran. Mengenang I’tiraf tidak lupa juga mengenang sebuah judul puisi penuh ketulusan “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”. Melalui puisi tersebut, mari bersama merenungkan apa yang coba Gus Mus himbau kepada kita umat manusia. Bagaimana kita semua harus menyikapi diri sendiri. Bangsa yang besar ini, tentunya juga Gus Mus termasuk dalam bangsa Indonesia ini.
Kau ini bagaimana// kau bilang aku merdeka/ kau memilihkan untukku segalanya/ kau suruh berpikir/ aku berpikir kau tuduh aku kapir//
Penggalan bait puisi yang menjadi kunci dari “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”. Manusia dipersilahkan untuk hidup dengan merdeka. Merdeka kepada dirinya sendiri tanpa melanggar batasan kemerdekaan orang lain. Merdeka untuk hidup, bergerak, dan makan. Kebebasan berfikir tentu juga harus dimiliki oleh setiap manusia. Karena dengan kebebasan berfikir, manusia akan mau untuk terus belajar tanpa terhambat oleh aturan-aturan takhayul. Manusia berhak untuk menganut agama dan kepercayaan masing-masing. Dalam hal ini harus diatur dan melihat dalam pola kebudayaan. Jika manusia melanggar pola kebudayaan sebuah bangsa, maka tentu hal tersebut sudah bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama pada sila pertama.
Kebebasan memeluk agama dan kepercayaan adalah hak pribadi setiap manusia. Tidak ada larangan, paksaan, bahkan teror. Terkadang, manusia yang salah tafsir kebudayaan, suka memaksakan masuknya sebuah budaya baru yang dilapisi agama. Misalnya, budaya cadar atau hijab. Cadar atau hijab tentu merdeka untuk memakainya atau tidak memakainya. Mau model bagaimanapun, yang utama adalah fungsinya. Tujuan utama pemakaian pakaian tersebut adalah menutup aurat. Mau dipakai setengah atau penuh sampai menutupi wajah itu hak pribadi. Bahkan ada model baru namanya “jilbobs”. Jilbobs menjadi sebuah wadah kebudayaan baru dalam hal berpakaian, sekaligus dalam naungan demokrasi. Tetapi tidak sedikit pula yang mengharamkan bahkan mengkafirkan pengguna jilbobs yang notabene adalah para remaja.
Gus Mus sudah mengajak kita untuk mengenal demokrasi, bahkan mendalami demokrasi dalam arti yang sebenarnya melalui puisinya “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”. Mereka yang mau memakai jilbobs, tentunya sudah mau berfikir tentang pentingnya aurat. Tiba-tiba saja banyak ancaman suara dengan berkumandang “kafir” menyasar pada remaja jilbobs. Tentu kata “kafir” yang ditujukan pada mereka ini adalah suatu teror. Melanggar hak-hak budaya dan demokrasi pribadi. Menurut puisi yang tulus tersebut, itulah mengapa manusia menjadi membingungkan bagi manusia lainnya. Remaja jilbobs tentu punya hak berbudaya dan berdemokrasi dengan sudah memikirkan aurat. Jangan hanya karena alasan menimbulkan nafsu, kemudian pihak anti jilbobs melarang-larang bahkan mengkafir-kafirkan penggunaan jilbobs.
Contoh di atas hanya unit permasalahan kecil saja keretakan berdemokrasi di dalam daulat bangsa. Gus Mus, ulama yang sangat mengenal demokrasi dalam lingkup agama dan berfikir. Melalui pandangannya yang luas, Gus Mus sudah mengibarkan bendera-bendera demokrasi dalam nafas puisinya yang sejuk sekaligus panas. Sejuk bagi para pecinta demokrasi, sekaligus panas bagi orang-orang yang kurang mau mengerti budaya demokrasi. Maka, perlu bagi yang kurang paham budaya berdemokrasi untuk membaca kembali I’tiraf dan Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana, agar mau memaafkan diri mereka sendiri. Tentu tanpa paksaan.